CINTA ITU "WALAUPUN" BUKAN "KARENA"

Sabtu, 12 Maret 2011

NERACA KEBENARAN DAN KEBATILAN : MURTHADA MUTHAHARI


BAB I : PANDANGAN DUNIA

 

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

 

S
alah satu pembahasan yang amat signifikan berkenaan dengan "Pandangan Alam Semesta" (ar-Ru'yah al-Kauniah) adalah persoalan kebenaran dan kebatilan. Al-Quran sendiri acapkali berbicara tentangnya. Sekaitan dengan itu, terdapat dua topik pembahasan yang akan kita diskusikan kemudian:
1.        Kebenaran dan kebatilan di alam semesta.
2.        Kebenaran dan kebatilan dalam masyarakat dan sejarah.
Namun, pembicaraan kita sekarang ini akan lebih terfokus pada topik yang kedua. Kendati nantinya, topik pertama yang berkaitan dengan kebenaran dan kebatilan di alam semesta akan dibahas pula secara singkat.

Kebenaran dan Kebatilan di Alam Semesta

Apakah sistem yang berlaku di jagat alam ini merupakan sistem yang hak (benar)? Sistem yang tepat? Sistem yang seharusnya? Apakah segala sesuatu yang ada di alam semesta ini telah berada pada orbimya masing-masing? Ataukah tidak demikian adanya; sistem ini bersifat batil (tidak benar)? Mungkinkah sistem yang ada di alam ini bersifat batil? Apakah terdapat sesuatu yang semestinya tidak tercipta? Apakah keberadaan sistem ini hanya sia-sia belaka dan tidak memiliki tujuan? Dalam menghadapi rentetan pertanyaan ini, juga berbagai pertanyaan lain yang mirip dengannya, para ulama dan cendekiawan terbagi ke dalam beberapa golongan; sebagian mendukung pandangan pertama, sebagian lainnya mendukung yang kedua, dan sekelompok lainnya memiliki pandangan alternatif yang berbeda dengan keduanya. Para filosof, yang sebagian besar menganut paham Materialisme, memiliki persangkaan yang buruk terhadap keberadaan alam semesta (termasuk terhadap keberadaan manusia). Mereka beranggapan, seluruh yang ada di jagat alam merupakan sesuatu yang tidak semestinya ada, tidak layak tercipta, buta, tuli, dan keberadaannya hampa akan tujuan.
Sebaliknya, kaum Ilahiyyun (orang-orang yang meyakini keberadaan Tuhan) dan orang-orang yang belajar di Madrasah Ilahiah (wahana pendidikan yang mengajarkan konsep ketuhanan), khususnya Islam, dengan jelas dan pasti menyatakan bahwa penciptaan alam ini adalah sebuah kebenaran dan menganggapnya sebagai sesuatu yang baik dan indah. Mereka juga meyakini bahwa di alam semesta ini tidak terdapat suatu kekurangan apapun sehingga tidak memerlukan sedikitpun tambahan. Selain itu, mereka juga yakin bahwa di alam semesta tidak terdapat sesuatupun yang bersifat sia-sia dan asal-asalan saja. Dengan kata lain, tidak terdapat satu kejanggalan pun yang terkandung dalam sistem yang berlaku di seluruh jagat alam. "Yang membuat segala sesuatu Yang Dia Ciptakan sebaik-baiknya",[1] juga, "Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap- tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk."[2] Ayat tersebut menegaskan, Tuhan kami menciptakan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya dan menganugerahkan segenap hal yang diperlukan ciptaan-Nya.
Sementara dalam pandangan kelompok ketiga dikatakan bahwa keberadaan alam (dan manusia) ini tersusun dari komponen kebaikan dan keburukan, kepantasan dan ketidakpantasan, serta keharusan dan ketidakharusan. Di alarn ini, kita melihat adanya dua hal yang saling bertolak belakang. Kita acapkali menyaksikan di alam ini berbagai kebaikan dan keburukan, keadilan dan kezaliman, kesempurnaan dan kecacaran, sehat dan sakit, kebidupan dan kematian, ketertiban dan kekacauan, kebaikan dan kerusakan, serta kesuburan dan kegersangan. Kedua hal yang saling bertolak belakang tersebut mencerminkan seolah-olah alam ini memiliki dua pencipta. Dikarenakan adanya dua hal yang saling bertolak belakang, tidak mungkin semua yang ada di jagat alam ini berasal dari satu sumber (pencipta). Penyembahan berhala dan dualisme (penyembahan ganda), yang terdapat pada masa Iran kuno, bersumber dari keyakinan bahwa di alam ini terdapat dua tuhan (mabda’) tuhan kebaikan, kebajikan, dan cahaya (Yazdân), serta tuhan keburukan, kejahatan, dan kezaliman (Ahriman). Kedua tuhan ini (Yazdân dan Ahriman), dengan masing-masing pasukannya, senantiasa bertikai dan berperang. Namun darinya terbetik kabar gembira bahwa pada akhimya kelak pasukan kebajikan dan cahaya akan menghancurkan pasukan kejahatan dan kezaliman. Seluruh pasukan kejahatan dan kezaliman akan musnah dan binasa, sementara keberadaan pasukan kebajikan dan cahaya akan tetap hidup abadi.
Meskipun pembahasan baik (al-khair) dan buruk (asy-syar) telah saya uraikan secara mendetail dalam buku "al-Adlul llâhi", namun sesuai dengan topik pembahasan kita kali ini, saya akan mengutarakan sekelumit pembahasan yang berkenaan dengan permasalahan tersebut.
Dalam filsafat ketuhanan, dasar dari segala sesuatu berjalan seiring dengan "kebenaran", "kebajikan", "kesempurnaan", dan "keindahan". Sedangkan seluruh kebatilan, kejahatan, ketidaksempurnaan, serta keburukan —yang pada akhimya dan sesuai hasil akhir dari berbagai kajian— berujung pada ketiadaan ('adam), bukan pada keberadaan (wujud). Pada satu sisi, keburukan (asy-syar) pada dasarnya bukanlah keburukan, melainkan penyebab ketiadaan pada sesuatu. Berbagai keburukan tak lebih sebagai akibat sampingan dari keberadaan berbagai kebaikan dan kebenaran. Memang, kebaikan dan keburukan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan antara satu sama lain. Namun demikian, sifat keterkaitan antarkeduanya tidak bersifat esensial, alias nisbi (relatif) belaka. Hubungan antara keburukan dan "dengan kebenaran" serta "dengan kebaikan" ibarat hubungan antara "performa" (penampakan atau al-mazhhar) dan "eksistensi" (keberadaan atau al-wujûd). Suatu keberadaan akan senantiasa diiringi dengan "performa" (penampakan).
Masalah paling pokok sekaitan dengan hal itu adalah kcmunculan esensi (al-mâhiah) yang senantiasa mengikuti eksistensi (al-wujûd), Keberadaan (eksistensi atau al-wujûd) bersifat umum dan semata-mata mengandung kebaikan. Dalam dirinya tidak terdapat ketidaksempurnaan (an-naqsh) dan keburukan (asy-syar). Dan pada peringkat keberadaan (al-wujûd) Zat Ilahi, tak ada lagi esensi (al-mâhiah) dan juga ketiadaan (al-'adam). Akan tetapi, berbeda dengan itu, keberadaan makhluk-makhluk ciptaan-Nya bersifat lemah. Itu dikarenakan keberadaan mereka tak lebih sebagai akibat dari sebuab perbuatan (fi’l). Dengan kata lain, keberadaannya disebabkan oleh pelaku (fâ’il). Hanya Dia (Allah SWT) sendirilah satu-satunya pelaku absolut di antara seluruh pelaku (al-fâ’il ‘alal ithlâq), di mana semua yang ada selain-Nya merupakan hasil dari perbuatan kreatif-Nya. Dengan demikian, mereka (makhluk-makhluk) itu memiliki berbagai kelemahan (adh-dhâ'f) dan ketidak-sempurnaan (an-naqsh). Akibat sampingan dari perbuatan (fi'il) tersebut ialah terdapamya "esensi" (al-mâhiah).
Demikin pula dengan suatu perbuatan yang merupakan akibat dari perbuatan lain. "Perbuatan yang menjadi akibat" tersebut memiliki derajat yang lebih rendah (dari perbuatan pertama). Dengan demikian, sekalipun ketiadaan (al-'adam) tidak memiliki esensi, namun ia dapat merasuk ke dalam eksistensi (al-wujûd), yang akhirnya merasuki pula dalam alam materi ini (al-yasût), yang dalam istilah para filosof llahiyun (ketuhanan), disebut sebagai eksistensi (al-wujûd) yang paling rendah dan paling tidak sempurna. Yang menjadi pertanda lemahnya keberadaan (alam materi) ialah dikarenakan dari satu sisi, ia dapat dianggap cenderung menyerupai “esensi" (al-mâhiah) dan "ketiadaan" (al-'adam). Karenanya, sekalipun keburukan (asy-syar) tidak memiliki esensi dan bukan bagian dari eksistensi (al-wujûd), akan tetapi ia merupakan bagian yang tak terpisahkan dari eksistensi (al-wujûd) pada tingkat yang paling rendah.
Dikarenakan itu, apabila kita memandang sistem eksistensi (al-wujûd) ini dari sisi keberadaannya, maka darinya tak akan terdapat keburukan (asy-syar) dan ketiadaan (al-‘adam). Ketika memandang ke atas, kita akan melihat adanya cahaya. Namun, tatkala melihat ke bawah, kita akan menyaksikan adanya bayangan di bawah kita.
Bayangan tersebut merupakan keberadaan sampingan dari benda (al-jism), yang pada hakikamya non-esensial (yang ada hanyalah cahaya). Tapi dikarenakan keberadaan benda (al-jism) itulah, maka dalam benak kita muncul "esensi" (al-mâhiah), yang merupakan sebuah akibat sampingan dari keberadaan benda. Hakikat dari bayangan tidak lain adalah ketiadaan (al-'adam), yakni ketiadaan cahaya dalam kawasan tertentu dan eksistensi (al-wujûd) cahaya di sekeliling kawasan tersebut.
Dalam konsepsi filsafat Ilahiah (ketuhanan), dikatakan bahwa segala sesuatu terangkum dalam kalimat "Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang." Yakni suatu keberadaan akan menjadi nampak dikarenakan nama Allah, Yang Maha Pengasih dan Yang Maha Penyayang. Ini merupakan sudut pandang yang paling tinggi. Keberadaan alam semesta ini tak lain hanyalah penampakan dari koMaha Pengasihan dan ke-Maha Penyayangan-Nya semata. Tentunya sulit untuk menggambarkan semua itu, dikarenakan ia merupakan suatu bentuk pemikiran yang sangar tinggi dan agung. Jika seorang memiliki kesadaran yang mendalam terhadap poin tersebut, maka ia bisa dengan mudah memecahkan berbagai persoalan yang ada.
Pada tahap berikumya, pandangan semacam ini memunculkan keyakinan bahwa alam semesta memiliki dua wajah; pertama adalah wajah dari-Nya dan kedua adalah wajah menuju kepada-Nya. Wajah yang pertama (dari-Nya) ialah ke-Maha Pengasihan-Nya dan wajah kedua yang menuju kepada-Nya adalah ke-Maha Penyayangan-Nya. Seluruh nama-nama Allah selainnya hanyalah bersifat sampingan semata dan menempati peringkat kedua, ketiga.... Berbagai sifat lain yang dimiliki Allah pada hakikamya berasal dari nama-nama tersebut (Maha Pengasih dan Maha Penyayang). Bahkan sifat "Mahamengalahkan (al-Qahhâr) berasal dari sifat Mahalembut (al-Lathîf); sebuah esensi yang memiliki sifat Mahalembut tidak memiliki sifat Mahamengalahkan. Menurut sudut pandang tauhidi (pengesaan Tuhan), untuk mengenal eksistensi (al-wujûd), tak ada suatu pandangan pun yang bisa digunakan kecuali pandangan semacam itu. Demikian pula halnya dengan pandangan filsafat. Mereka yang benar-benar ahli dalam mengenal eksistensi (al-wujûd), tidak akan memiliki pandangan apapun selain pandangan semacam itu.


Masyarakat dan Sejarah

Bagian kedua dari topik pembahasan ini berhubungan dengan keberadaan manusia, masyarakat, dan sejarah. Dalam hal ini, kita tidak berurusan dengan keberadaan alam semesta; apakah sistem yang ada itu baik, sempurna, paling baik, atau tidak? Akan tetapi (pembahasan ini berkaitan dengan) pertanyaan yang tertuju pada diri manusia itu sendiri, yakni bagaimanakah keberadaan manusia itu? Apakah manusia senantiasa mencari kebenaran, menuntut keadilan, menuntut penghargaan, dan mencari cahaya? Ataukah sebaliknya, sesuatu yang buruk, merusak, cenderung menumpahkan darah, zalim, dan sejenisnya? Ataukah sebagian manusia berpihak pada kebenaran, dan sebagian lain pada kebatilan, sehingga keduanya saling bertikai?
Dalam hal ini juga terdapat beberapa bentuk pandangan. Bentuk pandangan yang pertama mengatakan bahwa menurut jenisnya, manusia merupakan sosok yang buruk dan zalim. Aktivitas yang dijalankannya tak lain hanyalah membunuh, mencuri, merampok, melakukan tipu muslihat, dan berbohong. Kebiasaan yang dimilikinya adalah berbuat keburukan, kerusakan, pemerasan, dan kezaliman. Sekalipun kita telah menyaksikan di sepanjang sejarah dan peradaban manusia, berbagai perbuatan baik, bermoral, dan manusiawi, namun semua itu merupakan hasil paksaan dan tekanan terhadap perangai dan tabiat aslinya, Sehingga mereka bisa berperilaku seperti itu. Pada hakikamya, jiwa manusia senantiasa mendorongnya ke arah keburukan dan juga ke arah kebaikan. Bahkan terkadang dorongan tersebut sampai pada tingkat paksaan (al-jabr). Misalnya saja, ketika hidup di antara alam dan binatang buas, manusia akan menyadari bahwa jika di antara mcrcka tidak dibcntuk suatu perdamaian, sckalipun secara paksa, maka mustahil bagi mereka untuk mempertahankan jiwanya. Karena itu, mereka mesti menanggung suatu keterpaksaan yang dibebankan atas dirinya, yakni kemestian untuk hidup bermasyarakat, dan antara satu sama lain harus melaksanakan komunikasi yang didasari pada keadilan; karena semua itu akan memberi keuntungan bagi mereka. Dengan demikian, unsur paksaan yang terdapat dalam jiwa telah memaksa manusia untuk berbuat baik; sebagaimana sebuah pemerintahan yang lemah tatkala berhadapan dengan sebuah pemerintahan yang kuat, maka akan dibuat suatu perjanjian damai dan persahabatan, demi menjaga tindakan buruk yang dikhawatirkan akan muncul darinya (pemerintahan yang kuat). Dan jika suatu saat, musuh dari pemerintahan-pemerintahan (lemah) yang saling bersekutu tersebut sudah tidak ada lagi, maka di antara mereka (pemerintahan yang lemah) akan saling bertikai satu sama lain. Sebuah kelompok dibentuk untuk menghadapi suatu musuh (lawan), artinya jika tidak ada musuh atau lawan yang dihadapi, maka mereka tidak akan saling bersatu, dan jika musuh atau lawan dari kelompok tersebut telah lenyap, maka persekutuan tersebut akan berubah menjadi perpecahan; kelompok itu akan terpecah menjadi dua kelompok. Dan apabila salah satu dari dua kelompok ini hancur, maka kelompok yang masih ada akan terpecah pula menjadi dua kelompok, begitu seterusnya. Kalaupun pada akhirnya yang tersisa hanya dua orang saja, maka satu sama lain akan saling bertikai dan yang paling kuatlah yang akan tetap hidup. (Inilah bentuk pemikiran Darwinisme. Menurut teori "perebutan kekekalan" Darwin, apabila semua itu diberlakukan dalam masyarakat, maka akan tercipta (masyarakat Darwinis).
Mayoritas filosof materialis kuno, dan sebagian kecil filosof masa kini, memiliki pandangan semacam itu. Mereka sangat berburuk sangka (apriori) terhadap perangai manusia. Dalam anggapannya, manusia sama sekali tidak dapat dibenahi. Selain itu, mereka tidak meyakini rumusan "tesis perbaikan". Menurut kalangan ini, pengajuan "tesis perbaikan" merupakan sesuatu yang absurd. Mereka mengibaratkan hal ini dengan seseorang yang memberikan ketentuan (undang-undang) terhadap seekor kalajengking, agar ia dapat bersikap baik dan tidak menyengat manusia. Padahal:
Sengatan kalajengking bukan lantaran dendam, itu adalah tuntutan alam
Dikarenakan kalajengking memiliki watak dan perangai untuk menyengat, maka penerapan undang-undang dan "tesis perbaikan" tidak akan berarti sama sckali. Demikian pula halnya dengan manusia. Selama berada di muka bumi, manusia akan senantiasa cenderung pada berbagai keburukan sehingga mustahil dibenahi.
Berdasarkan pada argumen tersebut, kalangan pemikir semacam ini pada umumnya menjustifikasi tindakan bunuh diri. Mereka mengatakan, "Karena kehidupan ini adalah buruk, maka hanya terdapat satu kebaikan saja di muka bumi ini, yakni mengakhiri kehidupan yang buruk ini, sehingga dengannya manusia dapat terbebas dari dunia yang penuh dengan keburukan dan kepahitan dan juga dari keburukan keberadaan dirinya sendiri."
Bentuk gagasan menyimpang ini berasal dari orang-orang Barat, yang kemudian disebarluaskan ke tengah-tengah masyarakat Iran oleh Shadiq Hidayat. Dalam berbagai tulisannya, ia senantiasa memberikan gambaran yang buruk tentang kehidupan. Sebagai contoh, "Kehidupan dunia ibarat comberan yang tidak lain hanyalah lumpur dan bau busuk. Dan cacing-cacing menjalani kehidupannya yang kotor dalam comberan tersebut.” Namun pada akhirnya, ia terpengaruh oleh ungkapannya sendiri dan kemudian melakukan bunuh diri. Sewaktu buku-bukunya banyak digemari masyarakat, sebagian besar pemuda Iran nekat melakukan bunuh diri. Mereka telah scdemikian terpengaruh oleh isi buku-buku tersebut. Maani (pendiri agama Manawi yang berkebangsaan Iran, —pent.) juga memiliki filsafat kehidupan semacam itu. la beranggapan bahwa hidup ini merupakan sebuah keburukan. Akan tetapi, ia meyakini adanya perbedaan antara jiwa dan raga. la mengatakan, "Raga adalah buruk, kehidupan materi adalah buruk, dan jiwa terkurung dalam raga ini. Dengan demikian, jika seseorang meninggal dunia atau melakukan bunuh diri, ia akan segera terbebas dari keburukan dunia; sebagaimana burung yang lepas dari sangkarnya." Sekalipun meyakini adanya suatu bentuk kehidupan yang lain, namun dirinya menganggap bahwa secara seratus persen, kehidupan ini adalah buruk.[3]
Berdasarkan pandangan ini, keberadaan manusia dengan kecenderungan (insting) yang dimilikinya merupakan suatu wujud (makhluk) yang buruk, dan keburukan tersebut merupakan esensi, sekaligus nasib, dirinya. Sejak pertama kali muncul di alam dunia, ia sudah demikian adanya. Dan sampai sekarang hingga pada masa mendatang pun, ia masih akan tetap demikian. Tak ada yang lain kecuali seperti itu. Segenap harapan untuk melakukan perbaikan terhadap kondisi umat manusia serta harapan untuk memiliki masa depan yang cerah tak lebih dari sebuah khayalan belaka.
Al-Quran memiliki berbagai pandangan berkenaan dengan penciptaan manusia. Salah satunya, Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi."[4] Aku akan menjadikan scorang pengganti dan khalifah di muka bumi ini. Para malaikat kemudian bersikap pesimistis terhadap tingkah-laku manusia, dengan menyatakan, "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah,"[5] yakni, apakah Engkau hendak menempatkan di muka bumi, orang-orang yang akan berbuat kerusakan dan mengadakan pertumpahan darah di dalamnya? Dalam pandangan para malaikat, tabiat makhluk semacam itu tak lain hanyalah menumpahkan darah dan melakukan berbagai kerusakan. Allah Swt menjawab mereka, "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."[6] Kami mengetahui apa-apa yang tidak kalian ketahui. Dalam konteks ini, Allah tidak menyalahkan mereka (para malaikat) dan tidak mengatakan bahwa ucapan mereka tidak benar. Namun Dia mengatakan bahwa di balik semua yang kalian ketahui, Aku mengetahui berbagai hal, dan kalian hanya mengetahuinya dari satu sisi saja, sementara kalian tidak mengetahui hakikat keberadaan makhluk yang hendak Aku ciptakan. Posisi kalian lebih rendah dari makhluk yang hendak Aku ciptakan. Keberadaannya (makhluk itu) jauh lebih tinggi dan lebih sempurna. Dengan demikian, sebelum manusia diciptakan, para malaikat telah mengetahui sebagian dari ciri-ciri keberadan manusia. Kendati demikian, mereka masih bclum mengetahui sebagian lainnya sehingga menjadi pesimistis terhadap penciptaan manusia. Apabila ada seorang ilmuwan yang menyaksikan sisi kehidupan manusia yang kelam dan penuh noda, lantas mengeluarkan pandangan semacam itu (pesimisme), tentunya pandangannya itu bukanlah sesuatu yang amat menakjubkan.
Pandangan lain yang bertolak belakang dengan sebelumnya menyatakan bahwa tabiat dan perilaku manusia bersumber dari kebaikan (al-khair) dan kebenaran (al-haq) serta kesempurnaan (al-kamâl) dan kenyataan (al-wâqi’î). Manusia merupakan sosok yang bermoral, cinta damai, serta menyukai kebenaran. Secara esensial, tabiat manusia merupakan cahaya, keadilan, amanat, jujur, dan bertakwa. Lantas apakah yang menyebabkan manusia menjadi rusak? Dalam pandangan mereka, kerusakan manusia berasal dari faktor luar yang dibebankan kepada manusia. Inilah juga yang mengakibatkan terjadinya kerusakan dalam sebuah masyarakat. Jean Jacques Rousseau merupakan salah seorang yang memiliki keyakinan semacam itu. Dalam bukunya yang terkenal "Emile??", ia menulis bahwa manusia yang masih asli, manusia di luar masyarakat, manusia yang hidup di alam, merupakan sosok manusia yang sehat, sempurna, dan suci. Seluruh penyimpangan, kebatilan, serta kerusakan semata-mata berasal dari masyarakat yang kemudian dibebankan kepadanya. Oleh sebab itu, Rousseau bersikap pesimistis terhadap kehidupan bermasyarakat. "Tesis pembenahan" yang diyakininya ialah bahwa manusia sedapat mungkin mesti kembali ke alam (Konsep Back to Nature – Penerj.). Rousseau tidak bersikap optimistis terhadap peradaban modern. Sebabnya, ia yakin bahwa peradaban modern itulah yang justru telah menjauhkan manusia dari alam.
Semakin jauh dari alam, manusia akan semakin rusak. Sebaliknya, semakin dekat dengan alam, ia akan semakin dekat dengan kemanusiaan, kejujuran, dan kesucian. Pandangan Rousseau yang nota bene seorang agamis, sekilas mirip dengan pandangan Islam berkenaan dengan fitrah manusia. Salah satunya, sabda Nabi mulia SAWW yang cukup terkenal, "Semua yang dilahirkan itu, dilahirkan dalam keadaan fitrah, sehingga kedua orang tuanyalah yang membuamya menjadi Yahudi, Nasrani, dan Majusi."[7] Setiap anak dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan suci, kemudian ayah dan ibunya lah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, dan Majusi. Kecenderungan pada Yahudi, Nasrani, atau Majusi merupakan contoh dari perubahan. Sedangkan keberadaan kedua orang tua merupakan faktor perubah dari masyarakat. Fitrah manusia pada awalnya sebat dan suci. Namun kemudian masyarakatlah yang menjadikannya menyimpang. Dalam salah satu hadisnya, Nabi SAWW membuat sebuah perumpamaan dan bersabda, "Kalian sendirilah yang telah mengiris telinga kambing yang kalian miliki. Pernahkah terjadi binatang-binatang itu sejak pertama dilahirkan telinganya sudah dalam keadaan teriris? Tidak, tatkala dilahirkan selalu dalam keadaan sempurna, lalu manusialah yang mengiris telinganya." Begitu pula dari sisi kejiwaan (rohani), di mana semua manusia dilahirkan dalam keadaan sehat, sempurna, menyukai kebenaran, dan cenderung pada kebaikan. Munculnya berbagai penyimpangan, pembelotan, kebohongan, kezaliman, pengkhianatan, keburukan, dan kerusakan manusia disebabkan oleb adanya suatu paksaan yang dialami setelah kelahirannya. Dengan demikian, pandangan semacam itu lahir dari sikap yang optimistis terbadap watak serta jenis, perilaku, dan struktur keberadaan manusia yang kokoh. Mereka juga beranggapan bahwa esensi manusia adalah kenyataan dan kebenaran. Dalam keyakinan mereka, seluruh penyimpangan yang muncul tak lain diakibatkan oleh berbagai faktor luar dan non-esensial (accidential), yang dalam istilah para filosof disebut dengan "sebab-sebab yang bersifat kebetulan" (al-'ilalul ittifâqiah). Sedangkan berdasarkan pada sebab-sebab alamiah, sebab-sebab dari dalam, serta sebab-sebab dinamisnya, pada dasarnya gerakan manusia menuju pada jalan yang lurus. Namun dikarenakan adanya pengaruh dari perubahan faktor eksternal yang bersifat non-esensial (accidential), memaksa, serta serba mekanis, maka diri manusia menjadi terbebani oleh berbagai perilaku buruk dan tindak kejahatan.
Adapun menurut pandangan lain, dikatakan bahwa ketika berada di tengah masyarakat, sebagian manusia akan mendukung kebenaran (al-haq), sementara sebagian lainnya cenderung pada kebatilan (al-bâtil). Malaikat, dengan perantaraan ilham, mengajak manusia pada kebenaran (al-haq). Sedangkan setan, dengan cara berbisik, akan menggiring manusia pada kebatilan (al-bâtil).
Konsekuensinya, keberadaan manusia terbagi ke dalam dua kubu; sebagian berjalan di jalan yang baik dan benar, yakni berjalan di jalur iman dan para nabi; sementara sebagian lainnya yang melintas di jalan setan, serta mengingkari dan menolak ajakan para nabi. Maulawi mengatakan:
Ada dua bendera yang berkibar; putih dan hitam,
Yang satu adalah manusia, dan yang lain adalah iblis
Dikatakan bahwa ada sebuah bendera putih yang merupakan bendera petunjuk, dan sebuah bendera hitam yang tak lain dari bendera kesesatan. Kesimpulan yang dihasilkan dari uraian tersebut adalah bahwa keberadaan masyarakat merupakan campuran dari kebaikan dan keburukan, hak dan batil. Itu dikarenakan ihwal keberadaan manusia sendiri (sebagai komponen dasar bagi pembentukan masyarakat) merupakan hasil campuran dari kebaikan dan keburukan. Pertikaian dan perselisihan antara hak dan batil akan senantiasa terjadi pada setiap individu, demikian pula dalam setiap masyarakat. Lantas pihak manakah yang akan menang? Itu pembahasan lain. Alhasil, kita meyakini bahwa kemenangan akhir akan diraih oleh dipihak yang hak dan hakiki; keadilan akan menghancurkan kezaliman, kebaikan akan meraih kemenangan dalam melawan kebacitan, cahaya akan mengalahkan kegelapan, dan agama akan meraih kemenangan atas kekafiran. "Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (al-Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkannya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukainya" .[8] "Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa."[9]

Marxisme dan Materialisme Sejarah

Pandangan lainnya adalah "Materialisme Sejarah". Pada abad ke-19, berdiri sebuah aliran (maktab) pemikiran materialisme, yang mengklaim dirinya memiliki optimisme terhadap masa depan sejarah dan masyarakat. Aliran atau sekolah pemikiran tersebut adalah Marxisme.
Hegel merupakan pencetus ilmu logika dan filsafat yang mendasari keyakinan dan pemikirannya pada konsep kesempurnaan, pertumbuhan, serta perkembangan. Sekalipun Hegel bukan seorang materialis, namun logika dialektikanya dimanfaatkan Karl Marx yang kemudian mencetuskan pandangan materialisme (Materialisme Dialektika). Selain itu, Marx juga mengintroduksikan doktrin pemikiran hasil rumusannya yang menyatakan bahwa hakikat sejarah adalah materi (Materialisme Historis).[10] Filsafat Sejarah yang dirumuskan Marx, bersandar pada beberapa prinsip:
1. Menolak keberadaan fitrah dan insting (al-gharîzah)
Secara esensial, keberadaan manusia bukanlah kebaikan dan juga bukanlah keburukan. Dalam menelaah dan mcnelusuri keberadaan manusia, kaum Marxisme menafikan adanya fitrah dan insting dalam diri manusia. Lebih dari itu, mereka bahkan menafikan segala hal yang bersifat ruhaniah. Pandangan semacam ini muncul dikarenakan dalam bidang sosiologi pada abad ke-19 —yang saat itu jauh lebih berkembang dibandingkan bidang psikiologi— telah dilakukan pembahasan yang intens terhadap permasalahan ini dan menghasilkan kesimpulan bahwa segala yang ada pada diri manusia yang sebelumnya dianggap sebagai fitrah dan insting, pada hakikamya tak lebih dari hasil bentukan masyarakat. Apapun yang dimiliki manusia tak lain berasal dari pemberian masyarakat. Masyarakat semacam inilah yang mewarnai berbagai jiwa dan pribadi manusia. Masyarakatlah yang telah membebani mdividu dengan berbagai insting etika, lalu mengira bahwa itu semata-mata berasal dari dirinya sendiri. Manusia semacam itu tak ubahnya seonggok bahan mentah yang tidak memiliki tuntutan apapun (bersikap pasrah) yang kemudian diserahkan ke sebuah pabrik. Dan, pabrik tersebut dengan bebas akan mengolahnya menjadi sesuatu yang sesuai dengan seleranya. Atau seperti pita kosong untuk radio kaset. Apapun yang Anda ucapkan akan terekam dalam pita tersebut; jika Anda membaca Al-Quran, hasilnya adalah Al-Quran juga; jika syair, maka syair; dan jika puisi, hasilnya juga puisi.
Dengan demikian, secara esensial, manusia tidak memiliki insting baik dan insting buruk. Semua itu bergantung pada berbagai faktor sosial yang cukup canggih sehingga mampu menciptakan manusia menjadi baik ataupun menjadi buruk.
2. Prinsip Perekonomian
Dalam sudut pandang Sosiologi Marxisme, berbagai susunan dan struktur yang terdapac dalam masyarakat tidaklah sama. Keberadaan masyarakat ibarat sebuah bangunan yang secara keseluruhan bertumpu di atas sebuah basis. Dan basis dari keberadaan sebuah masyarakat adalah perekonomian. Setiap perubahan situasi serta kondisi perekonomian masyarakat akan menyebabkan terjadinya perubahan pada berbagai tatanan kemasyarakatan lainnya, dan perubahan susunan masyarakat tersebut akan memicu perubahan sikap pada skala individu.
Berdasarkan itu, esensi manusia semata-mata terbentuk dari keberadaan masyarakat, sementara keberadaan masyarakat sendiri terbentuk dari sistem perekonomian. Dari sistem perekonomian tersebut kemudian terbentuk berbagai sistem produksi, yang pada akhirnya menghasilkan alat-alat produksi. Pada tahap berikut, alat-alat produksi tersebut akan memproduksi masyarakat, yang pada gilirannya akan memproduksi manusia. Jika Anda ingin mengetahui keberadaan manusia sepanjang sejarah, ketahuilah kondisi ekonomi serta alat produksinya masing-masing. Baik dan buruknya manusia amat bergantung pada kondisi alat produksinya.
Kebaikan, cahaya, dan keadilan di satu sisi, serta keburkan, kegelapan, dan kezaliman di sisi lainnya, tidak memiliki hubungan apapun dengan keberadaan manusia; seluruhnya hanya mengikuti siscem produksi yang diberlakukan. Sistem produksi semacam itu terkadang menciptakan keadilan secara paksa (al-jabr). Dan terkadang pula ia menciptakan kebalikannya, juga secara paksa.
Bertolak dari kerangka pemikiran semacam itu, Karl Marx menjelaskan bahwa lintasan perjalanan sejarah kemasyarakatan memiliki tahapan serta model yang pasti (deterministik). Tahapan perjalanan tersebut adalah sebagai berikut; masa "Kepemilikan bersama yang pertama" (atau disebut juga masa "Komune primitif”, —peny,), masa "Perbudakan", masa "Feodalisme" atau tuan tanah (orang kaya), masa "Borjuisme", dan masa "Kapitalisme", baru kemudian masa "Sosialisme" dan "Komunisme". Masa kehidupan "Kepemilikan bersama yang pertama" adalah masa di mana keberadaan manusia sejak awal telah melintasi kehidupan sosialnya namun masih belum berhasil menemukan tatacara pertanian, cara beternak binatang, mengembangkan usaha, dan alat-alat produksinya rnasih sangat sederhana.
Mereka hanya menemukan batu yang kemudian diasah menjadi tajam untuk digunakan berburu binatang. Dengan bckal peralatan yang ringan dan sederhana ini, mereka hanya mampu memproduksi sesuai dengan kemampuannya. Kehidupan mereka serupa dengan burung; ketika merasakan lapar di pagi hari, mereka keluar dari rumahnya untuk mencari makanan hingga matahari terbenam, dan setelah kenyang, mereka kembali ke rumah masing-masing. Secara paksa (al-jabr), kondisi tersebut menuntut mereka untuk saling bersikap baik antar sesama serta menjalin hubungan sosial dan persaudaraan di antara mereka; layaknya sekumpulan kijang yang tak pernah bcrkelahi, mereka berangkat di pagi hari dan kembali pulang ke rumah masing-masing pada petang hari; mereka hidup bersaudara. Adanya tantangan alam dan ancaman binatang buas menyebabkan mereka bersatu dan menjalin persahabatan. Selain itu, memang, tidak terdapat suatu penyebab yang bisa menimbulkan pertikaian dan pcrmusuhan di antara mereka. Pada masa itu, belum terdapat harta kekayaan, sehingga tidak ada penyebab pertikaian dan perselisihan. Dengan demikian, model produksi pada masa "Kepemilikan bersama yang pertama", telah menciptakan keadilan, persamaan, dan persaudaraan.
Akan tetapi, kondisi umat manusia secara berangsur-angsur mengalarni perkembangan. Sejak itu, manusia mulai mengetahui cara bertani, betcrnak binatang, membuat berbagai peralatan baru yang jauh lebih canggih, sehingga akhirnya mampu menghasilkan produk yang dibutuhkan. Bahkan produk yang dihasilkan sampai melampaui taraf kebutuhan mereka. Misalnya, mereka berhasil menemukan biji gandum dan biji-bijian lainnya. Kemudian mereka menanamnya dan berbasil menuai gandum sebanyak 200 kilogram. Hasil panen tersebut, selain dapat memenuhi kebutuhan pribadi si penanam juga dapat memenuhi kebutuhan sepuluh orang lainnya. Dari sinilah munculnya pengerukankeuntungan (istitsmâr). Fenomena semacam ini terjadi tatkala sekumpulan orang harus bekerja keras dan menghasilkan produk ekonomi, sementara sejumlah orang yang lain, tanpa harus bckerja dan bersusah payah, menikmati hasil usaha tersebut. Sebelumnya, setiap orang harus bekerja untuk memenuhi hajat hidupnya sendiri. Namun kemudian muncul sebuah kondisi baru di mana seseorang dapat hidup dari hasil usaha orang lain. Darinya cerbentuk "Kepemilikan khusus" (pribadi); pemilikan budak dan pemihkan tanah. Kala itu, terdapat segelintir orang yang hidup sejahtera dengan cara memanfaatkan tenaga budak hasil tawanan perang. Mereka sendiri hanya makan dan tidur, dan sembari itu terus memeras keuntungan dari hasil kerja para budaknya.
Dengan demikian, sejak peralatan produksi mengalami perkembangan, muncullah kepemilikan pribadi, pengerukan keuntungan (istitsmâr), dan kezaliman.
Apabila fondasi perokonomian mengalami kehancuran, manusia pasti akan mengalami nasib yang mengenaskan; apakah menjadi pengeruk keuntungan itu sendiri atau bahkan menjadi korban dari para pengeruk keuntungan. Menurut ungkapan Marx, kedua pihak tersebut sekarang mengalami keterasingan. Mereka telah tercerabut dari kemanusiaannya, dikarenakan dasar dari kemanusiaan adalah untuk "kita". Sebelumnya yang ada hanyalah "Kepemilikan bersama". Namun dengan munculnya "Kepemilikan pribadi", maka "kita" lantas berubah menjadi "saya". Mereka kemudian saling berhadap-hadapan. Dan mulai saat itu lahirlah berbagai kejahatan, kerusakan, serta kezaliman. Pada masa "Kepemilikan bersama", seluruh anggota masyarakat benar-benar menjalin persaudaraan dan melaksanakan keadilan. Itu dikarenakan pada masa tersebut belum terdapat harta kekayaan sehingga kehidupan mereka bebas dari pengaruhnya. Pada masa berikut, ketika konsep kepemilikan mulai diberlakukan, barulah muncul berbagai keburukan, kezaliman, kerusakan, serta kesewenang-wenangan.
Jika memang demikian adanya, tentu banya pada masa "Kepemilikan bersama" saja kebenaran mampu menguasai masyarakat. Setelah masa tersebut lewat, tak ada lagi kebenaran dan keadilan. Keduanya hanya menjadi bagian dari masa lalu, dan tidak mungkin dapat diwujudkan lagi pada masa sekarang, apalagi di masa depan. Sebab, ini bersesuaian dengan prinsipnya yang pertama, yang menyatakan bahwa manusia tidak memiliki esensi, fitrah, ruh, serta tidak pula memiliki pilihan (al'ikhtiar).
Seluruh pemikiran, jiwa, dan perasaan hanya diarahkan demi mengikuti keinginan masyarakat belaka. Dalam hal ini, masyarakat merupakan alat atau sarana produksi. Dan sesuai dengan kondisi produksi serta paksaan sejarah semacam itulah, manusiaterbentuk; jika diberi cahaya, ia akan menjadi terang, dan jika tidak, ia akan menjadi gelap.
Di depan cermin ada seekor burung kakatua yang mirip denganku. Apa yang diucapkan guru Azal, katakanlah aku akan mengatakan.
Di sini keberadaan cermin merupakan sebuah alat produksi. Keburukan, kerusakan, dan kebatilan merupakan produk yang dihasilkan secara paksa (al-jabr) oleh alat-alat produksi. Proses tersebut terus berlangsung sampai akhirnya keberadaan alat-alat produksi mengalami kemajuan dan perkembangan sedemikian rupa. Pada fase berikumya, kemajuan dan perkembangan tersebut menciptakan kondisi yang tidak memungkinkan adanya "Kepemilikan pribadi".
Dan pada saat yang bersamaan, segala sesuatu menjadi milik bersama dan bersifat umum. Kondisi semacam itu kemudian memaksa manusia untuk menjadi baik, benar, mencari perlindungan, saling bersaudara, "saya" berubah menjadi "kita", serta bercahaya. Semua itu meniscayakan terwujudnya kebenaran dan keadilan. Berdasarkan pandangan ini, manusia senantiasa hidup di bawah tekanan dan paksaan sejarah. Dan dalam kondisi seperti itu, alat-alat produksi kemudian menjadi jauh lebib berkembang daripada keberadaan manusia itu sendiri. Pada saamya, apabila alat-alat produksi menginginkan manusia menjadi baik, maka manusia akan menjadi baik. Sebaliknya, jika ia menginginkan buruk, maka akan terbentuklah manusia yang buruk. Masa sekarang merupakan masa yang buruk bagi manusia. Suatu hari kelak, bila alat-alat produksi berkeinginan untuk menciptakan manusia yang baik, maka akan tercipta manusia yang baik.
Jika memang demikian adanya, sejak semula seyogianya kita tidak boleh bersikap optimistis maupun pesimistis terhadap keberadaan manusia.

Tesis Perbaikan

Saya telah menyatakan bahwa mereka yang menganggap esensi manusia bersifat buruk, dan bersikap pesimistis terhadap karakter dan kepribadiannya, tidak memiliki "tesis perbaikan". Mereka beranggapan, manusia mustahil dapat diperbaiki. Selain itu, mereka pada dasamya tidak memiliki rencana untuk membangun "Kota yang Mulia" (al-Madînah al-Fâdhilah) bagi umat manusia.
Sekarang saya tegaskan bahwa Marxisme sendiri tidak meyakini adanya "tesis perbaikan". Malah mereka beranggapan bahwa penerapan suatu "tesis perbaikan" pada masa kepemilikan tak lebih dari sebuah khayalan belaka. Padahal, mereka juga tengah berkhayal tatkala menyampaikan berbagai petuah yang berisi anjuran-anjuran untuk menjunjung etika, menjalankan keadilan, serta merasa mampu untuk mewujudkan nilai-nilai Sosialisme dan membangun masyarakat komunis yang tidak memiliki hierarki (berkasta-kasta). Kenapa demikian? Sebab, Marxisme tidak menyakini bahwa manusia memiliki pilihan (al-ikhtiar). Dalam pandangan mereka, manusia harus mengikuti kemauan masyarakat serta alat-alat produksi perekonomian, yang semua itu dikatakan sebagai paksaan sejarah. Marx mengatakan, "Perubahan yang terjadi pada masyarakat adalah seperti kelahiran bayi, yang mana ketika masih belum cukup umur, bayi tersebut tidak akan terlahir. Mesti bersabar sampai alat-alat produksi mencapai perkembangan yang sempurna, yang demikian itu akan membuat lenyapnya 'Kepemilikan pribadi'. Sejarah persis seperti wanita yang mengandung, yang tidak mungkin dalam tempo riga bulan dapat melahirkan anak yang sehat dan sempurna; bayi akan gugur. la mesti bersabar sampai tiba waktunya. Usaha maksimal yang dapat kita lakukan hanyalah meringankan rasa sakimya dan membantu agar ia dapat melahirkan dengan lebih mudah."
Mereka yang meyakini konsep "masyarakat sebagai asal muasal" (ashalatul ijtimâ'), pada hakikamya berkeyakinan bahwa manusia tidak memiliki nasib yang jelas. Seluruh aspek eksistensialnya semata-mata berasal dari masyarakat dan berpikir secara terpaksa. Selain itu, mereka juga tidak mengakui adanya" tesis perbaikan". Karena, untuk mengakui adanya "tesis perbaikan", sebuah aliran pemikiran mesti menganut prinsip bahwa sosok manusia benar-benar memiliki kemampuan untuk memperbaiki dirinya, serta sanggup menegakkan kebenaran, keadilan, dan kejujuran.
Emile Durkheim, sosiolog asal Perancis, misalnya, amat meyakini konsep "masyarakat sebagai asal muasal". la secara terang-terangan menyatakan bahwa manusia pada dasarnya dikuasai oleh paksaan tertentu, dan ihwal kebebasan serta kemampuan pilihan hanyalah sebuah khayalan belaka. Menurut pandangan mereka, manusia layaknya pita kaset kosong. Suara apapun yang direkam ke dalamnya, akan secara paksa diperdengarkan kembali persis dengan suara aslinya. Mustahil pita kaset tersebut bereaksi untuk menentang, sembari mengatakan, "Aku diisi dengan pembahasan si fulan..., tetapi aku akan menyampaikan sebaliknya, —atau— aku akan meralamya." Demikian pula balnya dengan manusia. Apapun posisinya di tengah-tengah masyarakat, ia akan senantiasa diisi, didikte, dan dipenuhi oleh berbagai keinginan masyarakat. Dan pada gilirannya, ia akan mengeluarkan kembali apa-apa yang pernah didiktekan kepadanya. Paradigma yang mendasari pandangan semacam itu adalah "masyarakat sebagai asal muasal". Pandangan ini juga tidak mengakui adanya kebebasan serta kemampuan memilih pada diri manusia. Pilihan dan kebebasan tidak akan diketahui dengan jelas, kecuali jika terlebih dahulu diakui adanya keberadaan yang oleh Islam disebut dengan fitrah, yang sudah ada sejak awal penciptaan manusia dan sebelum terbentuknya masyarakat.

Tesis Perbaikan dan Keilmiahan Marxisme

Orang-orang Marxis mengatakan bahwa Marxisme merupakan sebuah ilmu. Perkataan ini mengandung arti bahwa Marxisme bukanlah "tesis perbaikan". Seorang ahli perkebunan tentu akan mengetahui secara jelas bagaimana proses pertumbuhan, penyerapan sari makanan oleh akar, serta pembuahan yang terjadi pada tumbul-tumbuhan. la juga akan mengetahui dengan jelas bagaimana cara membasmi hama serta menjaga keselamatan tumbuh-tumbuhan. Kemudian, dengan pengetahuan yang dimilikinya, ia berusaha menyingkapkan berbagai peristiwa alam, untuk kemudian menyesuaikan diri dengannya.
Seorang dapat menguasai alam sebatas pengetahuan yang dimilikinya tentang keberadaan alam itu sendiri. Akan tetapi, seorang ahli perkebunan tidak akan mampu menjadikan sebuah tunas menjadi sebatang pohon yang besar dalam tempo sehari saja. Sebab semua itu berada di luar jangkauan pilihan (ikhtiar)-nya. Perjalanan semesta alam ini pun berada di luar kemampuan manusia untuk memilih. Paling tidak, seseorang dapat mengetahui (bukan menentukan) perjalanan alam ini sehingga ia bisa menyesuaikan diri dengannya (alam).
Kalangan Marxian menyatakan bahwa Marxisme adalah ilmu. Klaim tersebut didasari anggapan bahwa mereka telah berhasil menemukan kenyataan mengenai perjalanan masyarakat yang berada di bawah paksaan (al-jabr) sejarah. Sebagaimana tumbul-tumbuhan yang memiliki satu jalur kehidupan alam yang bersifat memaksa dan konstan, masyarakat pun memiliki lintasan perjalanan sejarah yang tidak dapat dirubah. Proses perjalanan sejarahnya bersifat deterministik.
Sebagai ilustrasi, tatkala perjalanan yang ditempuhnya ditujukan untuk mencapai etape kelima, ia harus melewati masing-masing urutan etape sebelumnya, mulai dari yang pertama sampai yang keempat. Tentunya tidak mungkin untuk menyatukan dua etape sekaligus. Sebagaimana janin yang mesti melewati berbagai masa pembentukan secara berurutan dalam kandungan ibunya, demikian pula halnya dengan masyarakat.
Dalam menuju kesempurnaannya, masyarakat harus melewati berbagai fase secara sistematis. Seorang dokter atau bidan akan senantiasa berusaha agar sang janin yang berada dalam kandungan ibunya bisa lahir dengan selamat; meluruskan (posisi bayi) ketika berada dalam kandungan, meringankan rasa sakit sang ibu saat melahirkan, tidak membiarkan wanita yang akan melahirkan untuk terlalu banyak istirahat agar jabang bayinya tidak semakin membesar, serta berusaha agar (wanita yang sedang mengandung) tidak sampai melahirkan dengan cara dibedah. Seorang dokter atau bidan hanya dapat melakukan upaya pada batas tersebut. Mereka tidak dapat ikut campur dalam proses alamiahnya. Inilah contoh dari proses pemaksaan yang terjadi dalam masyarakat.
Di bawah paksaan sejarah, masyarakat akan melintasi sejumlah etape kehidupan; dimulai dari masa "Kepemilikan bersama yang pertama", kemudian masa "Perbudakan", "Feodalisme", "Borjuisme", dan "Kapitalisme". Semua masa tersebut harus dilalui sehingga nantinya akan tercapai masa purna "Sosialisme dan Komunisme yang terakhir".
Keinginan untuk menjadikan masyarakat yang masih berkarakter feodalistik langsung menjadi masyarakat yang sosialistik (tanpa melewati fase borjuasi maupun kapitalistik adalah sama dengan keinginan untuk membuat sperma langsung menjadi bayi yang siap dilahirkan. Hal ini jelas mustahil dilaksanakan. Perjalanan yang semestinya ditempuh masyarakat selama seratus tahun, tak mungkin bisa ditempuh dalam tempo sehari saja. Dalam konteks ini, "tesis perbaikan" yang memberikan manusia kebebasan, ilmu, dan keimanan, dan juga hendak mengantarkan manusia pada kebaikan, kesempurnaan, dan kebahagiaan, menjadi sesuatu yang mustahil untuk dilaksanakan.
"Tesis perbaikan" yang dimaksud merupakan sebuah rancangan kebidupan, di mana manusia mesti membangun dirinya sesuai dengan rancangan tersebut. Akan tetapi, Karl Marx megatakan bahwa dirinya tidak memilki tesis semacam itu. la menegaskan bahwa dirinya tidak memiliki pemikiran dan kebijakan ilmiah. Dikatakanya, "Pada masa Feodalisme, janganlah engkau menggeakkan tangan dan kaki secara sia-sia, lakukanlahsuatu kegiatan agar Feodalisme dapat melewati masanya, dan masuk pada masa Borjuisme. Apabila masyarakat telah memasuki masa Kapitalisme, lakukanlah suatu upaya agar terjadi pertentangan yang cukup keras, sehingga terciptalah revolusi." Inilah maksud dari pernyataan bahwa dirinya tidaklah memiliki "tesis perbaikan". Sebab, yang dimaksud dengan "tesis perbaikan" adalah perbaikan manusia oleb dirinya sendiri. Tesis ini berpijak pada dua bentuk pemikiran yang amat mendasar; pertarna, di alam ini terdapat manusia yang senantiasa cenderung pada kebenaran (al-haq). Dan kedua, manusia harus memiliki kebebasan serta kemampuan untuk memilih (al-mukhtâr) agar sanggup menentukan pilihannya.
Apabila di jagat alam ini keberadaan manusia sernata-mata keburukan belaka, tentunya ia tidak akan dapar diperbaiki oleh jenis manusia juga. Kedatangan para nabi as mencerminkan bahwa perbaikan terhadap manusia juga dilakukan oleh manusia, bukan oleh para malaikat. Al-Qur'an mengatakan, "Sesungguhnya Karni telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan."[11] Kami mengutus para nabi dengan membawa hujah-hujah yang jelas. Di samping itu, Kami juga memberi mereka al-Kitab dan neraca, agar manusia menegakkan keadilan. Dalam hal ini, ridak dikatakan agar para nabi memaksa manusia pada keadilan, melainkan manusia itu sendiri yang menegakkannya. Para nabi menginginkan agar manusia sendirilah yang memperbaiki masyarakamya; inilah yang dimaksud dengan "tesis perbaikan".
Klaim atas nilai ilmiah dari pemikiran Marxisme bersumber dari penolakan atas adanya "tesis perbaikan”. Namun ternyata itu tak lebih dari sekadar hipotesis belaka. Bahkan hipotesis tersebut tidak pernah bersesuaian dengan hasil eksperimen yang dilakukan para pendiri Marxisme sendiri. Di zamannya, mereka tidak dapat membuktikan kebenaran hipotesis tersebut. Lebih dari iru, mereka menjumpai bahwasanya hasil pengujian yang diperoleh berbanding terbalik dengan hipotesis serta perkiraan yang dirumuskan sebelumnya. Bukan hanya sejarah masyarakat yang tidak memberikan pembuktian terhadap kebenaran hipotesis tersebut, malah sebaliknya, para ahli sejarah menegaskan bahwa kondisi alam tidak selaras dengan seluruh pernyataan yang terkandung di dalamnya. Selain itu, (Karl) Marx dan (Friederich) Engels menjelang akhir hayamya justru membuat ulasan dan analisis mengenai berbagai perubahan sosial revolusioner yang terjadi di Eropa, yang bertentangan dengan kerangka pandangannya yang pertama. Lebih dari itu, salah seorang pengikut Marxisme, Lenin (yang sukses memimpin kudeta di Rusia pada tahun 1917, —peny.), bahkan mengukuhkan pandangan yang bertentangan dengan pandangan para pendahulunya; bahwa yang mendasari seluruh keberadaan organisasi sosial adalah politik, bukari ekonomi. Karenanya, sosialisme ala Marx telah diberlakukan dalam sebuah masyarakat yang ternyata masih belum menuntut dibentuknya asas perekonomian. Prinsip pembentukan kekuatan tentara adalah politik. Pemerintahan dibentuk di atas prinsip politik. Begitu pula dengan partai yang didirikan di atas prinsip politik.
Semua itu tentu tidak pernah terlintas dalam benak Marx, yang dalam pemikirannya lebih mengutamakan keberadaan hierarki (kasta) ketimbang partai politik. Dalam hal ini, Marx pernah mengatakan, "Ketika partai semakin dekat dengan Komunisme, maka semakin dekat pula ia dengan hierarki para pekerja." Namun Lenin mengatakan, "Kita benar-benar menyakini adanya hierarki tatkala ia lebih dekat dengan partai, dan kita juga dapat memasukkan sebagai anggota, mereka yang bukan berasal dari hierarki pekerja," Mao Tse-tung (pemimpin revolusi kebudayaan di Cina pada tahun 1949, —peny.) memiliki pendapat yang lebih bertentangan lagi, melebihi pendapat Lenin. Mao menunjukkan bahwa ternyata ada juga bayi yang dalam semalam mampu menempuh perjalanan yang seharusnya ditempuh dalam seratus tahun.
Marx hanya duduk menanti kelahiran sang bayi dari berbagai rahim yang sedang mengandung pada masa itu. Dalam perkiraannya, rahim-rahim yang tengah mengandung tersebut adalah Inggris, Jerman, Amerika, serta Perancis, karena di seluruh kawasan tersebut, kapitalisme benar-benar sedang mencapai puncak perkembangan dan kesempurnaannya. Kehamilan negara-negara tersebut telah berusia sembilan bulan, dan secepamya akan melahirkan bayi Sosialisme; seorang bayi dari Inggris, seorang dari Perancis, dan seorang lagi dari Amerika. Namun seluruh kehamilan yang semestinya hanya mencapai usia sembilan bulan ini, tetap tidak berakhir. Bahkan ketika usianya sudah mencapai sembilan tahun, sembilan puluh tahun, bahkan sampai sekarang ini, mereka masih belum juga melahirkan!! Kini sudah tak ada lagi harapan terhadap kelahiran mereka. Sebaliknya, negara-negara Sosialisme telah dilahirkan secara prematur, yakni sejak bertemunya sperrna dengan sel telur (ovum ) di dalam rahim. Sekarang ini, negara yang condong pada Sosialisme adalah negara yang paling terbelakang.
Dalam tulisannya yang berjudul, "Empat Tulisan Filsafat", Mao secara terang-terangan—tanpa menyebut nama Marx—mengatakan, "Ketika kita meyakini bahwa pertentangan terbesar adalah pertentangan di bidang ekonomi, itu tidak selalu benar, bahkan pada suatu waktu, pertentangan terbesar adalah pertentangan pemikiran. Pada kondisi tertentu perekonomian dapat dijadikan sebagai berbagai asas, dan pacia kondisi lain, pertama kali yang mesti dirombak adalah sistem kemasyarakatan, baru kemudian dilakukan perombakan sistem perekonomian." Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa berbagai pendapat sebelumnya (yang berkenaan dengan prinsip perekonomian) tak lebih dari bualan belaka.
Pada masa sekarang ini, tak ada pernyataan yang lebih absurd dari prinsip dan pandangan (yang dinyatakan Marx). Yang amat disesalkan, sebagian dari para pemuda kita menganggap pernyataan semacam itu sebagai sesuatu yang ilmiah. Lebih mengherankan lagi, ada sebagian kalangan yang menginginkan agar prinsip dan pandangan tersebut diterapkan dalam Islam. Mereka mengatakan, "Islam juga menganggap perekonomian sebagai asas kehidupan masyarakat!!" Pada hakikamya, mereka tidak memahami Islam dan juga tidak memahami Marxisme. Teori tersebut tak mungkin bisa diterapkan, baik oleh para penggagasnya, maupun oleh seluruh manusia yang hidup permukaan buini ini. Sekarang ini, teori tersebut hanya dipandang sebagai sebuah slogan dan propaganda belaka. Para penganut Marxisme tampaknya sudah terlanjur fanatik dengan seluruh teori yang berasal dari tokoh-tokoh mereka. Akibamya, mereka tidak sedikitpun berkeinginan untuk menentang, bersikap kritis, apalagi menjatuhkan para tokohnya. Sehingga dengan penuh keterpaksaan, para penganut mazhab ini menyebarkan propaganda absurd dengan selalu menyebut-nyebut nama mereka (tokoh-tokoh pemikiran dan ideolog Mancisme, —peny.).

Mengapa Sejarah Diidentikan Kegelapan?

Pendukung Marxisme berupaya keras memberikan gambaran bahwa sejarah umat manusia adalah sejarah yang kelam. Mereka senantiasa memperlihatkan sejarah sebagai sebuah kegelapan. Dalam anggapan mereka, sisi terang sejarah hanya terjadi pada masa "Kepemilikan bersama yang pertama" (first community) dan juga pada masa akhir sejarah atau "Kepemilikan bersama yang kedua" (second community). Sejarah umat manusia selalu sarat dengan keburukan dan "Kepemilikan pribadi". Selanjumya, mereka juga beranggapan bahwa pemerintahan merupakan suatu kebatilan, kezaliman, kerusakan, keburukan, pertumpahan darah, penipuan, kelicikan, dan kebohongan. Berkenaan dengan berbagai peristiwa faktual yang tercantum dalam lembaran sejarah umat manusia, mereka berkomentar: "Semua peristiwa itu adalah kelicikan belaka, kegelapan di atas kegelapan, bahkan agama dan para nabi tidak memiliki peran sama sekali, mereka tidak mengenal manusia, manusialah yang menciptakan semua (agama-agama) itu, lalu mereka jadikan sebagai alat untuk berbuat kezaliman, melakukan pembodohan, dan menciptakan candu. Jika ada seseorang yang menyerukan hak dan keadilan, maka mereka pasti memiliki kepentingan tertentu. Mungkinkah pada masa 'Kepemilikan pribadi' terdapat orang yang benar-benar mendukung hak, hakikat, dan keadilan?"
Alhasil, terkadang para pendukung Marxisme sendiri mengakui bahwa dalam sejarah pemah terjadi berbagai kebangkitan dari orang-orang miskin (sekalipun orang-orang miskin itu hanya menuntut hak pribadinya belaka dan bukannya mendukung keadilan. Meskipun jika keadilan diterapkan, maka hak-hak mereka otomatis akan terpenuhi). Akan tetapi, seluruh pergerakan tersebut tidak mampu mencapai targemya, mengingat kemunculannya terjadi dalam kondisi produksi "Kepemilikan pribadi" atau "Perbudakan", "Feodalisme", atau "Borjuisme". Kebangkitan gerakan-gerakan perlawanan orang-orang miskin itu tak ubahnya melawan arus yang deras, sehingga menutup kemungkinan bagi tercapainya sasaran serta tujuan yang telah dicanangkan sebelumnya.
"Keadaan" sementara dan bersifat memaksa memang dapat bergerak secara bertentangan dengan "realitas". Namun, bal itu hanya bersifat temporal dan cepat berlalu. Berkenaan dengan itulah, kebangkitan orang-orang miskin tersebut bisa dimaklumi. Berbagai kebangkitan itu ibarat secercah cahaya di alam semesta yang bersifat sekejap, untuk kemudian segera padam, dan dunia kembali dikuasai kegelapan. Dan (cahaya) yang bersinar dalam sekejap itu bukannya memberikan kebaikan kepada mereka, malah sebaliknya, menjadi sebuah pctaka yang mengguncang jiwa mereka.
Sekalipun diakui bahwa agama mampu mengbailkan berbagai pengaruh kecil terhadap sejarah, namun tetap saja ia tidak mampu menghancurkan berbagai belenggu kehidupan. Sebagaimana halnya konsep "Kota Mulia" yang digagas Plato. Dikarenakan konsep tersebut hanya berupa ide serta pandangan yang bersifat abstrak dan tidak realistis, maka tak seorang pun yang mampu mewujudkannya, termasuk Plato sendiri.[12] Dengan demikian, semua itu tak lebih dari peristiwa-peristiwa yang bersifat sekejap saja. Contoh lain, berkaitan dengan pemerintahan Amirul Mukminin Ali as. Beliau telah memerintah dan menegakan keadilan dalam kurun waktu lima tahun. Namun, apabila mengikuti logika di atas, masa pemerintahan Ali as yang lima tahun ini laksana berlangsung dalam satu detik belaka dan tidak masuk dalam hitungan jika dibandingkan dengan sejarah umat manusia yang pada hakikamya senantiasa diselubungi berbagai kegelapan.
Semua itu (ungkapan di atas) senantiasa dikumandangkan para Marxis secara bergerilya. Saking mempesonanya, sejumlah orang beragama akhirnya termakan tipuan mereka. Semua itu merupakan salah satu dari berbagai rencana dan rancangan usaha mereka untuk menjatuhkan keberadaan agama. Ini mengingat sepanjang sejarah selalu ada orang-orang yang menyeru pada keadilan, bangkit demi membela kaum tertindas dan teraniaya. Dan semuanya hanya berasal dari kalangan agama semata. Tak ada dari selainnya. Bahkan para filosof kuno pun tak pernah memikirkan hal semacam itu.
Pembahasan mengenai keadilan, memerangi kezaliman, persoalan hak dan kejujuran, serta masalah persamaan dan persaudaraan, hanya terdapat dalam agama. Dan ungkapan miring sebagaimana di atas merupakan tuduhan yang amat keji, yang ditujukan pada sejarah.
Dalam salah topik ceramah saya yang berjudul "Hamâseh-e Husainî" (Semangat Husain), saya mengkritik sebagian mereka yang biasa naik ke mimbar dan menukil cerita Imam Husain as. Saya mengatakan bahwa peristiwa Asyûrâ' memiliki dua lembaran, dua sisi; lembaran putih dan hitam, atau sisi terang dan sisi gelap. Ibarat dua sisi mata uang logam.
Satu sisinya berbentuk kezaliman, kejahatan, kekejaman, kepengecutan, dan kekerasan hati. Jumlah para pahlawan yang berada pada sisi ini cukup banyak. Seperti Umar Ibnu Sa'ad, Syimr, Sinan Ibnu Anas, Harmalah al-Kufi, dan sejenisnya. Lembaran tersebut merupakan lembaran paling hitam yang pernah ada dalam sejarah. Sedangkan sisi lainnya merupakan lembaran sejarah paling benderang dan cerah. Pada lembaran ini, kita menyaksikan bentuk yang sebenamya dari keirnanan, ketawakalan, perjuangan, kesabaran, dan keridhaan.
Para pahlawan lembaran ini adalah pribadi Imam Husain as, saudara Imam Husain as, anak-anak Imam Husain as, serta para sahabat Imam Husain as. Jika kita bandingkan lembaran indah ini dengan lembaran yang buruk tadi, akan semakin tampak kehebatan-kehebatan mereka. Akan tetapi, sebagian penceramah di mimbar-mimbar nampaknya telah terbiasa menceritakan Asyûrâ’ kepada khalayak ramai menyangkut sisi gelapnya semata, seakan-akan peristiwa sejarah ini tidak memiliki sisi terang sama sekali.
Imam Husain as berserta sahabat dan pendukungnya seolah-olah menjadi orang-orang yang kalah, tertindas, dan tidak memiliki jiwa heroik. Padahal, sebagaimana yang kita ketahui bersama, peristiwa tersebut memiliki dua lembaran, di mana lembarannya yang indah dan terang benderang jauh lebih layak untuk diungkapkan ketimbang lembaran buruknya yang kelam.
Sanggahan ini serupa dengan sanggahan yang ditujukan kepada para sejarahwan Materialis, yang senantiasa berusaha menggambarkan sejarah umat manusia sebagai sesuatu yang benar-benar bitam kelam. Upaya tersebut dilakukan lantaran jika mereka mengungkapkan sisi terang dari sejarah, maka itu sama saja dengan menentang teori filsafamya sendiri.
Apabila mereka mengungkapkan lembaran sejarah yang indah, kekeliruan Materialisme sejarah akan tampak semakin jelas. Mereka mengatakan, sejak masa munculnya "kepemilikan", manusia telah tercerabut dari akar kemanusiannya, yang menurut istilah Marx, manusia telab terasing dari diri mereka sendiri dan telah mengalami pergeseran jenis (mamsûkh).
Para pengeruk keuntungan telah begitu jauh tercerabut dari akar kemanusiaan, sementara para korban dari ulah para pengeruk keuntungan itu merupakan persoalan lain lagi. Apa yang disebut dengan manusia adalah mereka yang hidup pada masa "Kepemilikan bersama yang pertama". Sebabnya, pada masa itu manusia dikembalikan pada jati diri kemanusiannya, dan demikian pula pada masa "Kepemilikan bersama yang kedua". Di antara kedua masa ini, manusia berada di luar kemanusiaannya, dan sepanjang sejarah kehidupannya tidak akan terdapat titik terang, kecuali hanya sekejap.
Kalau memang demikian, lantas apa yang mesti dilakukan? Manusia harus bersabar sampai kendaraan sejarah melewati berbagai etapenya untuk kemudian mencapai tujuan. Pada saat itulah, alat-alat produksi secara paksa akan menciptakan Sosialisme dan situasi kepemilikan bersama.
Berdasarkan frame berpikir semacam itu, maka dalam upaya untuk menciptakan Sosialisme, menegakan keadilan, dan menjunjung hak, manusia tidak memiliki peran sama sekali, serta tidak mampu memajukan atau memundurkan perwujudannya. Sebagaimana perjalanan alam semesta ini, semua proses tersebut harus berjalan dengan sendirinya, yang nantinya akan mencapai tujuan yang dimaksud. Ketika masa, kesempatan, dan sejarahnya tiba, semua akan terwujud dengan sendirinya.

Sudut Pandang Islam

Pandangan Islam jelas berbanding terbalik dengan pandangan Marxisme. Sebagaimana yang telah saya isyaratkan pada awal pembahasan ini, al-Quran mengakui bahwa proses penciptaan alam semesta berdasarkan pada hak (kebenaran). Dan hak tersebut merupakan wujud otentik (ashîl). Sebaliknya, al-Quran tidak mengakui bahwa yang buruk (bâtil) merupakan sebuah wujud otentik (ashîl), sekalipun tidak menafikan atau menolak adanya hal tersebut. Dari sisi ini, al-Quran merasa optimistis terhadap sejarah, dan mengakui bahwa manusia memiliki otentisitas atau keaslian (ashâlah). Al-Quran juga tidak mengatakan keberadaan manusia semata-mata sebagai alat, dan berjalan dalam sejarah secara terpaksa dan buta. Semua itu dikarenakan al-Quran meyakini bahwa keimanan memiliki otentisitas (ashâlah). Al-Quran meyakini bahwa secara substansial (dzâtî), manusia cenderung pada kejujuran, amanat, dan keadilan. Dalam pandangan al-Quran, manusia adalah makhluk yang hanîf (yang lurus), cinta kebenaran (al-haq), di mana di dalam dirinya terdapat kecenderungan fitriah pada kesempurnaan, kebaikan, dan kebenaran. Pada saat yang sama, manusia juga memiliki kebebasan dan kehendak untuk memilih, sehingga terdapat kemungkinan dirinya akan menyimpang dari jalur fitriahnya; menolak kebenaran, berbuat kezaliman, dan berbohong. Al-Quran mengakui bahwa semua itu merupakan bentuk perjalanan yang bersifat sementara.
Lebih lanjut, pandangan ini menegaskan bahwa kebatilan hanyalah sesuatu yang bersifat relatif, sampingan, dan tak lebih dari sekadar bayangan yang tak bernilai. Lantas darimanakah munculnya kezaliman? Dalam hal ini dapat diketahui bahwa orang yang zalim adalah orang yang tidak lagi menuruti rasa ketuhanan yang ada dalam dirinya, la mengikuti jalan selain Allah, yakni jalannya para setan.
Kebatilan atau keburukan muncul dikarenakan terjadinya perubahan arah perjalanan. Ini dimungkinkan lantaran adanya kelaziman (keharusan) dari keberadaan manusia yang memiliki kehendak untuk memilih dan kebebasan. Kebenaran (al-haq) adalah sesuatu yang esensial, sementara kebatilan bukan sesuatu yang bersifat esensial. Antara sesuatu yang esensial dengan yang non-esensial senantiasa akan terlibat dalam perselisihan dan peperangan. Akan tetapi, bukan berarti kebenaran (al-haq) senantiasa mengalami kekalahan sementara kebatilan (al-bâtil) senantiasa meraih kemenangan. Segala sesuatu yang ada dan bersifat langgeng, dan yang senantiasa menjaga kelangsungan jalannya roda kehidupan serta peradaban adalah kebenaran (al-haq). Sedangkan kebatilan hanyalah sebuah bayangan belaka dan tak lebih dari sekadar percikan api, yang kemudian akan padam dan musnah. Di manapun, bentuk fitrah manusia adalah sama. Sekalipun di Rusia. Dari sepuluh juta orang Komunis, kemungkinan besar lima jutanya terdiri dari orang-orang yang lalai. Jika Anda meneliti seratus sembilan puluh juta orang lainya, maka Anda akan menyaksikan bahwa di antara mereka banyak terdapat orang yang memiliki fitrah cemerlang. Mereka itu bisa dikatakan sebagai Muslim fitri, tepamya Muslim secara fitrah, yakni Muslim yang sehat. Jika kondisi masyarakat sebagaimana diungkapkan para pendukung Marxisme memiliki sisi gelap yang lebih kuat dari sisi cerahnya, sisi buruknya lebih kuat dari sisi baiknya, maka pada hakikatnya mereka akan saling berbohong dan berkhianat satu sama lain. Seorang yang tidak bertakwa dan tidak memiliki keimanan, mustahil dapat dijadikan tumpuan masyarakat.
Antara keberadaan masyarakat yang sakit dengan keberadaan masyarakat yang dikuasai keburukan tentunya sungguh amat berbeda. Janganlah Anda memiliki pandangan yang muluk-muluk, sebab hal itu bukanlah sebuah tolok ukur bagi keberadaan masyarakat. Keberadaan masyarakat identik dengan keberadaan seorang manusia. Para ahli hikmah (filosof) mengatakan bahwa kondisi yang menjaga kelangsungan dan kestabilan hidup atau tubuh seseorang berada di antara dua batasan. Misalnya, tekanan darah manusia yang harus berada di antara dua batasan. Jika kurang dari batasan, manusia akan meninggal dunia, begitu pula jika melebihinya. Karenanya, tekanan darah harus berada pada batasan yang seimbang. Manusia senantiasa menjaga kondisi tubuhnya agar selalu berada dalam keadaan seimbang. Kadar urea (zat yang terdapat dalam air seni) yang terlampau kurang atau melebihi batasan yang seharusnya tidak baik bagi tubuh. Sel-sel darah putih dan darah merah tidak boleh kurang dan melebihi batasan tertentu. Atau, zat gula yang tidak boleh kurang atau melampaui kadar yang sesuai dengan kebutuhan tubuh. Demikian pula dengan keberadaan masyarakat. Apabila hak dan hakikat yang terdapat dalam masyarakat tidak mencapai batasan yang semestinya, maka masyarakat tersebut akan sekarat, untuk kemudian mati. Dan bila terdapat sebuah masyarakat yang kondisinya stagnan, maka dapat kita ketahui bahwa masyarakat tersebut berada di antara dua batasan kebatilan, baik itu yang bersifat terlalu berlebih-lebihan (ifrâth) maupun terlalu kurang (tafrîth). Kedua batasan tersebut berdiri pada posisi yang sejajar. Sedangkan, jika kondisinya bersifat seimbang, maka keberadaan suatu masyarakat akan terus mengalami perkembangan. Sebaliknya, suatu masyarakat mungkin saja berada pada posisi melampaui batasan sisi ini atau melampaui batasan sisi yang lain. Lantas, masyarakat manakah yang dinyatakan al-Quran telah mengalami kebinasaan? Masyarakat tersebut adalah masyarakat yang dikuasai oleh kebatilan.
Al-Quran senantiasa menegaskan bahwa suatu masyarakat mesti berada dalam posisi seimbang dalam arti yang sesungguhnya. Dengan demikian, suatu masyarakat menjadi sakit tidak lain dikarenakan ia telah dikuasai kebatilan. Kita tidak boleh keliru menentukan keduanya (kebenaran dan kebatilan). Peperangan antara kebenaran dan kebatilan senantiasa terjadi. Datangnya kebatilan yang menutupi kebenaran hanya bersifat sementara. Kebatilan tidak memiliki kekuatan untuk tetap menutupi kebenaran. Dan pada akhirnya, ia akan tersingkirkan dengan sendirinya. Kebatilan merupakan wujud sampingan, bersifat sementara, dan tak lebih dari sekadar parasit. Sedangkan wujud yang senantiasa ada adalah kebenaran. Karenanya, masyarakat yang lebih cenderung pada kebatilan akan dianggap musnah. Kecenderungan pada kebatilan secara penuh berarti memutuskan diri dari kebenaran, dan itu berarti bergerak menuju kemusnahan. Kebatilan merupakan sesuatu yang dihukumi sebagai kematian. la mengalami kematian dari dalam. Sebagaimana acap dikatakan bahwa pada masa sekarang ini peradaban fulan telah mati, yakni mengalami kehancuran dan kepunahan. Peradaban tersebut tengah sekarat dan mengalami kematian dari dalam. Sebagian kematian tidak mesti terjadi secara sekaligus, melainkan secara berangsur-angsur.

Argumentasi Al-Quran

Sebagian ayat-ayat al-Quran yang menyinggung masalah kebenaran dan kebatilan seyogianya diperhatikan dan ditafsirkan dengan seksama.
1. Pada awal pembahasan yang berkenaan dengan "Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang," dikatakan bahwa ke-Maha Pengasihan Allah bersifat esensial (al-ashâlah). Keperkasaan, kemurkaan, kesombongan, serta pembalasan dendam merupakan sifat-sifat Allah. Namun sifat-sifat tersebut hanyalah sampingan (taba’î) semata yang muncul dari sifat luthf (kelembutan)-Nya. Dari sudut pandang yang amat tinggi ini, tak ada satupun keberadaan melainkan di situ terdapat Allah, ke-Maha Pengasih-an-Nya dan ke-Maha Penyayang-an-Nya. Segala yang ada merupakan kebaikan, kesempurnaan, serta kemurahan. Sedangkan keburukan, kekurangan, dan ketiadaan merupakan segenap hal yang bersifat relatif (nisbi) dan sampingan (taha’î) belaka.
Dalam sistem keberadaan (al-wujûd) ini, kebaikan dan kebenaran bersifat dominan dan esensial. Adapun kebatilan bersifat non-esensial dan akan segera musnah. Sedangkan yang tetap tegar dan kuat hanyalah kebenaran itu sendiri. "Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah,"[13] "Dan tetap kekal Zat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemulia-an."[14] Sepanjang sejarah umat manusia, pandangan semacam inilah yang lebih dominan. Pandangan ini menegaskan bahwa kemenangan senantiasa berpihak pada kebenaran dan pemerintahan kebenaran akan dapat menaklukan seluruh pemerintahan kebatilan. "Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (al-Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai."[15]
2. Dalam ayat yang terdapat dalam surat al-Baqarah dipaparkan adanya tiga kelompok yang saling bertolak belakang; kelompok mu'minin, kafirin, dan munafiqin.
Kelompok mukminin memiliki keimanan kepada hal yang gaib (metafisika), menjalankan shalat dengan benar, tertib, dan sempurna, menginfakkan hartanya, beriman pada sekolah (madrasah)nya yang merupakan sekolah Ilahi (madrasah Ilâhiah), serta meyakini keberadaan alam akhirat. Inilah kelompok yang akan berhasil dalam kehidupannya dan akan dengan leluasa berjalan di jalur hidayah Ilahi.
Sedangkan pada saat menjelaskan orang-orang kafir, al-Quran menyajikan ilustrasi yang sungguh jelas. Orang-orang kafir diibaratkan sebagai seorang murid yang gurunya telah berusaha dengan berbagai cara untuk memberi peringatan kepadanya, namun ia masih belum juga mampu membimbingnya ke jalan yang lurus. Dan ketika ayah si murid datang, sang guru mengatakan kepadanya, "Pak, biarkan saja anak ini, ia adalah sosok manusia yang tak mungkin dapat dibenahi." Kekufuran (pengingkaran) terjadi setelah datangnya ajakan dan penjelasan. Tatkala mengingkari apa-apa yang telah dipaparkan, maka nasihat apapun sudah tidak lagi berguna dan tidak akan menyentuh jiwa mereka, "Sesungguhnya orang-orang kafir sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman." "Allah telah mengunci mati hati mereka dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat."[16]
Dalam menjelaskan keberadaan orang-orang munafik (munâfiqîn), nampaknya al-Quran lebih memberikan penekanan. Banyak ayat-ayatnya yang mengupas tentang keadaan mereka. Orang munafik (munâfiqîn) ialah orang yang menggunakan agama demi menghancurkan agama itu sendiri. Dalam kehidupannya, mereka akan menampakkan dirinya seolah-olah orang yang (taat) beragama. Namun sebenamya dalam batinnya tertanam permusuhan yang hebat terhadap agama. "Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian, padahal mereka itu sesungguknya bukan orang-orang yang beriman." "Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu diri mereka sendiri sedang mereka tidak sadar."[17]
Pada hakikamya, mereka tengah menipu dan mengelabui Allah. Mereka hendak mengelabui kebenaran dan orang-orang mukmin. Akan tetapi, al-Quran mengatakan bahwa mereka semua tidak akan pernah meraih keberhasilan. Dalam perkiraan mereka, masyarakat mudah tertipu dan tidak mengetahui serta tidak memiliki perasaan sama sekali terhadap adanya maksud buruk mereka.
Seorang sufi menarik arang dengan memperalat kebenaran,
Membangun tipu muslihat dan mempermainkan penganut kebenaran,
Permainannya terbongkar dan tipuannya gagal,
Karena ia bermain sulap di hadapan orang yang mengetahui rahasianya.
Al-Quran menjelaskan cara penipuan semacam itu dan mengatakan bahwa mereka telah menipu orang-orang yang benar dengan modus tersebut:
"Dan apabila mereka berjumpa dengan orang 'orang yang beriman, mereka mengatakan: 'Kami beriman .' Dan apabila mereka kembali kepada setari'setan mereka, mereka mengatakan: 'Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok'."[18]
Mereka beranggapan bahwa dirinya amat cerdik; ketika duduk bersama orang-orang beriman, mereka mengatakan, "Ya, kami adalah dari kelompok kalian." Akan tetapi, tatkala duduk bersama saudara yang sebenarnya, yakni para setan, mereka mengatakan, "Keimanan kami hanyalah pura-pura dan lahiriah belaka, dan hati kami bersama kalian, kami hanya mempermainkan mereka!"
Kemudian al-Quran mengatakan: "Allah akan (membalas) olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan."[19] Pada dasarnya, perbuatan yang mereka lakukan akan merugikan diri mereka sendiri. Dalam hal ini, justru Allah sendirilah yang akan mempermainkan mereka, di mana sunah alam akan membuat mereka senantiasa menjadi bahan tertawaan dan berada dalam kebutaan serta kebingungan tanpa akhir.
Kemudian terdapat sebuah penjelasan yang amat menakjubkan: "Perumpamoan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api menerangi sekelilingnya, Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat."[20] Mereka senantiasa melakukan berbagai "nukri"[21], dan akalnya senantiasa digunakan untuk memenuhi kepentingan hawa nafsu dan setan (alhasil, sebagaimana perasaan dan insting, akal bagi manusia merupakan sebuah cahaya dan petunjuk). Seseorang yang menggunakan akalnya demi melaksanakan "nukri"-nya serta menentang hidayah (petunjuk) agama, laksana seseorang yang menyalakan api di kegelapan padang pasir, lalu menggunakan cahaya tersebut untuk menemukan jalan. Ketika dinyalakan, api tersebut akan memberikan manfaat dan menjadikan tempat di sekitarnya terang benderang. Namun, Allah Swt dengan segera akan memadamkan api tersebut dan membiarkannya tetap berada dalam kegelapan. "Mereka tuli, bisu, dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar)."[22] Dalam hal ini, mereka bukan hanya akan berada dalam kegelapan. Lebih dari itu, Allah akan membungkam fungsi pendengaran, lidah, dan penglihatannya. Orang yang melihat secercah pelita yang nampak di kejauhan akan memperoleh petunjuk bagi jalan yang ditempuhnya. Begitu pula jika telinganya dalam keadaan terbuka, sekalipun berada dalam kegelapan, seseorang akan mampu mendengar suara unta atau klakson mobil, yang karenanya ia akan mengetahui jalan yang mesti dilalui. Atau bila mulumya terbuka, tentu ia akan mampu berteriak, sampai orang yang berada disekitar situ mendengarnya, untuk kemudian membimbingnya melintasi jalan tersebut. Akan tetapi, bagi orang-orang munafik, semua kemampuan tersebut (mendengar, melihat, dan berbicara) telah sirna.
"Atau (seperti arang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh, dan kilat; mereka menyumbat telinga mereka dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang yang kafir."[23] Ini merupakan perumpamaan al-Quran yang lebih keras lagi. Kita acapkali melihat di langit berkelebat cahaya petir yang bersifat sekejap, untuk kemudian lenyap dan padam. Namun, dikarenakan cahaya kilat tersebut diiringi suara guntur, mereka pun segera meletakkan ujung jari ke lubang telinganya. Karenanya, bisa disimpulkan bahwa mereka akan makin kesulitan untuk menemukan jalan, terlebih untuk mencapai tujuannya.
Dengan demikian, al-Quran berkeyakinan bahwa berbagai bentuk penipuan tidak akan pernah memperoleh hasil. Al-Quran tidak mengatakan bahwa alam semesta diatur di atas prinsip penipuan. Lagi pula, al-Quran menolak logika yang menyatakan bahwa perjalanan sejarah terjadi atas dasar pemaksaan, penipuan, dan kegelapan. Dalam logika al-Quran, kendati kehidupannya didominasi dan dikepung keburukan, kejahatan, serta kezaliman, namun keberadaan (kebenaran dan kebaikan, —peny.) masyarakat akan tetap eksis. Tatkala Nabi yang mulia SAWW bersabda: "Kerajaan dapat hidup berdampingan dengan kekufuran, namun tidak akan dapat hidup bersama kezaliman," artinya, kendatipun kita melihat suatu kezaliman berada pada puncaknya —sebagaimana misalnya Nadir Syah yang seluruh tingkah lakunya merupakan kezaliman— namun keberadaan masyarakamya tidaklah demikian. Benar, bahwa pada masa itu Nadir Syah telah membangun sebuah menara yang tersusun dari ribuan kepala manusia. Namun apabila dilakukan semacam penelitian secara seksama terhadap berbagai kelompok yang terdapat dalam masyarakat saat itu, atau membuat semacam sensus, maka Anda akan menyaksikan bahwa di tengah-tengah masyarakat, kejujuran lebih dominan dari kebohongan, dedikasi lebih dominan dari pengkhianatan, dan ketakwaan lebih dominan dari kefasikan. Entitas masyarakat harus dilihat secara menyeluruh, khususnya pada pendirian dan sikap yang dimiliki orang per orang.
3. Berkenaan dengan ayat-ayat yang terdapat dalam surat ash-Shâffât. Di akhir surat ini, dijelaskan bahwa para nabi pasti akan mendapatkan pertolongan. Selain itu dijelaskan pula berbagai persoalan yang berhubungan dengan risalah para nabi (pembahasan ini berulang kali dijelaskan al-Quran dalam sejumlah ayatnya). "Dan sesungguhnya telah tetap janji Kami kepada hamba-hamba Kami yang menjadi rasul, (yaitu) sesungguhnya mereka itulah yang pasti mendapat pertolongan. Dan sesungguhnya tentara Kami itulah yang pasti menang."[24] Firman Kami yang terdapat dalam ilmu Kami tidak akan dapat berubah: Para hamba Kami yang menyampaikan risalah Kami, utusan-utusan Kami, mereka semua benar-benar berada di bawah perlindungan dan penjagaan Kami, dan hanya mereka yang akan memperoleh kemenangan. Sesungguhriya hanya pasukan Kami yang akan meraih kemenangan. Dalam hal ini, apakah kemenangan yang dimaksud al-Quran adalah kemenangan militer? Dengan kata lain, apakah setiap kali seorang nabi atau para pengikut seorang nabi, seorang yang benar, seorang wali Allah, seorang imam, jika berperang akan senantiasa meraih kemenangan, sementara orang atau beberapa orang yang menjadi lawannya akan senantiasa menderita kekalahan? Jelas tidak demikian. Al-Quran sendiri mengungkapkan adanya pembunuhan secara keji terhadap para nabi Allah, seperti: "Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi yang memang tidak dibenarkan dan membunuh orang'Orang yang menyuruh manusia berbuat adil, maka gembirakanlah mereka bahwa mereka akan menerima siksa yang pedih."[25] Dalam ayat tersebut diungkapkan bahwa para nabi, wali-wali Allah, para pendukung keadilan, dan penyeru keadilan akan terbunuh. Dengan demikian jelas bahwa maksud kemenangan tersebut bukanlah kemenangan militer, melainkan kemenangan pasukan Allah, kemenangan orang-orang yang benar. Sebabnya, peperangan mereka bersifat ideologis demi mempertahankan akidah, yang karenanya pula kemenangan yang akan diraih adalah kemenangan ideologis. Benar, bahwa dari aspek lahiriah, peperangan terjadi secara kemiliteran. Namun, di samping itu terdapat pula peperangan yang tidak mengandung unsur tersebut. Adakalanya, peperangan timbul lantaran didorong oleh motif politik, sebagaimana peperangan yang dilakukan para raja Iran dan Romawi. Pihak pertama menginginkan suatu kawasan tertentu masuk ke dalam wilayahnya, sementara pihak yang lain juga menghendaki hal yang sama. Dalam ketegangan semacam itu, terkadang pihak pertama berhasil mengalahkan pihak kedua. Dalam bentuknya yang lain, peperangan juga bisa ditimbulkan oleh motif ekonomi, di mana kedua belah pihak menggelar peperangan demi menguasai sumber kekayaan tertentu.
Dewasa ini, bisa kita saksikan di berbagai belahan dunia banyak sekali peperangan yang meletus lantaran dipicu motif-motif semacam itu. Khususnya apabila suatu kawasan memiliki posisi strategis dari sisi kemiliteran. Mengapa para adikuasa begitu sensistif dan menaruh perhatian yang besar terhadap Aden yang merupakan kota yang cukup kecil, atau Yaman Selatan yang tidak begitu penting? Suatu tempat yang memiliki sumber kekayaan, sumber minyak, akan memiliki daya sensitifitas yang sangat kuat. Sekarang ini, banyak terjadi peperangan yang dipicu faktor ekonomi. Peperangan tersebut dimaksudkan untuk memperoleh berbagai sumber ekonomi, bukan memperluas wilayah pemerintahan. Ketika berperang dengan India, tujuan Inggris bukanlah untuk memperluas wilayah pemerintahannya, melainkan mewujudkan keinginannya untuk menjadikan India sebagai tempat penjualan seluruh produk dagangannya, sembari pula tentunya merampok seluruh sumber kekayaan alamnya.
Berbeda dengan itu, terdapat pula peperangan dan perjuangan yang dilandasi faktor akidah dan ideologi. Peperangan tersebut terjadi dikarenakan adanya keinginan untuk menyebarkan suatu bentuk ideologi dan pemikiran, serta hendak menyingkirkan berbagai rintangan yang menghalangi sehingga penyebaran tersebut berjalan mulus. Imam Ali as menjelaskan bahwa berbagai peperangan yang terjadi pada masa awal Islam dipicu oleh faktor ideologi, "Dan mereka membawa berbagai pandangan hati (bashîrah)-nya pada pedang-pedang mereka." Mereka membawa akal, kepandaian, pengetahuan, dan pemahamannya pada pedang-pedang mereka. Mereka menginginkan agar dengan pedang-pedang tersebut, masyarakat menjadi sadar dan tidak memiliki tujuan yang lain. Mereka tidak memiliki keinginan untuk mengambil suatu apapun dari masyarakat, sebaliknya mereka malah ingin memberi sesuatu, yakni penglihatan hati (bashîrah) dan pengetahuan. Kemenangan yang berhasil diraih para nabi bukanlah kemenangan militer. Jika kita melihat peperangan yang terjadi antara Imam Husain as dengan pasukan Yazid dan Ibnu Ziyad dari sisi militer yang bersifat lahiriah semata, maka bisa dikatakan bahwa Imam Husain as mengalami kekalahan, sementara Yazid meraih kemenangan. Namun, bila kita memandang pada inti permasalahannya, maka peperangan tersebut merupakan manifestasi dari peperangan pemikiran dan akidah (ideologi). Pemerintahan Yazid merupakan perlambang dari usaha untuk membinasakan akidah dan pemikiran Islam. Sementara Imam Husain as merupakan simbol perjuangan dan peperangan yang ditujukan demi menghidupkan pemikiran Islam. Dalam hal ini, kita mesti melihat apakah Imam Husain as berhasil meraih tujuannya ataukah tidak.
Apakah beliau berhasil menghidupkan pemikiran Islam di seantero dunia ataukah tidak? Jawabannya, sebagaimana telah kita saksikan, adalah berhasil. Selama tiga belas abad, selalu terdapat kemenangan dalam setiap tahunnya, yakni 'Asyûrâ’. Arti dari "Kullu yaumin ‘Asyûrâ’ wa kullu ardhin Karbalâ'," (Setiap hari adalah 'Asyûrâ’ dan semua tanah adalah Karbala) adalah setiap hari bersama nama Imam Husain as berjuang melawan berbagai bentuk kezaliman dan kebatilan, dan menghidupkan keadilan serta kebenaran. Inilah yang disebut dengan kemenangan! Adakah bentuk kemenangan yang lebih tinggi darinya? Para Yazid dan para Ibnu Sa’ad telah pergi. Namun keberadaan para Husain, para Abbas, para Zaenab senantiasa abadi. Jelas, keberadaan mereka (orang-orang yang benar) kekal secara pemikiran dan ideologis, bukan secara pribadi. Bahkan mereka merupakan penguasa dan pemimpin masyarakat sepanjang masa. Ya, mereka telah wafat. Namun mereka akan tetap hidup kekal dan abadi.
4. Sekaitan dengan ayat-ayat yang terkandung dalam surat al-Anbiyâ'. Pada ayat 16, 17, dan 18 dari surat ini, Allah Swt menjelaskan tentang proses penciptaan langit dan bumi. Dalam hal ini, Allah menegaskan bahwa sistem alam ini diciptakan di atas dasar kebenaran (al-haq) dan bukan pada kebatilan dan kesia-siaan: "Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya dengan bermain-main.""Sekiranya Kami hendak membuat sesuatu permainan, tentulah Kami membuamya dari sisi Kami. Jika Kami menghendaki berbuat demikian, (tentulah Kami telah melakukannya)." Kemudian dikatakan,: "Sebenarnya Kami melontarkan yang haq kepada yang batil lalu yang haq itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap. Dan kecelakaanlah bagimu disebabkan kamu menyifati (Allah dengan sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya)." Ayat ini menjelaskan tentang kekuatan kebenaran serta kelemahan dan ketidakberartian kebatilan. Secara lahiriah, kebatilan boleh jadi mengalahkan kebenaran. Namun itu sifamya hanya sementara. Sebaliknya, secara tiba-tiba kebenaran akan melesat dari busurnya dan membunuh kebatilan tanpa ampun. Kata "qadzf” memiliki arti "melempar", sedangkan "damgh" artinya "tempurung kepala". Pernyataan tersebut dapat diibaratkan dengan sebutir peluru yang terbuat dari unsur-unsur kebenaran. Dengan peluru itu, kita menembak kepala kebatilan dengan kuat dan jitu sehingga otaknya hancur berantakan. Kemudian kita akan menyaksikan bahwa kebatilan telah musnah. Sejak dahulu sampai kapanpun, kebatilan akan selalu lenyap, selalu musnah.
Terdapat sejumlah orang yang nampaknya telah melakukan penafsiran yang cukup mengena terhadap ayat tersebut. Yaitu:
Setelah beberapa saat terselubungi kebatilan, kebenaran akan datang memerangi kebatilan, dan ia datang dengan serangan yang hebat dan mematikan. Allah melakukan semua itu melalui perantaraan manusia. Secara tidak disangka-sangka, kalian akan melihat kebenaran muncul laksana angin topan yang menghancurkan, menghempaskan, serta melemparkan kebatilan jauh-jauh.
Lihatlah, betapa al-Quran memiliki sikap optimistis terhadap peperangan yang terjadi antara kebenaran dan kebatilan. Al-Quran mengatakan, janganlah kalian merasa gentar terhadap bayang-bayang kebatilan, janganlah kalian gentar menghadapi berbagai usaha yang dilakukan kebatilan, karena pada akhirnya kebenaran akan mengalahkan kebatilan. Kebenaran senantiasa akan meraih kemenangan. "Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi."[26]
Sepanjang sejarah, kebenaran senantiasa berperang dengan kebatilan. Dan al-Quran menjanjikan bahwa kemenangan terakhir berpihak pada kebenaran, di mana kebatilan tidak lagi tersisa barang secuilpun. Situasi paling akhir dari episode sejarah kehidupan inilah yang diyakini al-Quran. Karena itu, al-Quran senantiasa berpesan, hendaklah kalian beriman, dan janganlah merasa sedih, "Janganlah kamu bersikap lemah dan janganlah (pula) kamu bersedih hati."[27] Dengan beriman, kalian akan senantiasa diiringi keagungan. Janganlah kalian merasa takut dikarenakan jumlah kalian sedikit dan jumlah mereka banyak. Janganlah kalian gentar lantaran mereka memiliki kekayaan yang melimpah ruah. Janganlah kalian merasa takut terhadap senjata dan kekuatan mereka yang cukup banyak. Hendaklah kalian melengkapi diri hanya dengan iman dan keyakinan. Hendaklah kalian menjadi mukmin sejati, manusia sejati. Jika kalian telah mencapai keadaan demikian, maka sejak saat itu pula kemenangan telah ada dalam genggaman kalian.
Topik lain yang dapat disimpulkan dari ayat ini adalah bahwa gerakan revolusi tersebut dilandasi oleh kekuatan serta konsistensi terhadap kebenaran. Revolusi yang diupayakan para pejuang kebenaran tidak sebanding dengan revolusi yang dilandasi pada kepentingan perut. Para pendukung kebenaran bangkit dikarenakan sikap konsisten mereka terhadap kebenaran, bukan karena tuntutan perut. Namun tesis yang dirumuskan sekelompok orang yang menyangka komitmen al-Quran untuk melindungi kaum tertindas, bahwa, "Kita senantiasa menjadikan orang-orang yang lapar sebagai pasukan, dengan tujuan hanya agar perut mereka menjadi kenyang," jelas tidak benar!
Al-Quran mengatakan bahwa komitmen pergerakan dirinya ditujukan demi memenuhi kepentingan orang-orang tertindas. Kendatipun, mungkin saja di antara orang-orang yang bangkit tersebut bukan hanya terdiri dari orang-orang tertindas sendiri, melainkan juga terdapat orang-orang yang tidak tertindas. Pada dasarnya, al-Quran tidak menerima seseorang yang berjuang demi perumya. Islam akan menolak orang semacam itu, "Barangsiapa yang berhijrah demi mendapatkan harta atau demi mendapatkan wanita, maka hijrahnya itu adalah kepada apa-apa yang dijadikan tujuan hijrahnya."[28] Nabi mulia SAWW menegaskan bahwa Islam tidak akan menerima siapapun yang berhijrah demi memperoleh harta ataupun tawanan wanita yang kemudian dinikahinya. Setiap orang yang berhijrah demi Allah dan Rasul-Nya harus mengharap pahala dan karunia Illahi. Islam mengatakan bahwa tujuan dari peperangan yang kita lakukan adalah untuk menyelamatkan orang-orang tertindas, bukan hanya sekadar membuat perut mereka kenyang.
Kami menggerakkan sekelompok orang-orang yang beriman dan konsisten pada kebenaran, "Sebenarnya Kami melontarkan yang hak kepada yang batil lalu hak itu menghancurkannya."[29] Artinya, dari kebenaran tersebut, Kami menciptakan suatu kekuatan revolusioner yang kemudian Kami lontarkan pada kebatilan. Kekuatan revolusioner ini laksana peluru yang menembus jantung musuh. Kata "bil-haq" berarti "dengan kekuatan kebenaran", "dengan orang-orang yang benar", dan dari kebenaran itulah Kami membuat peluru, yang kemudian Kami tembakkan kuat-kuat ke kepala kebatilan, sehingga otaknya hancur lebur. Karenanya, kebatilan secara tiba-tiba akan tersungkur dan musnah. Kebatilan bukanlah apa-apa, kecuali sekadar bayang-bayang yang selama ini menakutkan kalian.
"Maka dengan serta merta yang batil itu lenyap."[30] Al-Quran tidak mengatakan bahwa kebatilan nantinya akan musnah, melainkan mengatakan bahwa kebatilan merupakan 'sesuatu yang musnah', kebatilan pasti hilang.
5. Pada ayat ke-17 dari surah ar-Ra'd, al-Quran memberikan sebuah metafora yang sangat menarik dan memiliki arti yang mendalam berkenaan dengan kebenaran dan kebatilan: "Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah'lembah menurut ukurannya," Allah menurunkan dari langit, hujan air yang jemih dan penuh berkah, yang dicurahkan pada gunung-gunung dan bukit-bukit, yang darinya kemudian mengalir ke lembah-lembah dan sungai-sungai, yang menampungnya sesuai dengan kapasitas masing-masing. "Maka arus itu membawa buih yang mengambang,"[31] maka aliran air (banjir) ini disertai buih yang mengambang di atasnya. "Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti arus itu," sebagaimana ketika logam diletakkan di atas api untuk dibuat perhiasan dan peralatan lainnya, akan tampak buih semacam itu pada permukaan cairan logam tersebut; bahan aslinya tetap berada di bawah sedangkan sisa-sisanya yang tidak terpakai akan memenuhi permukaan cairan logam itu. "Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang batil,"[32] demikianlah Allah membuat perumpamaan antara kebenaran dan kebatilan.
Di sini, sebagian mufasir mengatakan bahwa dengan hal itulah, Allah membuat perumpamaan antara kebenaran dan kebatilan. Sementara sebagian lainnya mengatakan bahwa demikianlah Allah membenturkan antara kebenaran dan kebatilan, yakni demikianlah benturan yang terjadi antara kebenaran dan kebatilan; benturan terjadi sebagaimana benturan antara air dan buih.
"Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tidak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia maka ia tetap di bumi,"[33] adapun buih akan hanyut dan lenyap, sedangkan segenap hal yang bermanfaat bagi masyarakat akan tetap eksis di atas bumi. Dalam pandangan kesusasteraan, penetapan hukum tergantung pada sebuah sifat. Dengan kata lain, sifat tersebut merupakan sebab dari penetapan hukum. Al-Quran tidak mengatakan, "air tetap eksis" atau "logam tetap eksis", tetapi menyatakan bahwa apa-apa yang memberikan manfaat bagi masyarakat akan tetap eksis. Dikarenakan memberi manfaat, baik, dan menguntungkan, maka air dan logam akan tetap eksis. Keberadaannya dikarenakan ia memberikan manfaat dan keuntungan. Sedangkan sesuatu yang tidak menguntungkan, tidak bermanfaat, serta tidak layak, akan musnah, lenyap, dan dijatuhi hukum (karena sifatnya tidak memberikan manfaat, maka musnah, —pent.). "Demikianlah Allah membuat berbagai perumpamaan,"[34] Allah menjelaskan berbagai perumpamaan berkenaan dengan hal itu. Darinya, kita jelas dapat mengambil beberapa topik yang amat menarik.

Kebenaran dan Kebatilan: Antara Keaslian Wujud dan Bayang-bayang

"Maka arus itu membawa buih yang mengembang."[35] Al-Quran menyatakan bahwa buih tersebut memenuhi permukaan air dan menutupinya sedemikian rupa, sehingga jika seorang dungu menyaksikan peristiwa tersebut, ia tidak akan mengetahui hakikat peristiwa itu. Perhatiannya hanya tertuju pada tumpukan buih yang tengah mengalir keras di permukaan, sementara air hujan yang mengalir dengan deras di bawah buih tersebut sama sekali lolos dari pengamatannya. Dikarenakan buih tersebut menyelubungi permukaan air, sementara mata indrawi hanya sanggup melihat sisi lahiriahnya semata, dan tidak mampu melihat hakikat serta apapun yang terdapat di dalamnya, maka yang terlihat hanyalah buih belaka.
Demikian pula halnya dengan kebatilan yang selalu menunggangi kebenaran dan menyelubunginya. Penunggangan dan penyelubungan terjadi sedemikian rupa, sampai-sampai jika seseorang semata-mata melihat kenyataan sebuah masyarakat dari sisi luarnya dan tidak melihat sisi dalamnya, maka yang tamp.ak hanyalah pribadi-pribadi yang memiliki kedudukan dan posisi tertentu, serta orang-orang yang menjadi pusat perhatian masyarakat. Umpama jika kita menengok kembali Negeri Iran pada abad ke-13. Orang pertama yang akan kita perhatikan adalah Nashiruddin Syah. Darinya kita akan menyangka bahwa seluruh individu dalam masyarakat tersebut identik dengannya. Padahal, kalau saja seluruh individu dalam masyarakat tersebut tak ubahnya seperti Nashiruddin Syah, maka kemungkinan besar tak seorang pun warga Iran yang masih hidup sampai sekarang ini. Apabila seluruh individu tersebut seperti Harun ar-Rasyid, dan memiliki watak serta perilaku yang persis sama dengannya, mustahil masyarakat Islam akan tetap eksis sampai sekarang. Sebabnya, Harun ar-Rasyid merupakan simbol dari kezaliman, kebohongan, kelicikan, pengumbaran hawa nafsu, perbuatan cabul, dan tindakan asusila. Apakah jika saat itu kita berkeliling ke seluruh desa-desa di negara Islam, kita akan menjumpai kenyataan bahwa seluruh individu tersebut tak ubahnya pribadi Harun ar-Rasyid? Dengan kata lain, apakah kita akan menyaksikan kenyataan bahwa seluruh masyarakat memiliki sifat yang identik dengan sifat Harun ar-Rasyid? Apakah setiap pekerja, petani yang memiliki keahlian dan kemahiran, juga pedagang, memiliki kepribadian semacam Harun ar-Rasyid? Mereka saling berbohong satu sama lain? Saling berkhianat? Berbuat cabul, dan tidak bertakwa? Tidak, mereka sama sekali tidak demikian! Harun ar-Rasyid dapat tetap hidup dikarenakan terdapamya orang-orang yang bersedekah secara sembunyi-sembunyi. Juga dikarenakan kejujuran, amanat, serta perbuatan hak (benar) yang mereka lakukan. Seandainya pun kini terdapat seribu orang yang memiliki karakter sama persis dengan Harun ar-Rasyid, namun hal itu juga tidak dapat dijadikan ukuran bahwa kebatilan telah mengalahkan kebenaran.
Jika Anda mengadakan studi tentang agama Nasrani yang telah diselewengkan itu, lantas Anda memasuki desa-desa dan kota-kota, apakah setiap pendeta yang Anda jumpai merupakan orang yang rusak dan kotor? Demi Allah, 70-80% dari mereka adalah orang-orang yang memiliki keimanan, ketakwaan, keikhlasan, dan atas nama Isa al-Masih dan Maryam, mengajak masyarakat pada ketakwaan, kejujuran, dan kesucian diri. Mereka tidak bersalah dan akan masuk ke dalam surga. Begitu pula dengan para pendetanya. Dengan demikian, mesti dibedakan antara para rohaniawan busuk yang tengah memegang tampuk kekuasaan dan juga para paus, dengan sebagian besar misionaris dan pengikut agama Nasrani.
Apa yang kita lihat hanyalah "buih yang mengambang," buih yang mengapung di atas air. Akan tetapi, tatkala merasuk ke tengah-tengah masyarakat, kita akan menyaksikan dengan jelas siapa sebenarnya yang menjalankan roda kehidupan masyarakat. Mereka adalah orang-orang yang tidak pernah kita duga sebelumnya. Kalian akan melihat bahwa mereka merupakan orang-orang yang berpegang teguh pada kebenaran dan kejujuran. Apakah para sopir yang bersusah payah dan dengan mempertaruhkan nyawanya menjalankan mobilnya dari satu kota ke kota lainnya, berharap dalam sehari mampu menghasilkan uang sebanyak Rp.150,000 sampai Rp.200,000, dan juga para petani yang senantiasa bekerja keras dan bersusah payah untuk menghasilkan panen yang banyak, bisa dijadikan bukti bahwa keburukan tengah mendominasi kebaikan? Sama sekali tidak! Sebagian besar dari mereka tetap berada dalam fitrah suci Islam dan nilai kemanusiaannya. Andaikata seseorang menengok keadaan seluruh pegawai yang bekerja di pabrik-pabrik, mungkin ia akan terperanjat melihat bagaimana dalam kondisi kerja semacam itu, para pegawai tersebut masih tetap memiliki optimisme terhadap agama, dan jiwa mereka dipenuhi keimanan meluap-luap.
Dengan demikian, sebagian besar masyarakat terdiri atas orang-orang yang memiliki kebaikan, yang pada gilirannya mendominasi (mengalahkan) kerusakan yang ada di sekelilingnya. Memang, terkadang kita menyaksikan pula adanya kerusakan dalam diri mereka. Namun, munculnya hal itu tak lebih sebagai akibat dari kebodohan, kedangkalan pemahaman, serta ketidaktahuan. Mereka tidak bisa dipersalahkan lantaran mereka adalah orang-orang yang bodoh. Dengan kata lain, hal itu tidak dapat dijadikan ukuran untuk menyatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang rusak, bejat, dan menyimpang.
Dari pembahasan itu, dapat disimpulkan bahwa kebenaran dan sistem yang benar merupakan wujud asli, tidak ubahnya dengan keberadaan air yang mengalir kuat dibawahnya, yang akan membawa masyarakat maju ke depan. Sementara kebatilan mengapung di permukaan dan menutupi keberadaan aliran air. Makanya tak heran apabila yang tampak kemudian (di pelupuk mata orang dungu, — peny.) hanyalah kebatilan belaka.

Kebenaran-Otonom, Kebatilan-Parasit (Benalu)

Persoalan lain yang dapat digali dari perumpamaan al-Quran tersebut berkenaan dengan simbiosa antara kebenaran dan kebatilan. Dalam hubungan tersebut, kebatilan menghisap saripati makanan milik kebenaran, sehingga dikarenakan itulah ia dapat hidup dan berjalan. Dengan begitu, pada hakikatnya tenaga yang dimiliki kebatilan bukanlah berasal dari saripati makanan miliknya sendiri, melainkan milik kebenaran. Dan kebatilan sanggup bergerak hanya dengan menggunakan tenaga milik kebenaran.
Buih yang mengapung di permukaan air tidak bergerak dengan tenaganya sendiri. Buih tersebut bergerak lantaran adanya gerakan air di bawahnya. Ketika Muawiyah berada di muka bumi dan melakukan bermacam-macam tindak kebatilan, sesungguhnya bukanlah dirinya yang menjadi sumber tenaga penggerak masyarakat, dan hakikat tenaga penggerak tersebut bukanlah Muawiyah. Dalam lubuk hati masyarakat tidak terdapat sifat-sifat Muawiyah! Yang terdapat di situ hanyalah sifat kenabian, keimanan, dan maknawiah. Akan tetapi, kemudian Muawiyah menunggangi tenaga-tenaga tersebut.
Begitu pula dengan Yazid yang telah membantai Imam Husain as, yang mengatakan, "Husain terbunuh oleh pedang datuknya."[36] Husain as telah terbunuh oleh pedang kakeknya, yaitu Rasulullah SAWW! Dari satu sisi, arti dari ungkapan tersebut bisa dibenarkan. Bahwa mereka telah menggunakan tenaga Rasulullah SAWW untuk membunuhnya (Imam Husain as). Itu dikarenakan dalam upaya menggerakkan masyarakat, mereka berseru, "Wahai kuda Allah, naiklah dan bergembiralah atas sorga," hai para penunggang Allah, naiklah (ke punggung kuda kalian), dan bergembiralab atas sorga yang akan kalian huni.
Imam Muhammad al-Baqir as mengatakan bahwa 30.000 orang telah berkumpul bersama guna membantai kakeku Husain as, "Dan masing-masing mendekatkan diri kepada Allah dengan (menumpahkan) darahnya."[37] Setiap orang mendekatkan diri kepada Allah dengan cara membantai Imam Husain as, sebab mereka berkeyakinan bahwa Yazid merupakan pengganti Rasul SAWW. Dan dikarenakan Husain bin Ali as bangkit menentangnya, maka mau tak mau (Husain as) harus diperangi.
Kebatilan menghunuskan pedang milik kebenaran dan mengarahkannya pada kebenaran itu sendiri. Dengan demikian, kebatilan telah menggunakan kekuatan kebenaran. Kekuatan tersebut pada hakikamya milik kebenaran. Namun, kemudian ia dimanfaatkan oleh kebatilan, layaknya cacing parasit yang hidup dalam tubuh manusia, yang menghisap sari-sari makanan dan darah. Semakin banyak mengkonsumsi (sari-sari makanan tersebut), makin gemuk pula tubuhnya (cacing tersebut). Sebaliknya, manusia yang dihisap oleh cacing tersebut akan menjadi kurus, lesu, pucat, pandangan matanya berubah, dan tenaganya menjadi lemah.
Al-Quran mengatakan bahwa pada dasarnya, tatkala banjir mengalir dengan deras, yang bergerak dan memiliki kekuatan untuk menghanyutkan apa-apa yang mengapung di atasnya adalah air semata. Namun yang Anda lihat tak lebih dari buih yang tengah bergerak. Jika tak ada air, maka buih tersebut tak akan dapat bergerak kendati hanya selangkah kaki. Namun dikarenakan di bawahnya terdapat aliran air, buih tersebut kemudian menunggangi dan memanfaatkan tenaganya (air). Dalam dunia ini, kebatilan senantiasa memanfaatkan tenaga kebenaran. Umpama berkenaan dengan kejujuran dan kebohongan. Dalam hal ini, kejujuran merupakan kebenaran, sedangkan kebohongan adalah kebatilan. Apabila di dunia ini tidak terdapat kejujuran, di mana tak ada seorangpun yang berkata jujur, dan seluruh masyarakat saling berbohong (ayah kepada anak, anak kepada ayah, istri kepada suami, suami kepada istri, teman kepada teman), maka kebohongan tak akan dapat terus dipertahankan, lantaran tak seorangpun yang akan percaya. Sekarang ini, mengapa kebohongan masih terbilang bermanfaat, bahkan terkadang seseorang perlu melakukannya? Sebab, kini masih banyak orang yang berkata benar. Dikarenakan dirinya sendiri serta orang-orang lain senantiasa berkata benar, maka tatkala ia berbohong, mereka akan menduga bahwa perkataan (bohong)nya juga benar (bukan suatu kebohongan) dan akhirnya termakan tipuan tersebut. Dengan demikian, pada dasarnya kebohongan menggunakan tenaga kejujuran. Apabila tidak terdapat kejujuran, seseorang tak akan tunduk pada kebohongan. Dan dikarenakan kebohongan dianggap sebagai kebenaran, akhirnya mereka pun tertipu; jika tidak demikian, di mana mereka mengetahui dengan benar bahwa hal itu merupakan sebuah kebohongan, tentu mereka tak mungkin mengikutinya. Demikian pula halnya dengan kezaliman.
Jika di dunia ini tidak terdapat keadilan, tak mungkin pula terdapat kezaliman. Jika antara satu individu dengan individu lainnya tidak saling mempercayai, dan satu sama lain hendak mencuri, maka saat itu orang yang paling zalim pun tak akan sanggup mencuri. Orang zalim tersebut hanya mampu mencuri tatkala masyarakat yang ada memperhatikan fitrah, menjaga kehormatan dan harga diri, saling mempercayai antara satu sama lain, dan menjaga keadilan. Seluruh tenaga kebenaran tersebut kemudian dimanfaatkan dan disalahgunakannya (orang zalim). Masyarakat itulah yang senantiasa menjaga kekokohan berbagai sendi kehidupannya. Dan dalam tubuh masyarakat semacam itulah, orang zalim tersebut dapat melakukan pencurian.
Jika Anda mendengarkan siaran radio yang dipancarkan dari berbagai stasiun radio yang ada di seluruh penjuru dunia, Anda tak akan mendapatkan radio-radio tersebut menyiarkan berbagai bentuk tekanan atau intimidasi, umpama dengan mengatakan, "Kami hendak berbuat kelaliman," ataupun, "Kami hendak mencuri dan merampok sumber kekayaan negara fulan." Namun, semua radio tersebut akan berbicara tentang keadilan, perdamaian, serta hak asasi manusia. Padahal, sebagian besar dari mereka, bahkan boleh dikatakan hampir keseluruhannya, senantiasa berbicara bohong. Mereka pada dasarnya berlindung di bawah kata-kata tersebut; di bawah naungan kebebasan, mereka justru menginjak-injak kebebasan. Sampai-sampai ada yang mengatakan, "Wahai kebebasan, dengan mencatut namamu, ciptakan kejahatan bagaimana yang tidak pernah terjadi di dunia ini." Semua itu merupakan arti yang sebenarnya dari pernyataan, "Kebatilan memakan sari-sari makanan kebenaran." Kekuatan zalim Nashiruddin Syah, Harun ar-Rasyid, atau Muawiyah diperoleh dan bersumber dari kekuatan masyarakat. Jika tidak begitu, mereka tentu tak akan memiliki kekuatan apapun.
Ada sebuah kisah yang saya kira tepat untuk disampaikan di sini. Alkisah, terdapat seorang alim yang berasal dari daerah Fars (Iran Selatan) berkunjung ke kota Teheran. Sewaktu berada di losmen, ia mendapati seluruh uangnya ludes tercuri. Di kota tersebut, ia tak memiliki kenalan seorangpun. Lantas, ia pun kebingungan. Dalam benaknya terlintas cara untuk mendapatkan uang. Perintah Amirul Mukminin Ali as kepada Malik al-Asytar ditulisnya kembali secara indah di atas selembar kertas yang bagus. Kemudian, tulisan tersebut dihadiahkan kepada perdana menteri yang berkuasa saat itu, dengan harapan, selain memberi petunjuk (kepada perdana menteri tersebut), dirinya juga akan selamat dari musibah yang menimpanya.
Orang alim mulia ini bersungguh-sungguh dalam menulis perintah tersebut yang tentunya menyita banyak waktu. Setelah rampung, pergilah ia menemui sang perdana menteri dengan membawa hasil usahanya. Tatkala hadiah itu diserahkannya, perdana menteri tersebut berkata, "Apa ini?" la menjawab, "Perintah Amirul Mukminin as kepada Malik al-Asytar." Perdana menteri memperhatikan tulisan tersebut barang sejenak dan melanjutkan pekerjaannya. Orang alim itu telah lama duduk menanti, sampai dirinya sudah tak sabar lagi, dan beranjak hendak keluar meninggalkan ruangan tersebut. Namun sekonyong-konyong sang Perdana Menteri melihatnya dan mengatakan, "Saudara, silahkan duduk." Orang mulia inipun kembali duduk dan menanti. Dalam ruangan itu banyak orang yang hilir mudik, datang dan pergi, sampai akhirnya ia pun bangkit kembali dan hendak meninggalkan ruangan. Perdana menteri mengatakan, "Saudara silahkan duduk." Semua yang ada di situ telah pergi kecuali para pelayan istana. Kembali dirinya bangkit dan hendak meninggalkan ruangan. Lagi-lagi perdana menteri mengatakan, "Saudara duduklah, saya ada urusan sedikit denganmu." Kemudian ia menyuruh para pelayan yang ada di ruangan tersebut untuk keluar, sembari memerintahkan penjaga pintu untuk menutup pintu dan tidak memperbolehkan seorangpun masuk ke dalam ruangan itu. Perdana Menteri tersebut berkata kepada orang alim itu, "Kemarilah!" Ketika telah duduk di sampingnya, Perdana Menteri itu bertanya kepada orang alim tersebut,"Untuk apa engkau tulis semua ini?" la menjawab, "Karena engkau adalah seorang perdana menteri, dan saya ingin memberimu sebuah hadiah. Saya pikir, tak ada hadiah yang lebih patut saya persembahkan kepadamu selain perintah Amirul Mukminin Ali as. Karena perintah itu merupakan undang-undang pemerintahan, dan aturan-aturan pemerintahan Islam." Perdana menteri berkata, "Kemarilah." Kemudian dengan berbisik, ia bertanya kepada orang alim tersebut, "Apakah Ali sendiri telah mengamalkan undang-undang ini?" Orang alim menjawab, "Ya, ia telah mengamalkannya." Perdana Menteri berkata, "la sendiri telah mengamalkan semua undang-undang ini, namun apa yang didapatkannya selain kekalahan? Keberhasilan apa yang telah diperolehnya sehingga engkau datang kemari dan memberiku undang-undang ini untuk kemudian aku amalkan?"
Orang alim itu menjawab, "Kenapa engkau tidak membicarakan semua ini kepadaku di hadapan masyarakat, namun engkau menunggu sampai semuanya keluar? Bahkan para pelayan pun engkau perintahkan untuk keluar, dan engkau berbicara kepadaku dengan cara berbisik-bisik? Engkau takut pada siapa? Engkau takut pada masyarakat ini? Engkau takut kepada siapa, selain kepada Ali as, yang pengaruhnya telah tertanam dalam jiwa masyarakat. Sekarang ini ke manakah Muawiyah? Muawiyah yang menjalankan pemerintahan semacam engkau, di manakah ia sekarang? Engkau juga terpaksa mesti mengutuk Muawiyah. Jika demikian, Ali as tidak kalah."
Bahkan pada masa sekarang ini, pemikiran Ali-lah yang memiliki pendukung. Kemenangan berpihak pada kebenaran. Memang, semua ini hanyalah sebuah perumpamaan. Namun, tak bisa dipungkiri, ia telah menjelaskan sebuah hakikat!
Khutbah ke-50 dari Nahj al-Balâghah memaparkan dengan jelas bahwa kebatilan telah memanfaatkan kebenaran. Imam Ali as dalam khutbahnya mengatakan, "Sesungguhnya sebab munculnya fitnah ialah hawa nafsu yang dituruti,"[38] sesungguhnya sebab-sebab terjadinya fitnah dan kekacauan adalah mengikuti hawa nafsu. Manusia yang terpengaruh hawa nafsu, pada gilirannya tidak menyembah Allah Swt, namun mereka menyembah hawa nafsunya serta memenuhi berbagai tuntutannya!
"Dan hukum-hukum yang diada-adakan (bid'ah)," kemudian mereka membuat-buat hukum (bid'ah). Bagaimana cara yang harus ditempuh seseorang demi menuruti hawa nafsunya? Tentunya dengan menggunakan dan memanfaatkan tenaga kebenaran, mencampuradukan bid'ah dengan agama. Sebabnya ia mengetahui bahwa tenaga untuk itu bersumber dari agama. Jika ia mengatakan, "Ini adalah ucapan saya," tentunya tak seorangpun yang akan mendengarkannya. Karena itulah ia akan menjelaskan sesuatu dengan mengatasnamakan agama, sembari mengatakan, "Ayat al-Quran itu maksudnya adalah demikian...." Selanjutnya, ia juga membuat berbagai kepalsuan terhadap ucapan-ucapan Nabi SAWW (Rasul berkata demikian...), Imam Ja’far ash-Shâdiq (Imam berkata demikian...), dan seterusnya. la hendak memanfaatkan tenaga yang dimiliki al-Quran, Nabi SAWW, dan para imam as. Setiap hal yang bukan berasal dari agama diberinya label agama. "Dan padanya (hukum-hukum itu) menentang kitab Allah," hukum-hukum (yang bid'ah) tersebut bertentangan dengan kitab Allah.
"Dan dengan hukum-hukum itu orang-orang saling bersekutu tetapi tidak sesuai dengan agama Allah,"[39] ketika itulah orang-orang bersatu dan berkomplot, serta membentuk partai atau perkumpulan yang tidak berdasarkan pada agama Allah, melainkan berdasarkan bid'ah.[40] Dalam usaha mendukung berbagai bid'ah, mereka senantiasa menyebarkannya kepada masyarakat. Seluruh bid'ah tersebut mereka kemas dalam bentuk agama.
Kemudian Imam Ali as menyebutkan kandungan filosofi dari persoalan tersebut. Sungguh, betapa indahnya penjelasan beliau berikut ini, "Apabila kebatilan murni dan tidak bercampur dengan yang hak, ia tidak akan tersembunyi dari para pencari kebenaran (murtâdin),"[41] jika kebatilan tidak bercampur dan bergabung dengan kebenaran, tentunya or-ang-orang yang mencari kebenaran tidak akan menyimpang dari jalan yang benar. Sebagian besar masyarakat merupakan "murtaad"[42], pencari kebenaran. Namun, mereka (para pembuat bid'ah) kemudian datang dan mencampuradukan kebatilan dengan kebenaran. Ulah mereka tersebut menjadikan masyarakat kebingungan. Masyarakat lantas mengira bahwa kebenaran identik dengan kebatilan. Dan pada akhirnya, masyarakat pun akan mengkonsumsi kebatilan yang menggunakan label kebenaran tersebut. Jika kebatilan terpisah dari dan tidak tercampur aduk dengan kebenaran, para pencari kebenaran tentu akan mengetahui (mana kebenaran dan mana kebatilan) dengan mudah. Alhasil, sebagian besar masyarakat terdiri dari para pencari kebenaran, bukan pencari kebatilan. "Dan jika hak itu terlepas dari lapisan kebatilan, para pembencinya (hak) akan terbungkam," dan jika kebenaran dipisahkan dari lapisan kebatilan, ucapan orang-orang batil tersebut tentu tak akan memiliki arti. Apabila kebenaran dan kebatilan saling bercampur menjadi satu, tentu akan ada sekelompok orang yang mengira bahwa itu merupakan kebenaran murni. Kendatipun jika ia memperhatikan dampak yang ditimbulkan darinya (hak palsu itu) hanyalah keburukan belaka. Para penentang Islam, menyatakan dengan menggebu-gebu, "Agama dan mazhab yang kalian anut juga rusak dan menyimpang." Mereka sesungguhnya tidak mengetahui bahwa kerusakan tersebut merupakan dampak negatif yang ditimbulkan dari kebatilan, bukan dari kebenaran!! Kebenaran sama sekali tidak akan melakukan sesuatu yang menyebabkan mulut para penentang agama menjadi berkoar-koar semacam itu.
Sejarah kehidupan Muawiyah telah menjelaskan hakikat tersebut. Apa yang menyebabkan Muawiyah mampu merebut tampuk kepemimpinan? la dengan lihai telah menggunakan kekuatan kebenaran, dengan kekuatan masyarakat yang "murtâd" (pencari kebenaran), penuntut kebenaran, hanîf, dan pencari hakikat. Muawiyah telah memanfaatkan mereka yang baru saja mengenal Islam, yang jiwanya haus akan keislaman. Tatkala Usman berada di bawah ancaman pembunuhan dikarenakan ulahnya sendiri, Muawiyah sama sekali tidak memberikan bantuan kepadanya. Sebabnya, Muawiyah tidak memiliki kepentingan terhadap Usman. Yang ada dibenaknya hanyalah bagaimana cara menyabot tampuk kepemimpinan. Dalam pikirannya, jika Usman terbunuh, maka kematiannya justeru lebih bermanfaat daripada hidupnya. Karena itu, ia (Muawiyah) kemudian mengutus para mata-matanya untuk mengambil baju Usman yang berlumuran darah, juga potongan jarinya. Begitu mereka berhasil mendapatkannya, dengan segera Muawiyah menggantung baju Usman tersebut di alun-alun Syam atau di masjid besar Damaskus. Di sana ia naik ke atas mimbar dan mulai meneteskan air mata buayanya. la lantas mengatakan, "Wahai masyarakat, mereka telah membantai khalifah Rasulullah yang mazlum itu, dan ini adalah baju khalifah tersebut." Gemuruh tangis masyarakat pun sekonyong-konyong memenuhi angkasa.
Muawiyah selama berhari-hari membuat masyarakat menangis seperti itu, dan senantiasa mengungkapkan kemazluman khalifah Nabi tersebut, sembari membacakan ayat, "Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan."[43] Ayat tersebut memang menegaskan bahwa jika seseorang terbunuh secara zalim, maka Allah memberikan hak kepada walinya untuk melakukan qishâs (pembalasan). Akan tetapi, dalam upaya membalas secara hukum atas pembunuhan tidak diperbolehkan untuk dilakukan secara berlebih-lebihan. Sesungguhnya, dia adalah orang yang mendapatkan pertolongan. Muawiyah berseru, "Wahai masyarakat, apakah kalian hendak mengatakan bahwa kita ini mesti diam saja dalam menghadapi kejahatan besar yang dilakukan pada Islam?" Mereka semua menjawab, "Tidak, kami semua dengan tulus hati siap untuk berjuang." Kemudian ia mengumpulkan masyarakat dan menggiringnya ke medan pertempuran untuk melawan Imam Ali as. Dengan demikian, akan tampak bahwa sebenarnya Muawiyah tidaklah memiliki kekuatan apapun. la hanya memanfaatkan kekuatan al-Quran dan Nabi SAWW. Kemudian Muawiyah mengutus Yazid bin Abîh, seorang pembantai haus darah, untuk bergabung dengan masyarakat. Lantas, apa komentar masyarakat terhadap kebijakan tersebut? Mereka mengatakan, "Inilah kebijakan Islam, inilah ajaran agama. Lihatlah bagaimana siasat pemerintahan Islam itu." Sikap semacam itulah yang menyebabkan para penentang Islam mengolok-olok Islam.
Kemudian Imam Ali as bersabda, "Namun diambilnya seikat dari yang ini dan seikat dari yang itu, kemudian keduanya dicampur-baur."[44] Akan tetapi, mereka mengambil sebagian dari kebenaran dan sebagian lagi dari kebatilan, kemudian keduanya dicampur-aduk. Dalam hal ini, segenggam nilai kebenaran dan segenggam nilai kebatilan dicampur menjadi satu, kemudian disuapkan ke mulut masyarakat. Ulah semacam ini laksana seseorang yang mencampur tepung gandum dengan tepung arzan (biji-bijian untuk makanan burung), untuk kemudian dijualnya ke pasar! Ketika pembelinya memakan roti tersebut, ia sama sekali belum menyadari bahwa roti tersebut terbuat dari campuran kedua tepung tadi. Baru pada keesokan harinya, mereka akan merasakan bahwa roti yang mereka makan semalam bukan terbuat dari tepung gandum murni. "Pada tahap ini, iblis menaklukkan teman-temannya, dan yang mampu melepaskan diri hanyalah mereka yang sebelumnya telah diberi suatu kebijakan oleh Allah."[45]Disinilah para setan menguasai teman-temannya. Sarana yang digunakan setan tersebut adalah kebenaran; yakni kebenaran yang telah bercampur kebatilan, kebenaran yang berjubah kebatilan. Inilah makna yang dapat disimpulkan dari ayat di atas, bahwa kebatilan menghisap sari makanan kebenaran, sementara ia sendiri tidak memiliki tenaga yang orisinil, dan hanya mencuri tenaga milik kebenaran. Jika tidak ada air, maka buih tidak akan mampu beringsut kendati hanya sejengkal. Ketika kita melihat kebatilan sanggup bergerak, itu tak lain dikarenakan ia menunggangi pundak kebenaran. Lihatlah bagaimana al-Quran menunjukkan bahwa kebatilan tidak memiliki nilai dan arti sama sekali.

Kemenangan Lahiriah dan Kemenangan Akhir

Jika hanya dipandang secara sederhana dan lahiriah semata, bukan secara ilmiah dan logis, maka akan terkesan bahwasannya kebatilan mampu bergerak dan berputar. Umpamanya seorang anak yang sepanjang umurnya tidak pernah melihat banjir, sehingga tidak mengetahui apakah dan dari manakah asalnya banjir. Tatkala melihat banjir yang deras, anak tersebut hanya akan menjumpai gumpalan buih yang tengah mengalir. la sama sekali tidak berpikir bahwa selain buih, terdapat sesuatu yang lain!
Kebatilan memang bisa meraih kemenangan secara lahiriah dan menguasai kawasan yang luas. Namun, pada akhirnya ia tetap akan terkalahkan. Al-Quran mengatakan, perluaslah pandanganmu, dan dalam melihat sebuah masyarakat, janganlah engkau hanya melihat bagian luarnya saja. Apabila kalian hendak meneliti dan mengkaji peristiwa yang terjadi seratus tahun silam, janganlah kalian memproyeksikannya pada sosok Nashiruddin Syah, dengan berbagai permainan cinta, foya-foya, serta kezalimannya, lantas kalian mengatakan bahwa pada masa itu, seluruh masyarakat memiliki perangai seperti Syah. Janganlah kalian menyimpulkan bahwa semua masyarakat yang hidup saat itu identik dengan Nashiruddin Syah. Janganlah kalian jadikan Nashiruddin Syah sebagai cermin yang memantulkan keadaan riil masyarakat saat itu.
Jika memang semacam itu, bagaimana kalian mampu menjelaskan munculnya pengaruh besar dari fatwa pengharaman tembakau yang dikeluarkan Mirza Syirazi? Ketika Nashiruddin Syah bersama perdana menterinya memanfaatkan kelengahan dan kejahilan masyarakat untuk kemudian memberikan konsesi kepada orang-orang asing, justru sejumlah rohaniawan yang cemerlang dan brilian di ibu kota dan kota-kota lainnya menyerukan berbagai slogan yang ditujukan demi menyadarkan masyarakat. Salah satunya, fatwa yang dikeluarkan Mirza Syirazi, yang menggema dari kota Samirrâ' (Irak) sampai Iran. Tatkala sampai di Iran, fatwa itu, laksana sebuah bom berkekuatan besar, pun meledak dan menimbulkan guncangan yang dahsyat, yang menjadikan masyarakat sadar, bangkit, dan mengecam kebijakan Nashiruddin Syah dalam pengistimewaan perusahaan-perusahaan asing. Kenyataan ini menunjukkan bahwa faktor keimanan masih menguasai jiwa masyarakat. Penguasa sebenarnya adalah sesuatu yang hakiki. Wanita-wanita pada masa itu, sebagaimana peristiwa yang terjadi pada masa awal Islam, dengan susah payah keluar dari rumah untuk menyemangati para suaminya dengan menyatakan, "Kalian harus melawan dan jika tidak, kalian tidak berhak pulang ke rumah, dan kita tak sudi menerima kepulangan kalian." Kisah ini sekaligus menjadi bukti nyata bahwa Nashiruddin Syah tidak dapat dijadikan tolok ukur atas kondisi masyarakat yang ada pada masa itu. Benar, masyarakat pada masa itu tidak memiliki pengetahuan yang memadai, namun itu tidak identik dengan kejahatan. Mereka (para kaki tangan Nashiruddin Syah) memang sengaja melanggengkan kondisi masyarakat agar senantiasa berada dalam kebodohan. Namun, itu bukan berati masyarakat yang hidup pada masa itu semata-mata terdiri dari orang-orang yang rusak dan jahat. Sekarang, marilah kita tengok masa seratus tahun sebelumnya, yaitu pada saat Nadir Syah membangun menara dengan menggunakan kepala-kepala manusia.
Dapatkah Nadir Syah dijadikan sebagai tolok ukur atas kondisi masyarakat yang ada pada masa itu? Menurut pendapat al-Quran, "Tidak bisa." Pribadi-pribadi semacam itu—yang terkenal dalam sejarah, tak ubahnya dengan gelembung buih, sehingga janganlah kalian menjadikan mereka sebagai tolok ukur. Seandainya seluruh masyarakat memiliki sifat yang identik dengan Nadir Syah, mereka pasti telah hancur berantakan.
Al-Quran mengatakan, jika semua masyarakat memiliki karakter yang sangat jahat, buruk, zalim, dan pembohong, pasti Kami telah membinasakan mereka. Masyarakat semacam itu mustahil tetap eksis. Mereka pasti tidak akan dapat bertahan lama dan segera binasa. Untuk apakah al-Quran menjelaskan peristiwa pembinasaan masyarakat terdahulu? Al-Quran mengatakan, bahwa banyak kaum yang hidup sebelum kalian, yang ketika sebagian besar dari mereka berbuat kerusakan, Kami segera memusnahkan mereka semua. Jika memang demikian, ketika sebuah masyarakat tetap eksis, itu menunjukkan bahwa sebagian besar dari mereka bukanlah orang-orang yang rusak dan asusila. Jumlah mereka yang rusak sebenarnya sangatlah sedikit, dan mereka laksana buih yang mengapung di atas air.
Penampakan dan pergerakan kebatilan hanya terjadi dalam beberapa waktu saja dan sifatnya hanya sementara. la muncul, namun kemudian dengan cepat akan lenyap dan musnah. Ada sejumlah hadis yang bentuknya menyerupai pepatah, "Kebenaran memiliki kerajaan, dan kebatilan berputar-putar." Kebenaran memiliki kekuasaan dan tetap eksis, sedangkan kebatilan hanya memiliki bentuk semata yang dengan cepat akan lenyap dan binasa. Juga pada hadis lain, "Kebatilan berputar-putar kemudian lebur." Kebatilan bergerak berputar-putar, untuk kemudian lebur dan musnah! Sementara itu, kebenaran memiliki jalur yang pasti dan tetap abadi. Sampai di sini kiranya cukup jelas bahwa kebatilan dapat muncul ke permukaan berkat adanya kebenaran, ibarat munculnya buih atau bayangan seseorang. Jelas, apabila kebenaran tidak eksis, kebatilan pun tak akan pernah ada. Itu dikarenakan dalam setiap upayanya, kebatilan senantiasa mencatut nama kebenaran dan hidup di bawah sinar serta naungan kebenaran.
Kebenaran semacam air sungai yang mengalir dan ditunggangi berbagai kotoran dan membawa serta berbagai macam sampah. Kemudian sampah-sampah tersebut membentur ke sana-sini sehingga akhirnya terbentuklah buih-buih yang kotor dan menjijikan. Keberadaan buih-buih tersebut merupakan suatu keniscayaan yang muncul dari gerakan dan aliran alamiah air.[]

[1] As-Sajdah: 7.
[2] Thâhâ: 50
[3] Diceritakan bahwa raja yang berkuasa pada masa itu mengatakan kepadanya, "Aku hendak memberikan kepadamu suatu jasa yang paling baik, dan aku akan membebaskanmu dari keburukan kehidupan ini." Kemudian raja membunuhnya.
[4] Al-Baqarah: 30.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Majma' al-Bayân, jilid 8, hal. 303; Bihâr al-Anwâr, jilid 3, hal. 281. Dinukil dari buku Ghawâli al-La'âlî dengan tanpa kalimat "yumajisânihi" (menjadikannya Majusi); Tafsir al-Burhân, jilid 4, hal. 263, hadis ke 29, dinukil dari Sheikh Thabarsi dalam buku Jâmi' al-Jawâmi'.
[8] At-Taubah: 33.
[9] An-Nûr: 55.
[10] Istilah "Materialisme Sejarah" sama sekali tidak pernah dipakai Marx dalam berbagai literaturnya. Istilah ini baru muncul beberapa tahun setelah kematian Marx. Adalah Michonef (atau menurut Anthony Giddens, adalah Friedrich Engels, —peny.) yang pertama kali mencetuskan istilah tersebut, yang kemudian menjadi terkenal. Adapun istilah yang akan kita jumpai dalam berbagai literatur Marx adalah "materialisme mengambil pelajaran dari sejarah", yang artinya, mengambil pelajaran dari kehidupan.
[11] Al-Hadîd: 25.
[12] Plato sama sekali tidak mampu mendirikan sebuah kota kecil berdasarkan ide-idenya. Pada akhir usianya, ia tidak lagi meyakini kebenaran tesisnya tersebut.
[13] Al-Qhashash: 88.
[14] Ar-Rahmân: 27.
[15] At-Taubah: 33.
[16] Al-Baqarah: 6-7.
[17] Al-Baqarah: 8-9.
[18] Al-Baqarah: 14.
[19] Al-Baqarah: 15.
[20] Al-Baqarah: 17.
[21] "Nukri" merupakan istilah dari bahasa Parsi yang artinya perbuatan jahat.
[22] Al-Baqarah: 18.
[23] Al-Baqarah: 19.
[24] Ash-Shâffât: 171-173.
[25] Âli ‘Imrân: 21.
[26] An-Nûr: 55.
[27] Âli ‘Imrân: 139.
[28] Hadis ini tercantum dalam buku Al-Jâmi' ash-Shaghîr, jilid 1, hal. 1. Dan dalam buku Munyatul Murîd, hal. 27, dengan bentuk yang demikian, “Sesungguhnya amal perbuatan itu mesti dengan niat, dan setiap orang itu tergantung pada niamya, barangsiapa yang hijrahnya itu dikarenakan Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya demi mendapatkan dunia, demi mendapatkan wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu adalah kepada yang menjadi tujuan dari hijrahnya itu."
[29] Al-Anbiyâ': 18.
[30] Ibid.
[31] Ar-Ra'd: 17. Kata   zabadan berarti "buih", dan kata râbiyan berarti "naik" atau "muncul ke permukaan". Kata zabadan râbiyan artinya, "buih yang memenuhi permukaan air."
[32] Ibid.
[33] Ibid.
[34] Ibid.
[35] Ibid.
[36] Bihâr al-Anwâr, jilid 44, hal. 298.
[37] Al-lrsyâd, Sheikh Mufid, jilid 2, hal. 92, cetakan Ilmiah Islamiyah; Bihâr al-Anwâr, jilid 45, hal. 39.
[38] Nahj al-Balâghah, "Faidh al-Islam", khutbah ke-50, hal. 137.
[39] Ibid.
[40] Di sini, yang dimaksud dengan bid'ah ialah bukan segala sesuatu yang baru, tetapi sesuatu yang baru disandarkan pada agama. Yakni sesuatu yang bukan bagian dari agama digambarkan seolah-olah itu merupakan bagian dari agama, dan sesuatu yang bukan bagian dari agama dianggap sebagai bagian dari agama. Bid'ah dan pengada-adaan semacafn ini adalah diharamkan. Seperti yang dilakukan Abu Hurairah tatkala menjadi penguasa Makkah. Saat itu datang kepadanya seseorang yang tengah menghadapi kesulitan yang membawa bawang merah dari kota 'Akkah untuk dijual di Mekkah, akan tetapi tak seorang pun yang mau membelinya. Dan keadaan bawang merah itu hampir rusak. Kemudian ia mendatangi Abu Hurairah dan meminta pertolongan darinya. Pada hari jumat, Abu Hurairah naik ke atas mimbar dan berseru, "Aku telah mendengar dari kekasihku Rasulullah bahwasanya beliau bersabda: 'Barangsiapa yang memakan bawang merah dari 'Akkah dan dia berada di Makkah, maka wajib atasnya surga.'" Yakni  siapa saja yang berada di kota Makkah dan memakan bawang merah dari kota 'Akkah, ia pasti akan masuk surga. Seketika itu masyarakat berjubel dan berkerumun seperti lebah serta saling berebut membeli bawang merah asal kota 'Akkah tersebut. Dan agama tidak membenarkan seseorang untuk berbuat bid'ah semacam ini.
[41] Nahj al-Balâghah, "Faidh al-Islam", khutbah ke-50, hal. 137.
[42] Arti kata "murtâd" sama dengan arti kata "hanîf' yang terdapat dalam al-Quran.
[43] Al-Isrâ': 33.
[44] Nahj al-Balâghah, "Faidh al-Islam", khutbah ke-50, hal. 137.
[45] Ibid.



 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II : SEMANGAT PEMIKIRAN ISLAM

 

"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu."[1]

Mengenang Pemikir Muhammad Iqbal

Topik kajian yang sebelumnya telah saya siapkan untuk pertemuan ini, yang bertepatan dengan hari Arbain (peringatan 40 hari syahadahnya Imam Husain as) adalah "berhubungan dengan para syuhada". Penyajian hal ini juga saya pikir sangat mengena mengingat pada hari ini telah terjadi dua peristiwa penting dalam sejarah. Dua buah peristiwa yang menjadi penyebab terjadinya acara peringatan Arbain.
Salah satunya adalah sejarah masuknya penziarah resmi pertama ke makam Imam Husain as, Karbala, yang datang dari Madinah, yakni Jabir bin Abdullah al Anshori. Dan peristiwa lainnya yang berkenaan dengan diresmikannya ziarah kepada Imam Husain pada hari ini. Banyak riwayat yang menganjurkan untuk berziarah ke makam Imam Husain pada hari Arbain. Hari Arbain merupakan hari yang dikhususkan untuk berziarah kepada Imam Husain as.
Kedatangan Jabir bin Hayyan untuk berziarah ke pusara suci Imam Husain as, ataupun berziarah kepada beliau as dari jarak jauh dengan membaca doa ziarah sebagaimana yang dianjurkan dalam berbagai riwayat, bertujuan untuk "menjalin hubungan" dengan para syuhada.
Sebenarnya saya ingin menjelaskan makna filosofis dari pergi berziarah dan membaca doa ziarah dari jarak jauh. Namun kajian ini akan saya sampaikan pada kesempatan lain. Dikarenakan sebelumnya telah diadakan tiga kali pertemuan yang membahas topik tentang "menghidupkan pemikiran agama" dan dalam rangka mengenang tokoh besar reformis Islam asal Pakistan, Muhammad Iqbal, saya akan menentukan topik pertemuan kita kali ini yakni "Muhammad Iqbal dan menghidupkan pemikiran agama". Pembahasan ini akan saya uraikan selama setengah jam. Mengingat waktunya sudah lewat, saya mengusulkan untuk membahas masalah filsafat ziarah pada lain kesempatan.
Dari sisi lain, pembahasan tentang "Muhammad Iqbal dan menghidupkan pemikiran Islam" merupakan pembahasan yang tidak akan tuntas dikaji dalam setengah jam. Pengalaman membuktikan, setiap kali masalah seperti ini dibicarakan dalam waktu singkat, akan timbul ketidakjelasan, kesamar-samaran, dan sulit dimengerti. Oleh sebab itu, saya ingin mengatakan bahwa untuk membicarakan topik "menghidupkan pemikiran Islam", perlu kiranya diadakan pertemuan yang intens. Topik ini juga mendapat sambutan hangat dalam konferensi di Pakistan. Suatu konferensi yang benar-benar bernuansa ilmiah dan sosial. Saya pun berniat membicarakan topik ini.
Intelektual Pakistan ini telah menerbitkan sebuah buku yang merangkum tujuh konferensi yang dihadirinya di Pakistan, yang nampaknya kentudian diintroduksikan ke dalam lingkungan universitas. Karena bobot konferensi ini sangat tinggi, tentunya hasil-hasilnya tak mungkin diintroduksikan ke kalangan masyarakat umum. Seluruh rangkuman hasil konferensi tersebut hanya mungkin diintroduksikan ke dalam lingkungan masyarakat ilmiah dan terpelajar. Isi rangkuman tersebut berbicara tentang "Menyambut dan Menghidupkan Pemikiran Agama".
Setiap konferensi yang dimaksud memiliki topik pembahasan masing-masing. Seperti topik "Eksperimen Agama", "Pembahasan-pembahasan Filsafat dalam Eksperimen Agama", "Kebebasan dan Keakuan Manusia", "Inti Tradisi dan Peradaban Islam", "Asas Gerakan Islam", "Apakah Agama sesuatu yang Mungkin?", serta "Pemahaman tentang Tuhan dan Pengertian Ibadah". Semua topik tersebut ditelaah di bawah judul besar "Menghidupkan Pemikiran Agama".
Saya tidak ingin mengatakan bahwa semua pendapat yang disampaikan sekaitan dengan topik tersebut bebas dari kritik, atau membenarkan semua pendapat yang telah dipaparkan penulis asal Pakistan ini. Pendapat yang disampaikan merupakan hasil dari upaya pemikir Islam yang mengkaji masalah tersebut dan sangat layak mendapatkan pujian dan sanjungan.
Dalam hal ini, pembicaraan saya akan banyak berkisar pada upaya menanggapi berbagai pendapat yang dilontarkan intelektual Islam Pakistan ini. Mudah-mudahan pembahasan ini akan ditindaklanjuti dengan kajian yang lebih mendalam. Barangkali saya juga akan mencari kesempatan untuk membahas tema "Menghidupkan Pemikiran Islam" dalam pertemuan-pertemuan selanjumya. Namun pertama-tama, saya ingin menyampaikan sejumlah hal penting yang berkenaan dengan pemikiran tokoh Islam ini.
Muhammad Iqbal, yang pernah pergi ke Eropa dan mengenal persis seluk beluk benua itu, adalah orang yang memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi. la dikenal oleh bangsa Eropa sebagai pemikir, tokoh, dan pakar agama. Iqbal bukanlah tipe laki-laki yang duduk mengasingkan diri di sudut dan lorong-lorong India, yang memandang Eropa dari kejauhan dan setelah itu menyampaikan kritik terhadap dunia barat. la melihat Eropa, memahami, menyelidiki, dan menganalisanya dari dekat. la sangat menggemari ilmu-ilmu baru dan mendorong para pemuda muslim untuk mempelajarinya juga. Dirinya tidak menentang ilmu-ilmu baru atau melarang kaum muslimin mempelajarinya.
Muhammad Iqbal telah memperoleh pendidikan tinggi di Eropa. la benar-benar mengenali dunia barat dan mengakui pentingnya mempelajari ilmu-ilmu baru. Hal pertama yang menarik perhatian sekaitan dengan ucapan tokoh ini adalah slogan yang dikemasnya dalam bentuk puisi. Slogan tersebut, dewasa ini dikenal dengan sebutan "Peradaban Eropa", yang berarti sekumpulan urusan kehidupan ala Eropa, yaitu idealisme yang menciptakan peradaban Eropa pada masa kini. Jalan yang diajarkan dunia barat kepada umat manusia, serta nilai moral dan budaya bangsa tersebut yang merupakan hasil dari perjalanan hidupnya, bukan saja tidak memberikan manfaat sama sekali, lebih dari itu menjadi sesuatu yang sangat berbahaya bagi kemanusiaan dan masyarakat Eropa itu sendiri.
Iqbal pernah mengunjungi Eropa dan memiliki pemahaman tentangnya. Menurutnya, gambaran masa depan Eropa sangat mengerikan dan berbahaya. Ucapan-ucapan ini acapkali diungkapkan dalam berbagai ceramahnya. Saya ingin membacakan untuk Anda beberapa bagian dari tulisan Iqbal.
Darinya Anda bisa melihat bagaimana pandangan tokoh ini berkenaan dengan peradaban Eropa masa kini dan terhadap berbagai keburukan yang terkandung dalam pandangan Barat. Selain itu, Anda juga dapat mengetahui, sejauh mana pemikirannya berpengaruh terhadap masyarakat di belahan Timur, khususnya kaum muslimin, hingga mereka tidak terpengaruh oleh peradaban Eropa.
Salah satunya, Iqbal pernah mengatakan: "Mata mereka telah dibutakan sikap mengikuti sehingga mereka tidak mampu memahami kebenaran. Budaya dan peradaban Eropa yang hampir mati bagaimana mungkin bisa memberikan kehidupan baru kepada bangsa Iran dan Arab, sementara mereka berada di ambang kematian". la juga mengatakan: "Sejarah baru, sangat cepat datangnya. Islam dengan perubahan cepat dari sisi spiritual tengah bergerak menuju belahan bumi bagian Barat". Selanjutnya, diungkapkan: "Sejarah baru negara-negara ini merupakan perjalanan yang sangat cepat yang tengah bergerak menuju belahan bumi barat".
Kemudian untuk memisahkan antara pengetahuan dan peradaban Barat, Iqbal mengatakan: "Dalam gerakan ini, sama sekali tidak terdapat kebatilan dan kesesatan. Budaya Eropa dari sisi rasional (yaitu sisi pengetahuan dan pemikiran), mengambil dari beberapa tahapan budaya Islam".
Maksudnya, jika kita memperhatikan sisi pemikiran dan pengetahuan Barat, dan melangkah jauh kepadanya, tidak akan berbahaya bagi kita karena yang diperoleh darinya tak lebih dari ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, ilmu adalah ilmu. Di dunia barat, ilmu yang dihasilkan banyak bersumber dari pengetahuan-pengetahuan Islam. Budaya barat —tepatnya, ilmu pengetahuan barat— diilhami dari budaya Islam.
"Ketakutan kita muncul dari fenomena budaya barat yang membingungkan yang menghalangi langkah kita dan kita takut jikalau budaya barat akan mencapai tujuannya".
Iqbal berpendapat, kita merasa takut tatkala menyaksikan fenomena kemajuan barat dalam banyak bidang. Kita menyaksikan kemajuan mereka dalam bidang industri dan pengetahuan biologi. Adapun aspek batin yang mengantarkan manusia ke arah kemajuan tidak kita saksikan sama sekali. Kita harus mampu meneliti dan menganalisis hal tersebut.
Dalam bukunya yang lain lain, Iqbal mengatakan: "Akal dengan sendirinya tidak mampu menyelamatkan manusia. Kekurangan budaya Barat yang terbesar adalah keinginannya untuk menggunakan akal secara otonom tanpa bantuan kekuatan jiwa, perasaan, dan iman. Hanya mengandalkan kekuatan akal, tentu tidak akan bisa menyelamatkan bahtera kemanusiaan dari kehancuran". la juga mengatakan: "Idealisme Barat sama sekali bukan menjadi faktor utama dalam kehidupan mereka."
Misâligari Barat memiliki arti "idealisme Barat". Semua tuntutan serta ajaran-ajaran yang diberikan budaya barat bagi manusia, dan berbagai aliran yang terdapat di sana, muncul lantaran didorong oleh anggapan bahwa dirinya (dunia barat) mampu menyelamatkan umat manusia.
Iqbal mengatakan bahwa aliran-aliran tersebut pada kenyataannya tidak mampu menguraikan hakikat (orang) Barat, terlebih menjadikannya manusiawi. Dengan ungkapan lebih jelas lagi, orang Barat dan dunia Barat banyak melakukan kebaikan dan tindakan kemanusiaan sebatas dalam pembicaraan, tulisan, dan slogan-slogan retorik belaka. Disebabkan ide-ide mereka semata-mata bersumber dari pemikiran akal dan tidak melalui kekuatan jiwa, maka apapun yang mereka katakan tak akan pernah berpengaruh dalam jiwa mereka sendiri. Orang Barat mengatakan bahwa dirinya adalah manusia. Namun secara praktis mereka tidak memiliki perikemanusiaan. Barat sangat getol menggembar-gemborkan hak asasi manusia. Namun dalam praktik dan kenyataannya, mereka tak pernah menghargai manusia beserta segenap hak asasinya. Melalui aliran budayanya, orang Barat meneriakkan suara kebebasan. Tapi pada kedalaman jiwanya, ia tidak meyakini adanya kebebasan. Mereka meneriakkan persamaan hak dan keadilan, namun dalam lubuk jiwanya, semua itu sama sekali ditolaknya.
Iqbal mengatakan: "Hasil semua itu adalah "keakuan" yang gamang (yaitu jiwa yang bimbang) yang mana di tengah-tengah alam demokrasi tidak terdapat solidaritas satu sama lain untuk mencari jati diri. "Keakuan" yang gamang yang disebarkan oleh orang-orang Darwis, kelak menguntungkan kaum kapitalis.
Dihasilkan dari apakah seluruh suara keadilan yang digaungkan, serta seluruh aliran yang timbul di Eropa yang saling berkontradiksi satu sama lain? Kepentingan kaum kapitalis untuk mengambil keuntungan dari segenap upaya yang dilakukan kaum Darwis. Dan pada saat bersamaan, kaum kapitalis tersebut juga mengambil keuntungan dari bentuk aliran lainnya.
Kemudian Iqbal menambahkan: "Percayalah dengan ucapan saya, Eropa pada masa sekarang merupakan penghalang besar bagi kemajuan moral umat manusia."
Pendapat semacam ini acapkali disampaikan dalam berbagai kesempatan. la memiliki hubungan yang kuat dengan kaum muslimin, khususnya pemuda-pemudi muslim. Orang yang sedikit banyak mengenal fenomena budaya barat, pasti mengetahui padangan Iqbal tersebut.
Segenap kelemahan yang terdapat dalam budaya dan peradaban Eropa, tidak terdapat dalam budaya dan peradaban Islam. Berbagai kritikan tajam dan mendasar, yang ditujukan kepada budaya Eropa, tidak bisa ditujukan kepada Islam.
Atas dasar itu, dalam pembicaraan lain, Iqbal berupaya keras mengintroduksikan fondasi-fondasi dan aspek-aspek kebudayaan serta peradaban Islam. Saya ingin menelaah sebagian pembicaan Iqbal yang berkenaan dengan hal tersebut.
Setelahnya, saya akan mengkaji masalah yang berkenaan dengan upaya menghidupkan pemikiran Islam. Iqbal mengatakan: "Kaum muslimin memiliki pemikiran yang berdasarkan wahyu Illahi yang merupakan kesempurnaan mutlak, karena Islam menjelaskan sisi paling subtil dari intisari kehidupan yang menampilkan sebuah warna spiritual. Garis spiritual kehidupan bagi kaum muslimin merupakan perkara keyakinan (akidah). Dan untuk membela akidah ini, muslimin siap mengorbankan jiwa dan raganya."
Saya ingin menjelaskan ringkasan dari ucapan Iqbal. Beliau mengatakan bahwa ajaran Islam berpijak di atas keimanan. Ajaran Islam bersumber dari Wahyu Illahi, sehingga mampu menembus sisi batin manusia. Bukti tentangnya telah eksis di masa lalu dan akan tetap terbukti pada masa sekarang; bahwa ajaran Islam memiliki kekuatan ajaran yang mampu menembus sisi batin manusia.
Islam mengajarkan kebebasan, keadilan, mencintai sesama manusia, dan hak-hak asasi manusia. Ajaran-ajaran ini juga sekaligus memberikan jaminan dalam jiwa manusia bahwa ia bisa diterapkan dalam kehidupan ini. Akan tetapi, ajaran-ajaran yang disampaikan dunia barat tidaklah demikian. Semua ajaran tersebut tidak memiliki garansi untuk bisa diterapkan secara konkret. Pada masa kini, manusia membutuhkan tiga hal:
1. Memandang dunia dari sisi metafisikal.
Hal pertama yang dibutuhkan manusia adalah memandang dunia dari sisi metafisikal, bukan dari sisi material. Aliran yang mengakibatkan pemikiran dan akidah tidak termanifestasi dalam bentuk keimanan dan kenyataan adalah idealisme.
Aliran ini memandang keberadaan dunia hanya terbatas pada aspek materialnya belaka. Segala sesuatu yang ada di dunia ini hanyalah materi. Dunia ini buta, tidak berperasaan, bodoh, dungu, dan tidak bertujuan. Dunia tidak memahami kebaikan dan kebatilan. Dunia tidak memahami kebenaran dan kekeliruan. Di jagat semesta, kebenaran dan kebatilan tak bisa diukur dan ditimbang. Tak ada sesuatupun di dunia ini yang memiliki tujuan.
Kita diciptakan secara sia-sia. Iqbal mengatakan bahwa pemikiran semacam ini menyesatkan dan menghancurkan norma peradaban kemanusiaan.
Jadi, hal pertama yang dibutuhkan manusia adalah memandang dunia dari sisi metafisikal (bahwa dunia diciptakan dengan tujuan). Dalam sebuah ayat disebutkan: "Apakah kalian menyangka bahwa kalian diciptakan secara sia-sia?"[2]
Tak ada kesia-siaan dalan penciptaan alam semesta. Segala apa yang ada di jagat raya ini harus mempunyai pemilik yang disebut dengan Tuhan. Dunia diciptakan di atas prinsip kebenaran. Dunia diciptakan di atas prinsip keadilan. Di alam semesta ini terdapat kebaikan dan keburukan. Keberadaan alam semesta ini diciptakan Tuhan yang Maha Mendengar dan Maha Melihat. "Allah tidak pernah lupa dan tidak tidur,"[3] Tuhan Maha Mengetahui dan Maha Berilmu. Namun, keberadaan dunia ini tidak cukup hanya dipandang dari sisi metafisikal semata. Untuk itu, kita perlu melengkapinya dengan beberapa faktor lain.
2. Kebebasan spritual individu
Kebebasan spiritual individu bertentangan dengan ajaran kristen. Kebebasan individual berarti meyakini bahwa seseorang memiliki kepribadian yang unik. Jika seseorang tidak memandang dunia dari sisi metafisikal serta tidak meyakini adanya kepribadian yang khas dari masing-masing individu, maka potensi-potensi yang terkandung dalam diri manusia tidak akan pernah nampak. Terdapat beberapa kaidah yang memiliki pengaruh universal dan sanggup mengarahkan manusia pada kesempurnaan masyarakat yang berdasarkan pada prinsip spiritual. Yang dimaksud dengan kaidah tersebut adalah berbagai ketetapan dasar dari ajaran Islam.
Dalam pembahasan kali ini, saya tidak akan memaparkan ucapari-ucapan Iqbal lebih jauh lagi. Apakah seperti kebanyakan kita, kajian yang dilakukan Iqbal hanya berhenti sampai di sini? Maksudnya, apakah setelah melihat berbagai kekurangan peradaban Eropa dan kemudian melihat Islam sebagai bentuk alternatif yang hidup, ia kemudian mengatakan: "Pembahasan sudah selesai"? Tidak. Justru Iqbal menguraikan bagian ketiga tersebut secara lebih mendalam dalam risalahnya sendiri, risalah setiap muslim, dan risalah para cendikiawan mukmin. Tujuh rangkuman yang ditulis Iqbal di bawah topik "Menghidupkan Pemikiran Agama dalam Islam", ditujukan tak lain untuk menopang persoalan yang terdapat pada bagian yang ketiga tersebut. Dalam sejumlah slogan yang disampaikan Iqbal, sedikit banyaknya disampaikan tujuan dari bagian yang ketiga ini, sembari pula sedikit menyinggung tujuan dari bagian yang pertama.

Matinya Semangat Islam

Dalam slogan-slogan yang diserukan Muhammad Iqbal, terkandung berbagai kecaman keras terhadap sikap kaum muslimin yang mengikuti peradaban Barat secara membabi buta. Sementara dalam slogannya yang lain, Iqbal juga menyampaikan keharusan untuk melaksanakan ajaran-ajaran Islam. Bagian ketiga yang dibutuhkan kaum muslimin adalah: Sesungguhnya, Islam macam apakah yang dewasa ini ada di tengah-tengah kaum muslimin?
Iqbal memperlihatkan sebuah noktah yang terbilang penting bahwasanya Islam (yang sebenarnya) ternyata eksis, namun tidak berada di tengah-tengah kaum muslimin. Islam yang eksis di tengah-tengah kaum muslimin hanyalah Islam yang ditampilkan dalam bentuk slogan-slogan, gema suara azan, dan perginya kaum muslimin ke masjid-masjid di waktu sholat. Hanya simbol keislaman belaka yang tampil ke permukaan. Untuk menunjukan citra keislaman, mereka biasanya menggunakan nama-nama Islami seperti: Muhammad, Hasan, Husain, Abdurrahim, Abdurrahman, dan sejenisnya. Namun, pada hakikamya, intisari Islam yang sebenarnya tidak terdapat dalam masyarakat. Intisari Islam dalam masyarakat yang Islami sesungguhnya telah mati. Kita membutuhkan kehidupan Islam yang baru. Kehidupan Islam harus diperbaharui. Dan itu mungkin saja terjadi, mengingat pada hakikatnya Islam tidak pernah mati, melainkan kaum musliminlah yang mati. Islam tidak akan pernah mati, mengapa? Karena di sana terdapat Kitab langit (al-Quran) dan sunah (hadis) Nabi. Keduanya tampil dalam bentuk yang hidup. Dunia tak akan mampu memberikan sesuatu yang lebih baik dari al-Quran dan sunnah Nabi. Ajaran al-Quran tidak seperti teori Ptolomeus yang bisa dipatahkan teori lain. Islam itu sendiri hidup dan berpijak di atas pada landasan yang hidup pula. Lantas, di manakah letak kekurangannya? Kekurangannya terletak pada pemikiran kaum muslimin sendiri. Pemikiran dan cara penerimaan kaum muslimin terhadap ajaran Islam bukan dalam bentuk yang hidup, melainkan dalam bentuk yang mati. Misalnya, dalam menanam benih unggul, Anda tidak menggunakan cara-cara pertanian yang benar. Akibamya, benih yang ditanam dalam tanah tidak akan membuahkan hasil apapun. Akar-akar benih tersebut tidak akan tertanam dengan kuat. Benih tersebut akan tumbuh menjadi pohon kecil yang mudah dicabut dan dipindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain. Pohon tersebut sekarang tumbuh dan hidup. Akan tetapi, apabila Anda mencabut dan menanamnya kembali dalam posisi terbalik (akar di atas dan daunnya di tanam), pohon tersebut tentu akan mati.
Imam Ali menyampaikan kata-kata yang sangat indah sehubungan dengan masa depan Islam dan kaum muslimin. Beliau mengatakan: "Islam dikenakan baju secara terbalik."[4] Maksudnya adalah masyarakat Islam memang mengenakan baju keislaman. Namun baju yang dikenakan tersebut ternyata terbalik.
Pakaian musim dingin dikenakan untuk menangkal hawa dingin. Terkadang ada juga orang yang menanggalkannya dan menghadapi musim dingin dengan tubuh tanpa pakaian. Ada juga orang yang mengenakan baju tapi tidak dengan cara yang semestinya; maksudnya mengenakan pakaian secara terbalik. Sisi pakaian yang semestinya diarahkan ke luar malah diarahkan ke dalam, sebaliknya sisi yang seharusnya diarahkan ke dalam justru diarahkan ke luar. Orang yang mengenakan pakaian secara terbalik akan nampak lucu dan bakal menjadi bahan tertawaan orang lain.
Imam Ali mengatakan bahwa masyarakat mengenakan "baju" keislaman dengan cara yang terbalik. Di satu sisi, mereka memiliki baju keislaman, sementara pada sisi yang lain tidak memilikinya. Kendati memilikinya, mereka mengenakannya secara terbalik; yang semestinya di luar malah di dalam, dan yang semestinya di dalam malah di luar. Kesimpulannya, Islam yang eksis di tengah-tengah kaum muslimin adalah Islam yang tidak memiliki keutamaan dan pengaruh. Keislaman semacam itu tidak akan mampu menginspirasikan semangat, gerakan, kekuatan, dan pemahaman. Islam semacam itu lebih menyerupai pohon yang dipenuhi dengan benalu. Lantas dari mana kemunculan seluruh hal tersebut? Ini erat kaitannya dengan cara kaum muslimin menerima Islam. Yakni, bagaimana proses kepengikutan mereka terhadap agama Islam dan bagaimana pula cara mereka menganutnya. Apakah mereka mengambilnya dari kepala, dari kaki, dari tubuh, ataukah secara acak? Mereka mengambil sebagian ajaran Islam dan meninggalkan sebagian lainnya. Mereka hanya mengambil kulitnya, sementara intisarinya tidak. Atau sebaliknya, mengambil intisarinya dan meninggalkan kulitnya. Pada akhirnya, Islam yang mereka anut tampil dalam bentuk "Tidak mati di dalamnya dan tidak pula hidup"[5] Islam yang dipeluk tidak hidup juga tidak mati. Tidak bisa dibilang eksis juga tidak dapat dikatakan tidak eksis. Ini merupakan noktah paling mendasar yang harus dipikirkan bersama. Jika tidak dipikirkan secara mendalam, bagaimana mungkin kita bisa melakukan kritik terhadap peradaban dan budaya Eropa, sementara budaya dan saripati Islam yang kita miliki belum otentik. Jika masyarakat dunia mengikuti kita, mereka tentu tidak akan pernah maju. Apabila masyarakat dunia menjejaki langkah kita, mereka pasti akan senasib dengan kita yang kini berada dalam kondisi yang nyaris binasa.
Dalam al-Quran disebutkan tentang bentuk kehidupan yang Islami, kehidupan pemikiran yang Islami. Sebagaimana dengan jelas diungkapkan dalam ayamya yang berbunyi:
"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu".[6]
Apakah ciri-ciri kehidupan tersebut? Apa yang dimaksud dengan "hidup"? Al-Quran menyebutkan bahwa masyarakat Jahiliyah adalah masyarakat yang mati. Dalam sebuah ayat disebutkan:
"Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar."[7] Dalam Ayat lain juga dikatakan: "Dan kamu sekali'kali tidak sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar."[8]
Masyarakat Jahiliyah merupakan masyarakat yang terdiri dari orang-orang mati yang bergerak. Mereka adalah orang-orang mati yang berjalan di muka bumi. Orang-orang seperti mereka tjdak bisa disebut sebagai orang-orang yang hidup. Adapun berkenaan dengan orang-orang yang beriman, al-Quran menyerukan ajakan untuk menerima ajaran yang mampu menganugerahkan kehidupan. Ajaran Islam memberikan jiwa, kekuatan, serta kehidupan kepada manusia. Apa ciri-ciri kehidupan? Saya persilahkan Anda bertanya kepada orang pandai, atau para filosof yang bisa mendefinisikan kehidupan, tentang 'bagaimana sesuatu bisa dianggap hidup'. Apa arti hidup? Tak seorangpun yang akan mengaku dirinya mampu mendefinisikan hidup. Hidup bisa diketahui melalui tanda-tanda dan dampak-dampaknya. Hidup adalah hakikat yang tidak diketahui, yang memiliki dua karakter: Pengetahuan dan gerakan.
Dikarenakan memiliki pengetahuan yang lebih, manusia akan memiliki hidup yang lebih pula. Segala sesuatu yang memiliki gerakan lebih banyak, akan memiliki hidup yang lebih banyak pula. Segala sesuatu yang berpengetahuan minim akan menjadi sangat bodoh dan sangat mati. Setiap kejumudan mencirikan kematian, dan setiap kejumudan yang sangat akan menjadi kematian yang sangat pula. Segala sesuatu yang benar-benar kosong dari pengetahuan akan mengalami kematian dalam kematian. Begitu pula halnya dengan segala sesuatu yang benar-benar jumud. Sekarang coba Anda simak, apakah kaum muslimin yang ada sekarang ini merupakan masyarakat yang progresif ataukah stagnan? Kita lebih banyak diam ataukah bergerak? Maksudnya, apakah masyarakat kita lebih menghormati orang yang progresif ataukah orang yang jumud dan stagnan?
Anda bisa saksikan bahwa masyarakat kita lebih menghormati orang yang stagnan ketimbang orang yang dinamis dan kritis. Ini merupakan ciri kematian suatu masyarakat, di mana setiap orang yang kosong dari pengetahuan lebih dihormati dan dikagumi. (Orang yang lebih banyak diam dan stagnan menandakan dirinya tidak memiliki banyak pengetahuan, sedangkan orang yang dinamis menunjukkan dirinya lebih banyak memiliki pengetahuan).

Logika Kereta Uap

Saya pernah bertanya kepada salah seorang teman tentang apakah yang dimaksud dengan logika kereta uap? Dia menjawab: "Saya mendapatkan pelajaran berharga dari kereta uap dan saya memahami masyakat melalui logika tersebut."
"Ketika saya masih kecil, kereta api yang ada pada waktu itu tidak seperti yang ada sekarang ini. Saya menyaksikan saat kereta api tersebut berhenti di stasiun, anak-anak kecil berlarian mendatangi dan menontonnya. Mereka memandanginya dengan penuh keheranan dan kekaguman. Nampaknya mereka mengagumi betul kereta api yang sedang berhenti tersebut. Cukup lama mereka memandangi kereta itu dengan rasa kagum hingga tiba jam pemberangkatan, dan kereta tersebut kembali bergerak. Saat kereta api mulai melaju, anak-anak itu segera mengambil batu dan melempari kereta tersebut. Saya sungguh terkejut melihat sikap mereka. Jika memang harus dilempar, mengapa mereka tidak melakukannya di saat kereta tersebut berhenti, meskipun hanya dengan batu kerikil? Jika merasa kagum melihat kereta api yang sedang diam, mereka juga semestinya lebih kagum saat melihat kereta tersebut bergerak."
Inilah perkara yang membingungkan saya. Ketika saya beranjak dewasa dan terjun ke tengah-tengah masyarakat, saya menyaksikan bahwa gaya hidup masyarakat kita (orang-orang Iran) pada umumnya hanya menghormati seseorang selama ia diam. Tatkala seseorang bersifat statis, ia akan lebih dihormati dan dikagumi. Namun tatkala dirinya bergerak dan melangkah secara progresif, masyarakat pun mulai mencela dan menghinanya. Sikap seperti ini menandakan bahwa masyarakat tersebut telah mati. Masyarakat yang hidup akan menghormati orang yang berbicara dan bertindak kreatif, bukan orang yang hanya berdiam diri. Masyarakat yang hidup akan menghormati orang yang progresif, kreatif, dan berwawasan luas.
Inilah tanda-tanda kehidupan dan kematian. Kedua hal ini merupakan sinyal yang paling jelas, di samping masih terdapat pula berbagai sinyal-sinyal lainnya.

Keterkaitan Salah Satu Tanda Kehidupan

Salah satu tanda dari suatu masyarakat yang dinamis adalah keterkaitan antarindividu yang ada di dalamnya. Ciri-ciri masyarakat yang mati adalah tidak terdapamya keterikatan antar anggota, saling berpecah belah serta saling terpisah antara satu sama lain. Sementara ciri-ciri masyarakat yang hidup adalah adanya saling keterkaitan dan kerja sama di antara anggotanya. Masyarakat Islam pada masa sekarang merupakan masyarakat yang hidup ataukah masyarakat yang mati? Masyarakat Islam dewasa ini adalah masyarakat yang mati. Ini terbukti dengan terjadinya pembunuhan, perang saudara, dan konflik yang mencuat di kalangan internal sendiri, sehingga mengakibatkan musuh-musuh Islam mampu memanfaatkan keadaan untuk terus melemahkan kaum muslimin.
Sehubungan dengan persatuan kaum muslimin, Rasulullah SAWW pernah menyampaikan ungkapan yang sangat indah:
"Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam saling mencintai, saling menyayangi, dan saling bersikap ramah di antara mereka bagaikan tubuh manusia, jika salah satu anggota tubuh merasa sakit, seluruh anggota tubuh ikut merasakan sakit dengan tidak tidur dan merasa demam."[9] Mereka adalah manifestasi dari ayat yang berbunyi:
"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu."[10]
Jika salah satu anggota tubuh terkena infeksi, dengan segera rasa demam akan menguasai seluruh badan. Tatkala terjadi peradangan di dalam usus seseorang dan dokter masih belum bisa mengetahui jenis penyakit apa yang dideritanya meskipun telah dilakukan diagnosa secara maksimal, seluruh anggota tubuhnya akan merasakan panas yang luar biasa. Reaksi tubuh semacam ini menunjukkan adanya kehidupan di dalam tubuh. Apakah kondisi kaum muslimin seperti ini? Apakah mereka akan bereaksi di saat salah seorang anggotanya merasakan sakit dan menderita?
Sekitar 500 tahun silam, Andalusia yang merupakan salah satu anggota tubuh kaum muslimin yang paling penting, mengalami musibah dan penderitaan. (Lihat, Dr. Ayati, Tarikh Andalus, Tehran University). Namun, kaum muslimin di belahan dunia lain tidak memberikan perhatian sama sekali kepadanya. Bahkan banyak yang di antaranya yang sama sekali tidak mengetahui penderitaan yang mereka alami. Padahal, perkembangan peradaban Islam dan dunia amat berutang budi pada Andalusia. Pada masa itu meletus pertikaian antara kalangan Syi'ah dan Ahlusunnah. Sayang, kaum muslimin pada umumnya tidak menyadari bahwa tragedi tersebut merupakan musibah yang besar bagi dunia Islam.
Iqbal menyatakan bahwa dalam sejarah, pemikiran yang Islami telah mati sejak 500 tahun lalu. Selama kurun waktu itu, kaum muslimin hanya menampilkan gaya pemikiran Islam yang kering, sembari mengubur bentuk pemikiran Islami yang hidup dan dinamis.
Apakah saya dan Anda ikut menderita oleh berbagai musibah yang dialami kaum muslimin pada masa sekarang, seperti penderitaan yang dirasakan kaum muslimin di Palestina? Rasa simpati apakah yang kita berikan pada mereka? Jika kita tidak menaruh perhatian kepada mereka, kita bukanlah termasuk orang-orang Islam berdasarkan hadis Nabi yang berbunyi: "Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam saling mencintai, saling menyayangi, dan saling bersikap ramah di antara mereka bagaikan tubuh manusia, jika salah satu anggota tubuh merasa sakit, seluruh anggota tubuh ikut merasakan sakit dengan tidak tidur dan merasa demam."[11]
Hadis Nabi ini menjelaskan tentang tanda-tanda kehidupan masyarakat Islam. Dalam hadis lain, beliau bersabda: "Barang siapa yang mendengar seseorang menyeru memohon pertolongan dari kaum muslimin dan yang mendengar tidak menolongnya, maka dia bukan muslim."[12] Barang siapa yang tidak memiliki keterkaitan diri dengan saudara-saudara muslim lainnya, maka dia bukanlah seorang muslim.
Apabila saya utarakan seluruh persoalan ini tentu akan menyita banyak waktu. Namun yang terpenting dari semua itu adalah bahwa kita harus menampilkan pemikiran Islami dalam bentuk yang hidup dan dinamis. Telah saya jelaskan sebelumnya tentang bagaimana kekeliruan kita dalam menerima ajaran Islam. Kita harus banyak melakukan introspeksi diri, dan lihatlah, apakah kita mengenakan pakaian (keislaman) secara terbalik. Ternyata kita memang mengenakan baju keislaman secara demikian. Kita tidak menyadari bahwa pakaian tersebut telah dikenakan secara terbalik, sampai-sampai orang lain mengingatkan kita. Kita harus benar-benar memperbaiki cara berpikir kita. Sebabnya, barangkali kita memang mengenakan baju keislaman secara terbalik sebagaimana pernah dikatakan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as.
Teman saya pernah melontarkan kritik dengan mengatakan: "Apakah pengormatan terhadap Iqbal tidak menunjukkan penyembahan terhadap orang yang sudah mati? Apakah kita baru menghormati orang besar setelah ia mati?" Maksud dari kritiknya adalah mengapa kita tidak menghormati tokoh besar yang masih hidup, meskipun kualitas keilmuannya berada di bawah Iqbal. Bahkan banyak pula tokoh pemikir yang masih hidup yang memiliki kapasitas ilmu lebih tinggi dari Iqbal tidak kita hormati?
Allamah Thabathaba'i merupakan salah seorang tokoh besar yang masih hidup. Namun mengapa kita tidak menghormatinya? Yang jelas, pertemuan kita kali ini bukan dalam rangka menentukan siapa yang layak untuk dihormati dan memperoleh hak yang semestinya. Namun lantaran masalah ini telah disinggung sebelumnya, maka saya akan memberikan sedikit penjelasan tentangnya.
Allamah Thabathaba’i termasuk salah seorang tokoh yang banyak mengabdi kepada Islam. Beliau merupakan bentuk konkret dari ketakwaan dan ketinggian nilai spiritual. Beliau telah mencapai kedudukan yang tinggi dalam penyucian jiwa dan ketakwaan. Selama bertahun-tahun, bahkan sampai sekarang, saya telah banyak menimba pelajaran dari tokoh besar ini.
Kitab tafsir Mizan yang ditulisnya merupakan salah satu kitab tafsir al-Quran yang sangat luar biasa. Memang, al-Quran memiliki kedudukan yang tinggi dan tidak satupun kitab tafsir yang mampu memenuhi hak al-Quran dengan semestinya. Setiap ahli tafsir hanya memandang al-Quran dari sisi tertentu. Sejak abad permulaan Islam sampai hari ini, kitab tafsir Mizan merupakan kitab terbaik yang pemah ditulis di kalangan Syi'ah dan Ahlussunnah. Allamah Thabathaba’i jelas merupakan tokoh besar dan agung.
Merupakan tugas kita semua untuk menghormati beliau yang kini telah berusia sekitar tujuh puluh tahun. Tak ada satupun orang yang sudah lanjut usia seperti beliau yang memiliki prestasi ilmiah semacam ini. Beliau menghabiskan umurnya untuk mendalami studi moral, budaya Islam, dan sastra Arab. Mengapa orang seperti ini layak dimuliakan dan dihormati? Sebabnya, beliau memiliki ilmu dan jiwa sosial yang mengagumkan. Masyarakat yang tidak pernah belajar dari orang besar ini hanya akan memperoleh sedikit manfaat. Kaum muslimin harus banyak belajar dari tokoh besar ini supaya mendapatkan banyak keuntungan.
Perbedaan masa kita sekarang dengan masa silam adalah tokoh-tokoh yang muncul pada masa sekarang mudah terkenal (melalui medium percetakan buku dan sebagainya). Allamah Thabathaba’i tidak hanya dikenal di kalangan orang Iran saja. Beliau juga dikenal di seantero dunia Islam. Tafsir Mizan yang disusunnya telah berkali-kali di cetak ulang secara diam-diam di Beirut, Lebanon. Ini membuktikan bahwa pemikiran dan buku beliau sangat terbuka bagi dunia Islam. Orang-orang orientalis pun mengenal siapa tokoh ini. Amerika dan Eropa mengenal beliau sebagai seorang pemikir besar Islam. Allal al-Faasi juga termasuk salah seorang tokoh dalam dunia Islam. Ketika datang ke Iran, ia berkunjung ke kota Qom dan mendatangi rumah Allamah Thabathaba’i. Dia sangat kagum menyaksikan ketinggian kedudukan spiritual Allamah Thabathaba’i. Kepribadian Allamah Thabathaba’i tidak hanya terbatas sebagai pribadi Syi'ah semata, melainkan juga sebagai orang yang memiliki ilmu yang bersifat universal. Namun sangat disayangkan, pribadi mulia ini pernah menderita sakit jantung selama satu tahun. Saya memohon kepada Allah agar berkenan menjaga tokoh besar ini untuk kita semua. Beliau benar-benar tokoh mulia yang memiliki kedudukan spiritual yang tinggi. Akhir-akhir ini, beliau menunjukkan sikap ikut merasakan penderitaan saudaranya sesama muslim.
Saudara-saudara muslim kita tengah menderita di Palestina, sementara Amerika tidak mampu memberikan hak yang semestinya kepada mereka. Kita harus memberikan perhatian dan bantuan kepada mereka. Allamah Thabathaba’i segera membuka rekening di bank untuk membantu saudara-saudara muslimin di Palestina yang sedang kesusahan. Beliau membuka rekening di bank Millie Iran, bank Bozargoni, dan bank Shaderaat. Beliau juga dibantu Ayatullah Sayyid Abul Fadhl Musawi Zanjani yang merupakan tokoh mulia dan memiliki kedudukan spiritual yang tinggi. Beliau adalah seorang mujtahid yang adil. Saya termasuk orang ketiga yang ikut membuka rekening tersebut. Jadi rekening bantuan kemanusiaan untuk kaum muslimin di Palestina tersebut dibuka atas nama tiga orang (Allamah Thabathaba’i, Ayatullah Zanjani, Syahid Muthahari, —pent.).
Program dana kemanusiaan ini tidak memandang berapa banyak uang yang terkumpul. Jika semua orang Iran mengumpulkan hartanya, barangkali tidak bisa menandingi banyaknya harta yang dimiliki dua orang Yahudi kaya raya yang tinggal di Amerika, yang meraup harta dengan jalan riba dan mencuri. Hal terpenting bagi kita adalah bagaimana jiwa kita ikut merasakan penderitaan orang lain dan memiliki keterikatan hati dengan mereka.
Saya ingin memberikan sebuah contoh berkenaan dengan masalah ini. Sewaktu Nabi Ibrahim dilemparkan ke tengah-tengah api yang sedang rnembara, seekor burung Bul-bul terbang mendekati tempat Nabi Ibrahim dibakar. Burung tersebut memenuhi paruhnya dengan air dan kemudian ditumpahkannya di atas kobaran api yang tengah menjilat tubuh Nabi Ibrahim. Melihat tindakan burung tersebut, Nabi Ibrahim bertanya dengan penuh rasa heran: "Wahai burung kecil! Apakah air yang kamu tumpahkan dari paruhmu berguna untuk memadamkan api yang besar ini?" Burung Bul-bul itu menjawab: "Dengan cara ini saya ingin memperlihatkan akidah, iman, dan hubungan saya dengan Nabi Ibrahim as."
Kendati Anda hanya menyumbang dengan sedikit harta, namun sumbangan tersebut tetap bernilai. Dengannya, Anda telah menunjukkan perasaan dan kepedulian Anda terhadap orang lain yang tengah menderita. Melalui tindakan tersebut, Anda telah mempererat hubungan dengan Imam Husain as. Sebagaimana telah saya sampaikan pada awal pembicaraan, bahwa hari ini merupakan hari untuk "berhubungan dengan para Syuhada". Mudah-mudahan kita semua digolongkan ke dalam barisan orang-orang yang syahid. Kita harus selalu mengatakan: "Assalâmu 'alaikum ya Abâ Abdillah, ya laitanâ kunnâ ma'aka fa nafûza fauzan 'azhiman" (Salam sejahtera bagimu wahai Aba Abdillah, andai saja kami bersamamu pada saat itu, maka kami akan sangat beruntung). Andai saja kami bersamamu, wahai Husain. Imam Husain mengatakan bahwa Karbala tidak hanya terjadi dalam satu hari saja. Tragedi Karbala akan senantiasa terjadi, kapanpun, di manapun!
Salah satu bukti bahwa masyarakat kita telah mati adalah pecahnya tragedi Karbala. Sekarang ini, kita tengah memperingati hari Arbain (empat puluh hari syahadahnya Imam Husain). Pada hari Arbain telah terjadi dua peristiwa penting; datangnya Jabir bin Abdullah al-Anshori untuk berziarah ke makam Imam Husain serta pembacaan ziarah Arbain yang disunahkan pada hari ini. Keterangan lebih rinci tentangnya akan saya sampaikan pada lain kesempatan. Disunahkan untuk berziarah kepada Imam Husain di mana saja kita berada, sekalipun dari jarak jauh.
Dalam kesempatan ini, saya akan menyampaikan suatu peristiwa yang pada dasarnya tidak termaktub dalam seluruh buku standar kesejarahan, kecuali dalam satu buku saja. Buku tersebut juga tidak bisa dikategorikan sebagai buku sejarah yang mu'tabar (otentik). Pengarangnya, yang merupakan salah seorang tokoh besar, menulis buku tersebut ketika ia masih muda. Buku tersebut mencakup sejumlah peristiwa bohong yang tidak terdapat dalam sejarah. Tak seorang pun dari kalangan sejarahwan, ahli hadis, dan penulis maqtal Islam yang menceritakan peristiwa tersebut. Mereka bahkan mengingkarinya. Terjadinya persitiwa tersebut juga tidak bisa diterima oleh akal sehat. Kejadian bohong itu berkisar tentang datangnya Ahlul Bait Nabi dan keluarga suci Imam Husain dari Syam ke gurun Karbala pada tanggal 20 Shafar 61 H. (hari Arbain).
Kita sering mendengar kisah ini. Namun saya tidak ingat rinciannya. Barangkali kita tidak pernah mendengar bahwa yang berziarah ke makam Imam Husain pada hari Arbain hanyalah dua orang. Dalam seluruh majelis yang ada, kita pasti akan mendengar kisah seperti ini. Diceritakan bahwa keluarga suci Imam Husain datang ke Karbala dan menuju ke pusara Imam Husain as. Mereka membacakan syair-syair, puisi-puisi kesedihan, dan memukul-mukul dada masing-masing. Jelas, hal ini merupakan kebohongan belaka.
Inilah tanda-tanda kematian suatu masyarakat. Menerima kebohongan begitu saja dan gagap terhadap kebenaran serta kejujuran. Jabir bin Abdullah al-Anshori merupakan sahabat Nabi yang menemani beliau sejak masa remaja. Di saat terjadi perang Ubud, Jabir masih berusia 16 tahun dan baru menginjak masa baligh. Ketika Rasulullah wafat, ia telah berumur kira-kira 22 atau 23 tahun. Atas dasar ini, maka usia Jabir pada tahun 61 H Jabir adalah 72 tahun. Di akhir usianya, kedua matanya mengalami kebutaan. la bertolak ke Karbala ditemani oleh Athiyah al-Aufâ, seorang ahli hadis. Tatkala tiba di sana, Jabir terlebih dahulu pergi ke sungai Furat untuk membersihkan dirinya sebelum melakukan ziarah. la mengambil tumbuh-tumbuhan yang berbau harum dan menjadikannya sebagai pewangi yang mengharumkan tubuhnya. Athiyah mengatakan: "Setelah selesai membersihkan diri di sungai Furat, Jabir melangkah mendekati kubur Imam Husain dengan perlahan-lahan sambil bibirnya mengucapkan zikir dan kalimat-kalimat suci". Jabir termasuk salah seorang pengikut Imam Ali dan Ahlul Bait Nabi. Usia Jabir lebih tua dari Imam Husain, sekitar 12 tahun. Dengan langkahnya yang perlahan-lahan, akhirnya sampai juga ia ke pusara Imam Husain. Setelah itu, Jabir berteriak: "Habibi ya Husainl! Kekasihku, wahai Husain! Habîbun lâ yujîbu habîbah? Mengapa kekasih tidak menjawab seruan kekasihnya? Akulah Jabir bin Abdullah al Anshori, akulah temanmu, akulah sahabat dekatmu, akulah budakmu yang tua renta! Mengapa engkau tidak menjawab seruanku, wahai Husain? Husain kekasihku, engkau berhak untuk tidak menjawab seruanku, seruan budakmu yang tua renta. Aku tahu apa yang telah mereka lakukan terhadap urat'iirat lehermu. Aku tahu kepala muliamu telah terpisah dari raga sucimu ...". Jabir mengucapkan banyak mengeluarkan kata-kata hingga akhirnya tidak sadarkan diri. Setelah siuman, ia menolehkan kepalanya ke sana kemari, seakan-akan dirinya memandang dengan mata batin seraya mengucapkan: "Assalamu 'alaikum ayyatuhal arwâhil latî hallat bi finâ`il Husain, salam sejahtera bagi jiwa-jiwa yang berguguran bersama gugumya Imam Husain."
Setelah memberikan banyak kesaksian, Jabir mengatakan: "Aku bersaksi bahwa aku bersamamu dalam perjuangan ini." Athiyah terkejut mendengar kata-kata Jabir. Apa maksud kata-katanya? Apakah kita bersama mereka dalam perjuangan ini? Athiyah berkata kepada Jabir: "Aku tidak mengerti maksud ucapanmu, bukankah kita tidak berjihad bersama mereka? Kita tidak mengangkat pedang untuk berjuang, mengapa kamu katakan bahwa kita bersama mereka dalam perjuangan inil" Jabir mengatakan: "Saya mendengar Rasulullah pernah mengatakan: 'Barang siapa yang mencintai temannya dari kedalaman hati, maka jiwanya akan menyatu dengannya dan bersama datam suatu perbuatan. Saya tidak bergabung dengan Imam Huscdn ddlam perjuangannya saat itu karena saya tidak mampu bersamanya pada saat itu. Saya tidak ikut berjuang bersamanya, namun jiwaku terbang bersama Imam Husain. Jiwa kita bersama jiwa Imam Husain sebelumnya, dan saya berhak mengaku bahwa saya turut serta dalam perjuangan Imam Husain."

[1] Al-Anfâl: 24.
[2] Al-Mukminûn: 115.
[3] Al-Baqarah: 225.
[4] Nahjul Balâghah, "Faidhul Islam", Khutbah ke-70, hal. 324.
[5] Thâhâ: 74; al-A'lâ: 13.
[6] Al-Anfâl: 24.
[7] An-Naml: 80.
[8] Al-Fâthir: 80.
[9] Al-Jâmi ash-Shaghîr, Jilid II, hal.155.
[10] Al-Anfâl: 24.
[11] Al-Jâmi ash-Shaghîr, Jilid II, hal.155.
[12] Wasâ`il as-Syi’ah: Jilid XI, hal. 108 dan 560; Ushûl al-Kâfi, Jilid III, hal.239.








 

BAB III : SEJARAH PENYIMPANGAN PEMIKIRAN ISALAM

 

"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu."[1]

Kajian kita kali ini masih berkenaan dengan upaya untuk menghidupkan pemikiran Islam. Para reformis dan para pemikir besar Islam yang hidup pada abad terakhir, sangat menaruh perhatian besar terhadap masalah ini. Saat ini, cara berpikir mayoritas kaum muslimin terhadap Islam mengalami banyak penyimpangan. Minggu lalu, saya telah menyampaikan bagaimana suatu aliran pemikiran atau aksi yang pada dasarnya hidup diterima oleh masyarakat. Boleh jadi suatu aliran pada dasarnya memberikan kehidupan, namun diapresiasi oleh masyarakat melalui cara berpikir yang keliru.
Atas dasar itu, saya akan menyatakan bahwa penyimpangan pola pikir kaum muslimin dewasa ini terhadap Islam berhubungan erat dengan cara mereka menerima ajaran Islam. Jika hendak menelaah pola pikir semacam ini, kita harus berperan sebagai seorang dokter. Hal pertama yang akan dilakukan seorang dokter adalah mendiagnosis pasien guna mengetahui jenis penyakit apa yang dideritanya. la akan menanyakan kepada pasien tentang apa yang dilakukan sebelumnya, gejala-gejala apa yang dirasakannya, dan bagaimana keadaan sebelumnya. Upaya-upaya ini dilakukan untuk menentukan jenis penyakit apa yang dideritanya. Baru setelah itu ia melakukan pengobatan terhadap pasiennya.
Jika ingin membenahi pola pikir kita yang keliru, kita harus menengok kembali sejarah Islam di masa silam. Apakah akar penyimpangan tersebut berasal dari masa silam? Yang jelas, kondisinya pasti berbeda-beda. Sebagian mungkin terjadi dalam dua, tiga, empat, atau lima abad yang lalu. Namun, penyimpangan pemikiran telah muncul sejak abad kedua Islam. Pada malam ini, saya ingin menjelaskan dua materi pembahasan yang berhubungan dengan abad pertama Islam. Dan pada abad modern ini, telah nampak juga berbagai akar penyimpangan baru.
Salah satu penyimpangan pemikiran yang terjadi pada permulaan abad Islam adalah adanya anggapan bahwa pengaruh perbuatan akan menghalangi proses penciptaan kebahagiaan manusia. Dengan kata lain, seseorang harus menanggalkan cara berpikir yang realistis, untuk kemudian menggunakan pemikiran imajinatif. Padahal, apabila seseorang merujuk kepada al-Quran —yang merupakan rujukan dan sandaran pertama kita— serta sunah Nabi dan para imam suci, maka akan nampak dengan jelas bahwasnya Islam merupakan agama yang amat menekankan pengikumya untuk senantiasa beramal (shalih).
Dasar pengajaran dan pendidikan Islam adalah beramal atau berupaya. Islam senantiasa mengarahkan pengikutnya untuk bekerja (beramal). Takdir menetapkan bahwa manusia harus beramal. Ini merupakan pola pikir yang sesuai dengan kenyataan, bersifat rasional, dan juga sesuai dengan rahasia penciptaan.
Berapa banyakkah jumlah kisah al-Quran yang diungkap dalam bahasa yang memukau mengenai keharusan beramal? Sungguh, ayat-ayat yang berkenaan dengannya memiliki ungkapan yang indah dan luar biasa. Misalnya ayat yang berbunyi: "Sesungguhnya manusia tidak akan mendapatkan apapun kecuali apa yang telah ia upayakan."[2] Maksudnya, kebahagiaan manusia amat bergantung pada amal perbuatannya. Dalam ayat lain disebutkan: "Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat (biji) dzarahpun, niscaya ia akan melihat balasannya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat (biji) dzarahpun, niscaya ia akan melihat balasannya pula."[3]
Ajaran ini merupakan yang terbesar bagi kehidupan suatu bangsa. Pada saat suatu bangsa memahami bahwa takdir yang ada di tangannya menentukan dirinya harus beramal, maka pada saat itulah mereka akan senantiasa beramal dengan kekuatannya sendiri. Bangsa tersebut sadar bahwa segala sesuatu tidak akan bermanfaat kecuali diamalkan oleh dan kekuatannya sendiri. Hal itu menjadi motivasi yang kuat bagi mereka untuk mengarungi bahtera kehidupan.
Jika Anda menengok sejarah permulaan Islam, betapa mereka senantiasa gigih berupaya dengan kekuatannya sendiri dalam meraih suatu tujuan. Itu dikarenakan pemikiran mereka ditopang oleh prinsip-prinsip ajaran ini. Mereka senantiasa mengikuti ajaran ini dan, sampai sekarang, tak pernah menyeleweng darinya. Prinsip pemikiran mereka adalah, dengan beramal dan bekerja keras, dirinya pasti akan meraih keuntungan (amal perbuatan seorang muslim tidak terbatas pada perbuatan lahiriah semata, namun harus dibarengi pula dengan niat dan iman yang benar).
Kita bisa lihat, betapa ajaran ini mampu menumbuhkan kepercayaan yang kuat dalam diri manusia dan menjadikarinya bertumpu di atas kekuatannya sendiri!! Namun sayang, ajaran ini sekarang menjadi salah satu ajaran Islam yang sedikit banyak telah mengalami penyimpangan. Dan penyimpangan pemikiran semacam ini semakin hari semakin menjadi-jadi.
Secara berangsur-angsur, apa yang disebut dengan beramal mulai diremehkan dan dianggap tidak berguna. Bersamaan dengan itu, dalam upayanya mengkonstruksi kebahagiaan manusia, masyarakat mulai menanggalkan pola pikir yang realistis untuk kemudian mengandalkan pola pemikiran yang bersifat imajinatif. Sejarah membuktikan bahwa akar pemikiran semacam ini diciptakan dinasti Bani Umayyah.
Pokok permasalahan yang berkembang di kalangan teolog (ulama kalam) saat itu; apakah dasar agama adalah iman? Apa yang dimaksud dengan iman? Sejarah menunjukkan bahwa khalifah Bani Umayyah terdiri dari orang-orang fasik dan pembuat kerusakan. Mereka tak mampu menutupi kebejatan dan keburukan perbuatan mereka dari mata masyarakat, yang pada saat bersamaan justru mengetahuinya. Pemikiran ini yang mereka sebar luaskan menyatakan bahwa dasar agama adalah keimanan. Apabila iman yang dimiliki sudah benar, maka amal perbuatan menjadi tidak penting.
Dikarenakan memiliki kekuasaan dan harta kekayaan, pemerintahan Bani Umayyah mampu menyebarkan ajaran ini, sekalipun dengan cara memaksa. Para ulama bayaran juga turut berperan serta dalam menciptakan serta menyebarluaskan ajaran ini. Mereka mengatakan bahwa dasar agama adalah keimanan. Iman yang benar tidak lagi memerlukan amal perbuatan.
Ajaran ini ditujukan untuk mencuci bersih noda kejahatan yang melekat pada tubuh kekuasaan bani Umayyah sehingga masyarakat yang memiliki kepekaan sosial politik tidak sampai mengecam sang khalifah dan juga tidak memiliki anggapan bahwa para ulama (istana) merupakan pelaku kerusakan. Pada abad kedua Islam, dalam bidang teologi (ilmu kalam) lahir sebuah ajaran baru yang kemudian menyebut dirinya aliran Murji'ah. Akidah yang mendasari aliran ini bertujuan untuk melindungi seluruh kejahatan bani Umayyah.
Lantas bagaimana pandangan orang-orang Syi'ah saat itu? Perintah apa yang diinstruksikan para imam suci? Pelajaran apa yang kita peroleh dari Imam Ali as? Ketika ditanya tentang tentang makna iman, para imam mengatakan: "Iman adalah keyakinan dalam hati, pemyataan dengan lisan, dan beramal dengan anggota tubuh."[4] Para Imam tidak memisahkan amal dan iman. Orang yang tidak beramal adalah orang yang tidak memiliki iman. Tentunya tidak logis, apabila orang yang tidak beramal, demi menyenangkan hatinya, mengatakan bahwa dirinya memiliki iman. Jika Anda perhatikan, pujian yang disampaikan al-Quran ditujukan kepada orang-orang mukmin, bukan kepada orang-orang yang hanya memiliki keyakinan namun tidak menjalankan amal perbuatan. Dalam setiap ayat yang menyertakan pujian terhadap orang-orang beriman, dijelaskan bahwa mereka adalah orang-orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat, memiliki keyakinan dalam hati, serta beramal dengan anggota tubuh mereka.


Syi'ah dan Murji'ah

Pada masa itu, pemikiran sesat yang diusung aliran Murji'ah hanya menimpa kalangan Ahlusunnah wal Jama’ah. Namun pada masa sekarang, mazhab Syi'ah yang sesungguhnya mendapatkan ajaran dari para imam suci dan pada awalnya paling keras menentang aliran Murji'ah, tak pelak juga telah terpengaruh pemikiran tersebut.
Di tengah-tengah ajaran yang diperoleh, ternyata kita meremehkan amal perbuatan. Misalnya, kita beranggapan bahwa untuk menjalin hubungan dengan Ali bin Abi Thalib, cukup dengan mengatakan: Ya Ali! Selain itu, kita juga sudah merasa puas hanya dengan menyandang nama Syi'ah dan namamu tencantum dalam daftar orang-orang yang berduka atas Imam Husain. Kemudian kita menghimbau masyarakat untuk menjadi anggota partai tertentu, dengan anggapan bahwa Imam Husain juga aktif dalam partai. Ada yang mengatakan, barang siapa yang telah mengedarkan kartu anggota (majelis) di sini, akan memperoleh keselamatan. Orang yang mengatakan semua itu sama sekali tidak memahami filsafat kesyahidan Imam Husain.
Makna filosofis dari kesyahidan tersebut adalah demi menghidupkan ajaran Islam sampai pada tingkat amaliahnya.
"Saya bersaksi bahwa engkau telah mendirikan sholat, menunaikan zakat, memerintahkan kebaikan, mencegah perbuatan munkar, dan kamu telah berjuang di jalan Allah dengan sebaik-baiknya jihad."[5] Maksudnya, engkau wahai Imam Husain, terbunuh untuk menghidupkan Islam dalam bentuk perbuatan.
Namun bertolak belakang dengan itu, kita malah mengatakan bahwa kesyahidan ditempuh Imam Husain demi mematikan amal perbuatan dalam Islam dan menciptakan keterikatan serta hubungan lahiriah. Saya teringat pada sebuah kisah yang sepuluh tahun silam telah saya kemukakan dalam salah satu pertemuan bulanan.
Abu al-Faraj al-Isfahani memiliki buku yang sangat terkenal, berjudul Al-Aghânî, yang berisikan lagu-lagu dan nada-nada musik. Salah satu peristiwa yang secara bertahap terjadi dalam dunia Islam adalah bahwa para khalifah senantiasa menampilkan hiburan dan lagu-lagu. Jika keadaan seperti ini terus menyebar luas ke dalam tubuh setiap bangsa, maka itu akan mengantarkannya ke ambang kehancuran. Dalam tubuh bangsa tersebut akan muncul berbagai praktik prostitusi, legalisasi minum-minuman keras, tari-tarian eksotis, musik, serta bermacam-macam lagu. Akibatnya kemudian, di dunia Islam mulai banyak bermunculan para musikus dan seniman.
Sosok Abu al-Faraj al-Isfahani merupakan seorang Umawi dan tergolong sejarahwan yang terampil dan obyektif. Beliau menulis buku yang berjudul Maqâtil at Thâlibiyîn (Pembunuhan terhadap keluarga Abu Thalib). Buku yang relatif obyektif tersebut dijadikan pegangan oleh kaum muslimin, termasuk ulama Syi'ah. Bisa dikatakan bahwa buku ini ditulis secara netral tanpa berpihak kepada siapapun.
Buku Al-Aghânî terdiri dari 18 jilid dan kebanyakan berhubungan dengan masa lalu para seniman, artis, dan musikus dalam dunia Islam.
Buku ini banyak mengutip berbagai kisah yang aneh. Salah satunya dikatakan dalam buku tersebut: Pada suatu ketika, seorang Syi'ah dan seorang Murji'ah membicarakan masalah amal perbuatan. Orang murji'ah mengatakan bahwa dasar agama adalah memiliki iman. Keimanan tetap ada kendati tidak terdapat amal (perbuatan). Sementara orang syi'ah mengatakan bahwa iman dan amal tidak dapat dipisahkan. Jika tidak ada amal (perbuatan), maka iman juga tidak akan eksis. Keduanya kemudian terlibat dalam perdebatan yang sengit dan masing-masing tidak puas terhadap lawan bicaranya.
Untuk menghentikan perdebatan, mereka sepakat untuk menanyakan persoalan itu kepada orang yang pertama kali melewati gang tempat mereka berdebat, demi mengetahui mana yang benar dan mana yang keliru. Kebetulan, lewatlah seorang musikus (sehubungan dengan masalah inilah cerita tersebut dikutip dalam buku Al-Aghânî). Dikarenakan kesepakatan tadi, mereka pun lantas bertanya kepadanya. Orang Murji'ah sangat senang dan beruntung dengan kedatangan musikus tersebut. Kemudian keduanya menerangkan pembicaraan mereka sebelumnya kepada sang musikus tersebut. Orang Syi'ah mengatakan akidahnya meyakini bahwa amal dan iman tidak terpisah satu sama lain dan kebahagiaan manusia tergantung pada amal perbuatannya. Sementara orang Murji'ah mengatakan bahwa amal perbuatan tidak ada harganya. Kebahagiaan manusia, katanya, bergantung pada iman dan akidah. Setelah itu, keduanya bertanya kepada si musikus: "Apa akidahmu?"
Musikus tersebut berpikir sejenak, lalu mengatakan: "Dari ujung rambut sampai pinggang saya orang Syi'ah dan dari pinggang ke bawah saya orang Murji'ah." Maksud orang itu, pemikiran saya condong pada pendapat Syi'ah, namun secara praktik saya orang Murji'ah.
Dalam konteks kekinian, banyak orang yang mengaku Syi'ah, termasuk diri kita, akan menjumpai dirinya seperti si musikus tadi; mulai dari pinggang sampai ujung kaki sebagai Murji'ah. Kita selalu mencari-cari alasan untuk tidak beramal, bahkan kita telah menciptakan surga dengan alasan-alasan pula (bukan dengan amal perbuatan, —peny.). Ada yang mengatakan bahwa nikmat surga tidak diberikan dengan "harga", melainkan dengan "alasan". Siapa yang mengatakan demikian? Imam Ali menyampaikan sebuah ungkapan bahwa surga adalah "harga", yaitu surga merupakan "harga" dari amal perbuatan Anda. Namun kita malah mengatakan bahwa surga diberikan tanpa "harga". Kita tak mungkin bisa meraih surga tanpa amal perbuatan. Tentunya, alasan untuk masuk surga haruslah tepat. Ini merupakan contoh dari bentuk pemikiran yang keliru dan spekulatif.
Sehubungan dengan masalah ini, masih banyak hal yang perlu dibicarakan lebih lanjut. Bila kita merujuk pada al-Quran, persoalannya akan nampak semakin jelas. Al-Quran gusar terhadap orang-orang Yahudi yang menganut pemikiran semacam ini (bahwa iman terpisah dari amal, —pent.). Orang-orang Yahudi yang menganggap dirinya makhluk paling mulia di sisi Allah berkeyakinan bahwa jika mereka melakukan kejahatan, Allah tidak akan menghukum kejahatannya. Namun jika mereka melakukan kebaikan, Allah akan mengganjarnya berlipat ganda. Pada dasarnya, konsep semacam ini —sebagaimana acapkali disebutkan dalam al-Quran— bersumber dari pemikiran orang-orang Yahudi. Dalam pandangan orang Yahudi, apapun dosa serta kejahatan yang kita lakukan, tidak akan menyebabkan kita masuk neraka. Kita adalah makhluk yang mulia. Kalaupun kita dijerumuskan ke dalam siksa neraka, itu hanya bersifat sesaat dan segera terbebas darinya. Surga adalah milik kita. "Dan mereka berkata: 'Kami sekali-kali tidak akan disentuh api mraka, kecuali selama beberapa hari saja."[6] Coba Anda simak bagaimana penjelasan al-Quran tentang orang-orang Yahudi tersebut.
Dalam beberapa kitab tafsir disebutkan bahwa pada masa Nabi, orang-orang Yahudi dan Nasrani tinggal di Madinah. Saat itu acap terjadi perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin, orang-orang Nasrani, dan Yahudi. Kaum muslimin mengatakan, kita sekarang telah masuk Islam sehingga Allah memberikan kemuliaan kepada kita. Setiap perbuatan buruk yang kita lakukan akan dimaafkan oleh Allah. Orang Nasrani balik mengatakan, tidak, kamilah orang-orang yang mulia. Demikian pula halnya dengan orang-orang Yahudi.
Coba Anda perhatikan bagaimana jawaban yang diberikan al-Quran berkenaan dengan masalah ini: "Pahala dari Allah itu bukan menurut angan-angan kamu yang kosong dan tidak pula menurut angan-angan ahli kitab. Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu."[7]
Allah tidak membeda-bedakan keberadaan satu kaum dengan yang lainnya. "Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu." Coba Anda simak, bagaimana al-Quran dengan jelas membantah angan-angan yang pada gilirannya menjadi pemicu terjadinya dekadensi di kalangan muslimin tersebut. Al-Quran seakan-akan mengatakan, perbaikilah amal perbuatan kalian!
Kita menyaksikan bahwa di masa para imam, pemikiran semacam ini tersebar luas ke tengah-tengah komunitas Syi'ah. Para imam dengan upaya maksimal memerangi pemikiran tersebut. Saya akan mengutip dua buah cerita yang berhubungan dengan masalah ini. Salah satunya sebagai berikut:
Suatu ketika, khalifah Makmun meminta kepada Imam Ali bin Musa ar-Ridha as untuk menerima jabatan calon pengganti raja (waliy al-‘ahd). Namun beliau menolaknya. Lantaran terus menerus dipaksa, akhimya Imam menerimanya secara lahiriah. Bagi orang yang cermat dalam menganalisis masalah ini, akan diperoleh pemahaman bahwa pada saat Imam Ali Ridha menolak jabatan tersebut, beliau akan dianggap sebagai pembelot sehingga dirinya tidak lagi leluasa dalam bergerak. Kemudian, Makmun membentuk suatu pertemuan yang dihadiri banyak orang, di mana Imam berbicara di hadapan mereka.
Imam Ali Ridha memiliki seorang saudara yang bernama Zaid bin Musa bin Ja'far, yang terkenal dengan julukan Zaid an-Nâr. Zaid bin Musa pernah mengadakan perlawanan terhadap Makmun, namun gagal. Makmun telah memaafkan perbuatannya lantaran dirinya menghormati Imam Ali Ridha. Dalam pertemuan tersebut, Zaid bin Musa juga hadir.
Saat itu, terdapat dua orang yang bernama Zaid putra imam. Selain Zaid bin Musa, ia adalah Zaid bin Ali bin Husain, saudara Imam Muhammad al-Baqir. Di antara keduanya, Zaid bin Ali merupakan orang yang sangat mulia. la (dianggap sebagai) imam oleh para pengikut aliran Syi'ah Zaidiyyah. Pengikut Syi'ah di wilayah Yaman ini meyakini bahwa Zaid bin Ali adalah sosok imam setelah Imam Ali Zainal Abidin as.
Berdasarkan keyakinan kita sebagai penganut Syi'ah Imamiyah dan juga dari berbagai riwayat yang disampaikan para imam, Zaid bin Ali merupakan orang yang sangat mulia dan tidak pernah mengaku sebagai imam. Pengakuan sebagai imam berasal dari orang lain. Namun Zaid an-Nâr berbeda dengannya. Di saat Imam Ali Ridha as berbicara di hadapan masyarakat umum, beliau memperhatikan Zaid yang saat itu tengah duduk di pinggir dan berbicara dengan orang sekitarnya. Imam mendengar Zaid seringkali menyebut kata-kata "kami Ahlul Bait". Maksudnya, "Kami ahlul Bait seperti ini, kami keluarga suci Nabi begitu, begini cara Allah memperlakukan kami Ahlul Bait," dan seterusnya. Zaid banyak membanggakan kemulian-kemulian yang tidak semestinya.
Di tengah-tengah pidatonya kepada khalayak, Imam Ali Ridha memotong pembicaraannya dan memandang ke arah Zaid bin Musa, seraya berkata:
"Wahai Zaid! Omong kosong apa yang kamu sampaikan kepada masyarakat? Keutamaan-keutaman yang kamu sebutkan, apakah kamu kira karena Allah fanatik terhadap kita? Apakah dikarenakan kita sebagai keluarga suci Nabi berarti kita dekat dengan Allah? Jika kamu berkata seperti ini, bahwa karena kita keluarga Nabi, jika melakukan perbuatan buruk, niscaya Allah akan memaafkan. Surga kita sudah dijamin dan kita pasti aman dari siksa neraka. Jika ucapanmu ini benar, berarti kamu lebih mulia dari ayahmu Musa bin Ja'far lantaran engkau telah mendapat jaminan surga. Engkau pasti masuk surga dan ayahmu Musa bin Ja'far juga masuk surga. Ayahmu menghabiskan umurnya dengan beramal, bekerja keras, bersungguh-sungguh dalam berbuat, dan beribadah. Sedangkan kamu hanya menghabiskan umur dengan menganggur. Berdasarkan ucapanmu, seharusnya kamu dan ayahmu Musa bin Ja'far termasuk orang-orang yang didekatkan ke sisi Allah. Jadi kamu lebih mulia dari ayahmu, karena dia menghabiskan umurnya untuk ibadah supaya sampai ke surga sedangkan engkau mencapainya tanpa beribadah."
Untuk menyadarkannya, Imam ar Ridha segera memandang ke arah Wisya', seorang perawi hadis yang berasal dari Kufah. Wisya' termasuk ulama dan ahli hadis Kufah —pada masa itu pemikiran yang keliru dan menyimpang telah tersebar luas di kalangan ulama, di mana Imam Ali Ridha mengetahui hal tersebut dan bermaksud menyinggungnya). Imam berkata kepadanya: "Wisya’! Bagaimana penafsiran penduduk Kufah sehubungan dengan ayat al-Quran yang mengisahkan Nabi Nuh dan putranya. Dalam ayat tersebut Nabi Nuh berseru kepada Allah: "Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar."[8] Kemudian bagaimana kelanjutan firman Allah itu?" Wisya' memahami maksud Imam dan berkata: "Wahai Imam, sebagian ulama di Kufah membaca ayat selanjumya sebagai berikut: "Sesungguhnya ia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya perbuatannya perbuatan yang tidak baik."
Ketika Nabi Nuh as berseru kepada Allah; "Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, ampunilah dia (hati Nabi Nuh merasa iba terhadap putranya, sedangkan anaknya seorang pendosa). Ya Allah perkenankanlah aku menaikkan putraku ke atas bahtera agar ia tidak tenggelam. Kemudian turun ayat yang berbunyi: "Sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya perbuatannya perbuatan yang tidak baik." Wisya' mengatakan bahwa sebagian orang Kufah membaca ayat di atas sebagai berikut: Nabi Nuh as berseru kepada Allah; Tuhanku dia adalah anakku, ampunilah dosanya demi aku. Namun, kemudian penduduk Kufah membengkokan pengertian yang sebenarnya dari ayat tersebut, sehingga seolah-olah Allah mengatakan kepada Nabi Nuh as: "Wahai Nuh! Kamu keliru, dia bukan anakmu. Jika dia memang benar anakmu, Aku akan mengampuninya demi kamu. Aku tidak akan membuat susah seorang Nabi gara-gara perbuatan anaknya. Tapi kamu keliru, dia bukan dari keturunanmu. Dia bukan dari hasil perbuatanmu. Dia bukan putramu. Dia anak orang jahat dan fasik."
Tafsiran seperti ini merupakan penghinaan terhadap kedudukan seorang nabi. Orang-orang akan mengatakan kepada nabi tersebut bahwa istrimu di rumah telah berselingkuh, dan anak yang dilahirkannya bukanlah anakmu.
Wisya' mengatakan bahwa tafsir yang dihasilkan sebagian penduduk Kufah tersebut menjatuhkan nama baik Nabi Nuh as. Imam Ali Ridha mengatakan: "Yang mereka katakan adalah kebohongan." Mereka telah menyimpangkan ayat al-Quran. Ayat yang sebenarnya berbunyi: "...sesungguhnya perbuatannya perbuatan yang tidak baik." la telah melakukan perbuatan yang tidak baik meskipun ia adalah anakmu. Secara genetis, ia memang anakmu. Namun secara maknawi (spiritual), ia tidak termasuk keluargamu. Wahai Nuh, mengapa kamu ingin memberi syafa'at kepada anak yang jahat dan fasik ini? Permohonan Nabi Nuh as agar Allah mengampuni dosa anaknya, tidak terkabul. Dalam riwayat disebutkan bahwa selama bertahun-tahun, Nabi Nuh as meratapi dan menangisi serta memohon ampunan atas permohonannya ini.
Imam Ali Ridha lantas berkata: "Apakah anak Nabi Nuh as bukan putra seorang Nabi? Wahai Zaid, mengapa Allah tidak mengabulkan permohonan seorang Nabi yang menginginkan supaya anaknya diampuni? Bahkan Allah mengatakan perbuatan yang dilakukannya adalah perbuatan yang tidak baik. Apakah kamu mempunyai argumentasi yang lebih baik darinya?"
Pada kesempatan ini, saya juga akan membacakan riwayat lainnya. Dari riwayat sebelumnya bisa diketahui bahwa pada masa itu banyak terjadi penyimpangan terhadap keberadaan hadis dan riwayat.
Seseorang mendatangi Imam Ja'far as seraya berkata: "Orang-orang banyak meriwayatkan hadis dari Anda. Saya ingin mengetahui apakah hadis tersebut benar atau keliru. Hadis tersebut sehubungan dengan masalah wilâyah dan amal perbuatan. Apakah benar Anda mengatakan: 'Jika pengetahuan kamu tentang imâmah sudah benar, maka berbuatlah sekehendak hatimu.'"
Imam Ja'far mengatakan: "Benar, saya pernah menyampaikan hadis tersebut." Lalu orang tersebut menambahkan: "Apakah yang Anda maksud bahwa jika seseorang mengetahui imamnya secara benar, ia boleh berbuat sekehendak hatinya, meskipun dengan berzina dan mencuri?"[9] Imam terkejut mendengar itu. Kemudian beliau berkata: "Celakalah kamu! Seperti inikah kamu memahami ucapan saya? Maksud ucapan saya tidaklah identik dengan yang engkau pahami. Maksud ucapan saya adalah ketika seseorang mengenal imamnya dan mengetahui pengertian imamah secara benar, ia boleh mengerjakan perbuatan baik sekehendak hatinya.
Karena di saat mengenal imam, engkau akan mengetahui bagaimana cara melakukan perbuatan baik. Engkau sudah menemukan prasyarat bagi diterimanya amal perbuatan. Engkau sekarang telah mengenal imam. Engkau mengenal Imam Ali bin Abi Tbalib as, dan Imam Husain as. Kini seluruh perbuatan baik yang ingin engkau kerjakan, kerjakanlah! Kapankah saya mengatakan bahwa pada saat engkau mengenal imam, pada saat itu pula engkau bebas mengerjakan setiap perbuatan jahat dan kefasikan?"
Coba Anda perhatikan, ketika kita merujuk kepada al-Quran, sunah Nabi, dan riwayat para Imam, akan nampak bahwa seluruh amal perbuatan memiliki dasar yang kokoh. Kita juga akan menyaksikan bahwa kebahagiaan manusia amat tergantung pada amal perbuatan. Maksudnya, manusia harus mewujudkan kekuatan yang tersembunyi dalam dirinya.

Penyimpangan Pemikiran

Apabila kita menelaah pemikiran kaum muslimin di abad kontemporer ini, kita akan menjumpai bahwa amal perbuatan telah dilecehkan sedemikian rupa. Amal perbuatan hanya dianggap sebatas formalitas dan konsep belaka. Kita menyaksikan bahwa bangsa kita tidak menaruh perhatian yang serius terhadap amal perbuatan. Umpama, seseorang beranggapan bahwa apabila kelak dirinya meninggal dunia dan kuburannya berdampingan dengan makam Imam Ali Ridha as atau Imam Husain as, maka seluruh dosanya akan terampuni. Apakah pemikiran seperti ini sesuai dengan ajaran Islam? Apakah masyarakat bisa menjamin bahwa jika mereka mengerjakan amal selama hidupnya, dan setelah meninggal dunia dimakamkan di bawah kaki Imam Ali Ridha, maka semua dosa-dosanya akan terampuni dan mereka akan mencapai kebahagiaan abadi di alam akhirat? Jika engkau ingin dimakamkan di bawah kaki Imam Ali Ridha as agar dosa-dosamu terampuni, maka Harun Ar-Rasyid (ahli maksiat) akan terpelihara dari siksa Allah lantaran ia dimakamkan persis di bawah kaki Imam Ali Ridha.
Namun mengapa ketika hendak dimakamkan di atas kepala Imam Ali Ridha as, jasad Harun tidak bisa diletakkan ke dalam liang lahat? Itu dikarenakan Harun dan putranya (Makmun) merupakan orang-orang yang terkutuk. Semua itu merupakan pemikiran yang menyimpang dan mati. Kita telah mengatakan sebelumnya bahwa kita hendak menelaah "upaya menghidupkan kembali pemikiran Islam", yang salah satunya berkenaan dengan masalah "beramal". Pemikiran kita harus hidup dan dinamis. Kita harus memahami bahwa Islam merupakan agama praktik, bukan agama yang berhubungan dengan imajinasi.

Masalah Kekebalan Hukum

Dalam Islam, sama sekali tidak terdapat kekebalan hukum. Dahulu kala, memang terdapat kekebalan hukum bagi sejumlah individu. Bila seseorang melakukan kejahatan dan pihak aparat hendak menangkapnya, ia bisa meminta perlindungan dari tokoh agama yang sangat berpengaruh. Dengan demikian, pihak aparat berwajib tidak akan mampu menangkapnya.
Kejahatan telah dilakukan dan menurut ketetapan undang-undang pelakunya harus dijatuhi hukuman, namun ketika pelakunya berlindung di balik pribadi seorang tokoh berpengaruh, pihak pemerintah tidak akan berani menghukumnya dikarenakan kekebalan hukum yang dimiliki tokoh tersebut. Kadangkala kita menyangka bahwa dalam ajaran Allah terdapat pula konsep kekebalan hukum. Padahal, kekebalan hukum sama sekali tidak termaktub dalam ajaran Islam.
Imam Husain atau Imam Ali Ridha as tidaklah memiliki kekebalan hukum. Bahkan, kekebalan hukum akan bertolak belakang dengan pemikiran Imam Husain dan Imam Ali as. Sepanjang hidupnya, mereka tidak pernah menerima konsep kekebalan hukum. Lantas, apakah setelah wafat (syahid, — peny.), mereka akan menerima konsep tersebut? Jika Anda mempelajari kitab Nahjul Balâghah, Anda akan menjumpai dua perkara yang acapkali disebutkan secara berulang-ulang, yaitu masalah "takwa" dan ""amal shaleh". Anehnya, kita malah menutup mata dari kedua perkata penting tersebut bahkan menolak keduanya. Kita tidak meyakini nilai amal shalih dan ketakwaan. Kita hanya menghabiskan umur tanpa melakukan amal shalih (perbuatan baik), namun kemudian mewasiatkan kepada ahli waris apabila kelak meninggal dunia, kita ingin dimakamkan di Najaf berdampingan dengan makam Imam Ali as. Perbuatan seperti ini jelas tidak dibenarkan dalam Islam.
Saya akan membacakan dua hadis sekaitan dengan masalah di atas. Pada hari pengangkatan kenabian (yaumul bi'tsah), turunlah ayat yang berbunyi: "Dan berikanlah peringatan kepada keluarga dekatmu."[10]
Setelah ayat ini turun, Rasulullah SAWW mengumpulkan anggota keluarga Bani Hasyim dan berkata di hadapan mereka: "Wahai Bani Hasyim! Wahai Bani Muthalib! Janganlah kalian datang kelak pada hari kiamat dengan mengandalkan hubungan kekeluargaan denganku, sedangkan manusia datang pada hari itu dengan membawa bekal amal perbuatan baik mereka. Hubungan kekeluargaan pada hari kiamat tidak akan berguna."
Terdapat pula riwayat lain yang berhubungan dengan putri Nabi, Sayyidah Fathimah az-Zahra as, seorang wanita suci yang disebut Rasulullah SAWW sebagai "bagian dari tubuhku". Berkenaan dengan Sayyidah Fathimah as, Rasulullah SAWW pemah mengatakan: "Wahai putriku Fathimah as, beramallah untuk dirimu sendiri, karena aku tidak bisa membantumu kelak di akhirat. Hubungan kekeluargaan denganku tidak akan bermanfaat pada hari itu. Terimalah ajaran yang aku sampaikan dan amalkanlah. Jangan kamu mengatakan ayahku seorang Nabi. Ucapan 'ayahku seorang Nabi' tidak akan berguna pada hari kiamat. Yang berguna adalah mengamalkan perintah dan ajaran ayahmu."[11]
Anda harus mempelajari biografi kehidupan Sayyidah Fathimah as. Pada saat Anda mengkaji kehidupan wanita suci ini, Anda akan mengetahui bahwa beliau tidak pernah membanggakan diri sebagai putri Nabi akhir zaman.
Terdapat riwayat yang menyebutkan, setiap kali Sayyidah Fathimah as berdiri di mihrabnya untuk menunaikan sholat, tubuhnya senantiasa bergetar. Itu dikarenakan beliau akan menghadap Allah Swt, beliau menangis lantaran takut (siksa) Allah. Setiap malam Jumat, beliau tidak pernah tidur dan menghabiskan malam itu untuk menangis dan meratapi dosa-dosa. Saya juga mempersilahkan Anda untuk menyaksikan kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib as. Saya tidak tahu, mengapa kita seperti ini? Jika amal perbuatan memang tidak ada manfaamya dan tidak menimbulkan pengaruh (dalam menciptakan kebahagiaan), maka Sayyidah Fathimah as lebih layak untuk tidak beramal.
Demikian pula halnya dengan Imam Ali Zainal Abidin as, Imam Hasan as, Imam Husain as, dan Imam Ali bin Abi Thalib as yang setiap tengah malam selalu tenggelam dalam rasa takut terhadap (siksa) Allah. Apa yang menyebabkan semua itu? Apakah Imam Ali as lupa bahwa dirinya merupakan orang yang pertama kali masuk Islam? Apakah Imam lupa kalau dirinya adalah menantu Nabi dan memiliki hubungan batin yang kuat dengan Rasulullah? Inilah ajaran Islam.
Lantaran ajaran Islam telah disampaikan kepadanya dengan benar, maka kendati beliau putra Nabi, namun beliau tidak pernah mengandalkan hubungan nasabnya. la lebih mengedepankan kualitas amal perbuatannya sendiri. Prinsip yang dijunjungnya adalah menjalankan ajaran Nabi.
Inilah salah satu musibah pemikiran yang menimpa kaum muslimin pada permulaan Islam. Akan tetapi, kadar musibah yang menimpa tersebut sangatlah lemah lantaran orang-orang Syi'ah dan sebagian besar penganut Ahlussunnah menentang pemikiran itu (pemikiran bahwa amal tidak memberikan pengaruh dalam menciptakan kebahagiaan manusia, —pent.). Banyak terdapat faktor yang menyebabkan tersebarnya pemikiran yang menyimpang. Sehubungan dengan persoalan ini, ada sejumlah mimpi serta kejadian yang pernah saya kemukakan beberapa kali di sejumlah universitas.
Di kalangan ulama Syi'ah, Muqaddas Ardibili dikenal sebagai ulama yang zuhud dan bertakwa. la termasuk salah seorang tokoh yang berilmu tinggi dan pakar dalam bidang fikih. Syeikh Anshori menyebutnya dengan Muhaqqiq Ardibili. Beliau orang yang sangat bertakwa dan begitu zuhud. Banyak orang yang menuturkan bahwa beliau memiliki berbagai karamah. la merupakan orang yang rajin beramal.
Pernah pada suatu ketika, seseorang melihat Muqaddas Ardilibi dalam mimpinya. Orang tersebut bertanya kepada beliau: "Apa yang Allah lakukan terhadapmu?" Beliau mengatakan: "Allah menyayangiku dan memperlakukanku dengan baik." Kembali orang tersebut bertanya: "Apa yang menyelamatkanmu dari siksa-Nya?" Beliau menjawab: "Saya melihat pasar amal perbuatan begitu sunyi (di hari kiamat)." Apa maksud dari ungkapan tersebut? Bahwa pasar amal perbuatan begitu sepi di hari kiamat, sedangkan Al-Quran menyatakan bahwa di hari kiamat, pasar amal perbuatan manusia sangatlah ramai (pada hari kiamat Allah membeli amal perbuatan manusia, di mana amal perbuatan yang baik dibayar Allah dengan pahala surga dan amal perbuatan buruk akan dibayar Allah dengan siksa neraka. Ungkapan ini merupakan ungkapan kiasan, —pent.). Namun menurut kisah dalam mimpi tersebut, pasar amal perbuatan akan sepi di hari kiamat. Jika pada hari kiamat, pasar amal ,perbuatan bakal sepi, lantas apa yang menjadikannya ramai oleh para pembeli? Pemikiran seperti ini ibarat penyakit yang menggerogoti kulit dan tubuh sedemikian rupa sampai-sampai ia hanya menyisakan tulang belulang. Pemikiran semacam ini justru akan merusak akidah.
Saya juga akan menyampaikan riwayat dari Imam Muhammad Baqir sebagaimana yang tercantum dalam kitab al-Kâfî.
Imam Muhammad Baqir pernah berpesan kepada orang-orang Syi'ah dengan mengatakan: "Sampaikanlah pesanku kepada Syi'ah (pengikut) kami...." Ucapan tersebut mencerminkan bahwa beliau mengetahui adanya pemikiran yang menyimpang yang sedang menyebar di tengah-tengah pengikumya. Beliau mengatakan: "Bukan termasuk pengikut kami, kecuali orang yang wara' (orang yang berhati-hati dalam menjalankan agamanya), orang yang bertakwa, dan orang yang bersungguh-sungguh dalam perbuatannya, berusaha keras, aktif, dan beramal. Selain dari itu tidak kami terima sebagai pengikut kami (Ahlul Bait)."
Dalam kitab Nahjul Balâghah disebutkan adanya seseorang yang mengunjungi Imam Ali as untuk meminta nasihat. Imam mengatakan: "]anganlah kamu menjadi orang yang mencintai akhirat, akan tetapi kamu tidak mau beramal. Janganlah kamu menjadi orang yang mengharapkan taubat namun kamu berangan-angan panjang. Janganlah kamu menjadi orang yang berbicara dengan pembicaraan orang yang tidak memperhatikan dunia, namun dalam perbuatan, kamu beramal layaknya orang yang rakus terhadap dunia dan tertipu olehnya."[12]
Apabila pada hari ini kita meminta nasihat kepada Imam Ali as, beliau pasti akan menyampaikan hal ini. Ucapan Imam yang berbunyi:
"Janganlah kamu menjadi orang yang mengharapkan (kebahagiaan) akhirat tanpa beramal." Maksudnya, seluruh harapan dan angan-angan tak lebih dari kebohongan belaka.
"]angan menjadi orang yang mengharapkan taubat namun kamu berangan-angan panjang." Maksudnya, janganlah kamu mengulur-ulur taubat dan mengatakan bahwa untuk bertaubat belum terlambat dan waktu untuk itu masihlah panjang. Tatkala Imam Ali as mengatakan:
"Wahai manusia, janganlah kamu menjadi orang yang mencintai akhirat akan tetapi kamu tidak mau beramal," beliau kemudian menjelaskan maksudnya dalam ungkapan berikut:
"Janganlah kamu menjadi orang yang berbicara dengan pernbicaraan orang yang tidak memperhatikan dunia, namun dalam perbuatan, kamu beramal layaknya orang yang rakus terhadap dunia dan tertipu olehnya".

Pemikiran Dinamis dan Kejumudan

"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu."[13]
Salah satu persoalan yang disebutkan dalam al-Quran menyangkut topik kematian dan kehidupan. Masalah ini dalam semua tingkatannya dipaparkan dalam al-Quran untuk berbagai macam tujuan dan maksud. Seperti yang berkenaan dengan kehidupan tumbuh-tumbuhan, binatang, juga manusia. Ini bukanlah pembahasan kehidupan secara umum, namun hanya berkenaan dengan jenis tertentu darinya yang kita sebut dengan kehidupan manusia. Sedangkan untuk bagian-bagian kehidupan lain tidak akan kita bahas, mengingat jenis kehidupan manusia lebih banyak dipefhatikan oleh al-Quran.
Banyak orang yang beranggapan bahwa ketika jantung seseorang berdetak, urat syarafnya aktif, urat nadinya berdenyut, dan bisa bergerak, maka ia bisa dikatakan hidup. Dalam keadaan bagaimanakah seseorang dikatakan mati? Pada saat dokter meletakkan stetoskop di atas dadanya dan mengatakan bahwa jantungnya telah berhenti berdetak. Inilah anggapan kebanyakan orang mengenai kematian. Padahal, kehidupan seperti ini bukanlah kehidupan manusia yang sebenarnya. Kehidupan semacam itu tak jauh berbeda dengan kehidupan satwa pada umumnya (zendegi-e hewâni-e ensân). Manusia jelas harus memiliki pula kehidupan yang identik dengan kehidupan semua binatang. Umpama, seekor anj ing. Kehidupannya tentu memiliki ciri-ciri semacam ini; memiliki jantung, urat syaraf, otot-otot, darah yang mengalir, dan anggota tubuh. Namun, al-Quran menerangkan pula adanya jenis kehidupan lain yang khas bagi manusia, yang berbeda dengan kehidupan dalam tingkat binatang. Menurut logika al-Quran, boleh jadi manusia hidup, berjalan di tengah-tengah masyarakat, jantungnya berdenyut, urat syarafnya bekerja, dan darahnya mengalir, namun pada waktu bersamaan (sesungguhnya) dia mati (mati dalam hidup, — pent.). Ungkapan ini berasal dari al-Quran. Dalam sebuah ayat difirmankan: "Supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya)... ."[14]
Keberadaan masyarakat manusia terbagi menjadi dua bagian; masyarakat yang hidup dan yang mati. Al-Quran hanya akan memberikan pengaruhnya kepada orang-orang yang memiliki hati yang hidup. Adapun masyarakat manusia yang hatinya mati sama sekali tidak akan terpengaruh al-Quran.
Lantas, apa sebenamya yang dimaksud dengan kematian dan kehidupan? Dalam ayat lain, al-Quran menjelaskan bahwa setiap bayi yang dilahirkan ke dunia membawa fitrah ketuhanan. Fitrah tersebut adalah fitrah pencari kebenaran, pencari hakikat, dan rasa ingin tahu. Namun dalam diri sebagian orang, cahaya fitrah tersebut padam. Pada saat cahaya fitrah tersebut padam, manusia akan berubah menjadi makhluk yang mati. Bentuk jasmaninya memang masih hidup, namun ruhnya telah mati.
Dalam ungkapannya yang lain, al-Quran menyatakan bahwa orang-orang yang dalam dirinya terdapat kehidupan akan memiliki lahan jiwa (ruh) laksana padang rumput yang subur.
Pada saat al-Quran ditanamkan di dalamnya, ia akan segera tumbuh dan berkembang. Sebelumnya, keberadaan jiwa ibarat tanah atau lahan yang siap ditanami, yang setelah itu berubah menjadi kebun yang rimbun dengan pohon-pohon, tanaman, bunga-bunga, serta berbagai macam tanaman lainnya. Ini sesuai dengan ungkapan al-Quran, yang salah satunya berbunyi: "Dan apakah orang yang sudah mati kemudian kami hidupkan (dengan perantaraan al-Quran)?"[15]
"...dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu ia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia."[16]
Sewaktu berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, ia akan memancarkan cahaya yang terang dan bergerak dalam sinarnya yang benderang.
Apakah orang seperti ini "serupa dengan orang yang berada dalam gelap gulita yang sekali'kali tidak dapat keluar dari padanya?”[17]
Di bagian yang lain, terdapat ayat yang mengklasifikasikan keberadaan komunitas manusia ke dalam dua bagian; komunitas yang hidup dan yang mati. Ayat tersebut menjelaskan bahwa al-Quran merupakan faktor kehidupan dan para Nabi merupakan muhyi (orang yang memberikan kehidupan). Ayat yang saya bawakan pada permulaan pembicaraan ini barangkali merupakan ayat yang paling jelas untuk menerangkan persoalan tersebut. Ayat yang berbunyi: "Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Al-lah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu."[18]
Betapa ungkapan tersebut sangat indah, luar biasa, dan amat jelas pengertiannya! Ayat tersebut mengatakan: "Hai orang-orang yang bEriman dan yang membenarkan Nabi ini (Nabi Muhammad) serta ajarannya, penuhilah seruannya apabila dia menyeru kalian kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kalian."
Islam merupakan ajaran yang memberikan kehidupan bagi umat manusia. Nabi Muhammad datang membawa kehidupan bagi kalian (umat manusia). Kini kalian tengah berada dalam kematian dan dalam keadaan tidak memahami diri kalian sendiri. Karenanya, tunduklah kalian pada dokter spiritual ini agar mengetahui bagaimana ia memberikan kehidupan kepada kalian.
Apa arti kehidupan? Kehidupan memiliki arti penglihatan dan kemampuan. Pada titik inilah letak perbedaan kehidupan dan kematiah.
Setiap kali tingkat penglihatan dan kemampuan berubah menjadi lebih besar, maka kehidupan pun akan menjadi lebih besar. Mengapa kita menyebut Tuhan dengan nama Hayyun (Zat Yang Maha Hidup)? Seperti dalam ayat:
"Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia Yang Maha Hidup kekal lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya"[19] atau ayat yang berbunyi: "Dialah Zat Yang Maha Hidup dan tidak pernah mati".[20]
Mengapa kita katakan Allah Maha Hidup? Apakah yang dimaksud dengannya adalah bahwa Tuhan memiliki jantung dan darah yang mengalir? Bukan, bukan seperti ini pengertian dari hidupnya Tuhan. Allah tidak memiliki jantung, urat, darah, dan tubuh.



Makna dan Syarat-syarat Kehidupan

Apakah yang dimaksud dengan hidup adalah bernafas dan menghirup udara? Semua itu bukanlah pengertian dari hidup, melainkan sebagai syarat-syaratnya. Arti hidup itu sendiri adalah penglihatan yang berarti pengetahuan dan kemampuan. Dari aspek inilah kita dapat katakan bahwa Allah Hayyun (Maha Hidup), Maha Mengetahui, dan Maha Kuasa secara absolut. Kita menyebut Allah Maha Hidup yang memberikan kehidupan dari Zat-Nya yang Suci. Dia Maha Lembut, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dengan begitu, hidup identik dengan pengetahuan dan kemampuan. Ajaran Islam adalah ajaran pengetahuan dan kemampuan. Ajaran inilah yang telah diterapkan selama berabad-abad. Islam agama kehidupan. Dan agama kehidupan tidak identik dengan ketidaktahuan dan kelemahan.
Hal ini bisa dijadikan perbandingan untuk memahami Islam. Dalam pertemuan sebelumnya, (telah saya kemukakan) bahwa salah satu unsur kehidupan dalam pemikiran Islam adalah beramal. Islam mengharuskan seseorang untuk berusaha dan berupaya gigih. Dalam ajaran Islam dijelaskan bahwa takdir manusia amat bergantung dari amal perbuatannya. Maksudnya, manusia bergantung pada dirinya sendiri. Islam mengatakan, wahai manusia, kebahagiaan kamu tergantung pada amal perbuatanmu, demikian pula dengan kesengsaraan kamu, juga bergantung kepadanya. Apakah perbuatan manusia bergantung pada sesuatu? Perbuatan manusia bergantung pada keinginan dan kehendaknya sendiri. Kesimpulannya, manusia adalah makhluk yang bergantung pada diri dan perbuatannya sendiri, yang darinya ia akan memiliki kepribadian sendiri. Apakah kalian berpikir al-Quran sekadar bergurau saat mengatakan:
"Dan bahwasannya manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya."[21]
Diri manusia sendirilah yang menjadi faktor penggerak, kebangkitan, penglihatan, dan kemampuan.

Rasa Percaya Diri

Pada masa sekarang, pakar pendidikan telah berusaha keras untuk menumbuhkan rasa percaya diri manusia. Rasa percaya diri yang ditumbuhkan Islam adalah menghilangkan harapan yang tidak berasal dari perbuatannya. Apabila seseorang hendak mewujudkan harapannya, ia harus mengusahakannya sendiri. Seperti inilah keterkaitan antara manusia dengan segala sesuatu maupun manusia lainnya. Keterkaitan itu terjadi melalui amal perbuatan. Anda tidak bisa menyatu dengan Imam Ali bin Abi Thalib as atau dengan Sayyidah Fathimah as kecuali melalui amal perbuatan. Maksudnya, Islam menutup semua pintu keterkaitan dan hubungan dengan Rasulullah SAWW dan Ahlul Baitnya, kecuali melalui pintu beramal.
Saya teringat sebuah hadis Nabi yang pernah saya baca sekitar 17-18 tahun silam. Hadis tersebut membuat saya sangat terkesan. Saya benar-benar melihat kehidupan Nabi nampak sebagai sebuah gambaran kehidupan yang luar biasa, yang tak seorang pun memiliki gambaran kehidupan dan sisi-sisi keagungan seperti itu. Ketika seseorang berpikir dan melihat bagaimana orang yang buta huruf yang hidup dalam lingkungan jahiliyah bisa melontarkan berbagai kalimat yang sedemikian indah dalam hidupnya, tentu ia akan hanyut dalam kekaguman dan mengakui bahwa itu merupakan perbuatan yang luar biasa.
Hadis ini telah saya ungkapkan pula dalam kitab Dastân-e Rastân (telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul, Orang-orang Bijak, peny.). Dalam hadis tersebut dikatakan:
Pada suatu ketika, Nabi melakukan perjalanan bersama para sahabatnya (dalam riwayat tidak di sebutkan perjalanan yang mana). Setelah memasuki waktu Zhuhur, beliau memerintahkan kafilah untuk turun. Para sahabat kemudian turun dari tunggangannya, dan Nabi pun juga turun dari ontanya. Beliau kemudian pergi menuju ke suatu arah. Para sahabat berpikir bahwa Nabi akan melakukan sesuatu. Semua sahabat segera turun dari tunggangan masing-masing. Setelah agak jauh dari ontanya, para sahabat melihat Nabi kembali. Para sahabat menduga, Nabi tidak merasa cocok dengan tempat tersebut dan akan memerintahkan mereka pergi mencari tempat lain. Namun, tatkala kembali ke tunggangannya, Nabi tidak berbicara apapun kepada mereka. Para sahabat melihat Nabi membuka tempat perbekalannya yang menggantung di punggung ontanya dan serta merta mengeluarkan seutas tali. Kemudian beliau mengikat ontanya dan kembali menempuh arah sebelumnya. Para sahabat terheran-heran melihat Nabi kembali hanya untuk mengikat ontanya. Padahal, itu merupakan pekerjaan yang sepele! Mereka bertanya: "Wahai Rasulullah, jika kamu kembali hanya untuk melakukan pekerjaan ringan ini, mengapa engkau tidak menyuruh kami? (Mereka merupakan para sahabat setia yang apabila Rasulullah menyuruhnya menyeberangi lautan api, mereka pasti akan melakukannya. Kebanggaan mereka adalah menjalankan perintah Rasulullah). Mereka juga mengatakan: "Wahai Rasulullah, untuk pekerjaan remeh ini, mengapa engkau tidak memberikan perintah, padahal kami pasti akan melakukannya?" Beliau menjawab: "Hendaknya kalian jangan minta tolong orang lain dalam melakukan pekerjaan sekecil apapun meskipun hanya untuk mengambilkan sikat gigi (siwak)."
Lakukanlah pekerjaan yang bisa kalian lakukan dan jangan sampai menginginkan orang lain untuk melakukan pekerjaanmu. Lihat, betapa indahnya ungkapan tersebut! Jika kata-kata Nabi ini diucapkan di atas mimbar, tentu itu tidak akan menimbulkan pengaruh apa-apa. Beliau mengucapkan kalimat ini sambil mempraktikkannya. Tujuan saya menyampaikan ini adalah ingin mengingatkan bahwa salah satu pilar dari ajaran Islam adalah menghidupkan pemikiran Islam. Salah satunya adalah dengan beramal dan bergantung pada amal sendiri. Saya juga ingin menyampaikan materi yang berhubungan dengan moralitas serta beberapa dasar pendidikan Islam lainnya.
Masalah pendidikan merupakan masalah yang sensitif dan rawan. Maksudnya, apabila masalah ini diajarkan dengan baik dan benar, maka akan timbul hasil yang sangat luar biasa. Namun jika sedikit saja terjadi penyimpangan, maka secara seratus persen, ia akan menimbulkan pengaruh yang sebaliknya. Sejauh yang saya telaah, khususnya dengan bersandar pada perspektif al-Quran, ternyata hampir sebagian besar pengajaran moral dan pendidikan Islam dilakukan secara terbalik dan menyimpang, sehingga berpengaruh besar terhadap pemikiran kaum muslimin dewasa ini.

Tawakal, Konsep Pemberi Hidup dan Semangat

Konsep tawakal merupakan konsep akhlak dan pendidikan Islam. Pada dasarnya, Islam menghendaki kaum muslimin untuk bertawakal kepada Allah. Jika Anda mengkaji masalah tawakal dalam al-Quran (saya senantiasa mencatat ayat al-Quran yang bicara tentang ketakwaan), maka Anda akan menjumpai keserasian yang luar biasa di dalamnya. Dalam al-Quran, konsep tawakal disebut sebagai konsep yang menganugerahkan hidup dan semangat kepada manusia. Setiap ayat yang memerintahkan manusia untuk beramal dan menghilangkan rasa takut, senantiasa dibarengi dengan ungkapan: "...jangan takut dan bertawakallah kepada Allah". Bergantunglah kamu kepada Allah dan melangkah majulah ke depan. Bergantunglah pada Allah dan sampaikanlah kebenaran. Bergantunglah pada Allah dan janganlah gentar menghadapi musuh yang banyak jumlahnya.
Jika Anda mempelajari konsep tawakal di tengah-tengah pemikiran kaum muslimin pada jaman modern ini, Anda akan menjumpainya sebagai konsep yang mati dan kering. Kita hanya mulai bertawakal tatkala kita menginginkan kehidupan yang tenang, tidak memiliki aktivitas, dan menjauhkan diri dari tanggung jawab. Padahal, konsep tawakal yang benar harus sesuai dengan apa yang diajarkan al-Quran. Saya harus diberi kesempatan untuk membacakan ayat-ayat tentang ketakwaan untuk Anda secara satu-persatu, serta membuktikan bahwa konsep tawakal dalam al-Quran merupakan konsep yang luar biasa. Konsep yang memberikan semangat dan kehidupan, yang merupakan manifestasi dari ayat di bawah ini:
"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu."
Terdapat konsep lain yang akan saya kemukakan pula pada pertemuan kali ini.

Pengertian Zuhud

Tidak ada istilah dalam al-Quran yang menyatakan bahwa manusia harus bersikap zuhud. Istilah tersebut hanya terdapat dalam hadis Nabi dan ucapan para imam suci." Kendati tidak diragukan lagi bahwa inti pengertian dari zuhud juga terkandung dalam al-Quran. Namun, secara khusus, pengertian zuhud banyak disampaikan dalam berbagai ucapan Amirul Mukminin Ali as.
Istilah zuhud telah sangat populer di kalangan kita. Namun, jika kita ingin mencari orang zuhud yang sesuai dengan kriteria hadis dan riwayat, tentunya kita akan sangat kesulitan. Yang kita jumpai dalam kenyataan malahan akan amat berbeda. Julukan zuhud acapkali dinisbahkan kepada banyak individu secara sembarangan. Kadangkala, seseorang mengatakan bahwa si fulan adalah orang yang sangat zuhud. Namun, pada saat kita telusuri orang tersebut, akan nampak kenyataan bahwa ia hanya menjalani kezuhudan secara negatif. Artinya, ia termasuk orang yang hanya merasa puas dengan kehidupan yang dijalaninya. Karenanya, kita lantas mengatakan bahwa orang yang merasa puas dalam kehidupannya disebut sebagai orang zuhud. Padahal, pengertian zuhud yang sebenarnya bukanlah seperti ini.
Salah satu prasyarat kezuhudan adalah merasa puas dengan kehidupan pribadi yang dijalani dan dimilikinya. Pengertian semacam ini memiliki makna filosofis yang sangat mendalam. Namun, temyata tidak setiap orang yang merasa puas dengan apa yang dimilikinya bisa disebut sebagai orang yang zuhud.
Kezuhudan berkaitan erat dengan harta, materi, dan kedudukan duniawi. Jika Anda bertanya, apakah dalam pandangan Islam, keberadaan harta dan materi merupakan sesuatu yang baik atau buruk? Jawabannya jelas tergantung pada tujuan penggunaan harta dan materi? Kekayaan merupakan kekuasaan.
Demikian juga dengan kedudukan. Apa tujuan dan maksud yang Anda inginkan dari kekuatan tersebut? Anda adalah anak Adam, hamba sahaya, dan tawanan hawa nafsu sendiri. Apakah kekuatan berupa harta dan materi akan Anda gunakan untuk memuaskan hawa nafsu pribadi? Jika Anda telah menjadi tawanan hawa nafsu, Anda akan diatur dan didikte olehnya. Anda akan menjadi rakus terhadap harta dan kekayaan. Anda juga akan menjadi seseorang yang gila pangkat dan kedudukan. Demikian seterusnya. Segala sesuatu yang digunakan semata-mata untuk memenuhi selera hawa nafsu merupakan keburukan.
Namun, jika Anda mulai memperbaiki diri, tidak menjadi penyembah berhala hawa nafsu, menjauhkan egoisme dari dalam diri, memiliki tujuan sosial, menjadi seorang religius yang taat pada Tuhan, maka harta dan kekayaan yang merupakan kekuasaan, akan Anda gunakan untuk tujuan suci dan mulia. Ini merupakan ibadah. Begitu pula jika Anda menginginkan pangkat dan kedudukan demi maksud-maksud spiritual. Apa yang saya kemukakan ini bukanlah berasal dari pribadi saya sendiri, melainkan ungkapan dari Imam Ja'far Shadiq as.
Pada masa Imam Ja'far Shadiq as, banyak bermunculan ulama zuhud yang bodoh. Mereka berdebat dengan Imam Ja'far.as tentang masalah zuhud. (Imam Ja'far mengatakan): "Jika pengertian zuhud seperti yang kalian sampaikan, lantas bagaimana dengan Nabi Yusuf yang menurut al-Quran adalah Nabi dan hamba Allah yang shalih. Mengapa ketika terbukti tidak bersalah dan dikeluarkan dari penjara, Nabi Yusuf malah berkata kepada penguasa Mesir:
"Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan."
Ternyata Nabi Yusuf menghendaki jabatan tinggi dalam pemerintahan. Beliau mengatakan: "Serahkanlah padaku seluruh pengaturan keuangan yang ada." Mengapa al-Quran menceritakan kisah Nabi Yusuf tersebut dan tidak menganggap tindakannya sebagai sebuah tabu? Lagi pula, mengapa al-Quran tidak menyatakan beliau sebagai orang yang rakus dunia? Semua ini dikarenakan Nabi Yusuf bukan penyembah materi. Sejak awal kehidupannya, beliau telah menjadi penyembah Allah, bukan seorang hedonis atau penyembah harta dunia. Segenap pangkat dan jabatan yang dikehendaki Nabi Yusuf as akan digunakannya untuk mencapai tujuan-tujuan spiritual dan religius. Dikarenakan menghendaki tujuan spiritual dan religius, maka apa yang beliau lakukan tidak bisa disebut dengan upaya mencari pemenuhan kepentingan duniawi. Sebaliknya, upaya beliau justru ditujukan untuk kepentingan eskatologis (ukhrawi atau keakhiratan).
Masalah Kedudukan Penguasa Zalim

Para ulama Islam mengatakan bahwa kedudukan (wilayah) penguasa zalim hukumnya haram. Seseorang yang hendak mengabdi pada pemerintah zalim sesungguhnya telah melakukan kejahatan dan dosa besar. Namun, apabila seseorangmenerima kedudukan tersebut dengan tujuan menyelamatkan orang-orang tertindas, tentu itu bukanlah perbuatan dosa. Bahkan berdasarkan fatwa sebagian ulama, perbuatan tersebut tergolong mustahab (sunah). Lebih dari itu, menurut pendapat sebagian ulama lainnya, hukumnya malah wajib. Menerima kedudukan dari pemerintah zalim untuk mengabdi (pada masyarakat), menentang kezaliman, dan menyelamatkan orang-orang tertindas bukanlah perbuatan yang haram. Bahkan, sebagaimana tadi dikemukakan, menurut sebagian pendapat, mengupayakan hal tersebut hukumnya wajib atau mustahab.
Demikian pula dengan kepemilikan harta kekayaan. Untuk tujuan apakah Anda mengumpulkan harta kekayaan? Apa tujuan Anda mencari kekuatan ini? Pada saat moralitas Anda sudah terbina, dan Anda membutuhkan hal itu demi mencapai tujuan spiritual yang mulia, Anda harus melakukannya! Jika tidak, berarti Anda telah berbuat dosa!

Kezuhudan Cermin Kekuatan Jiwa

Islam merupakan pendukung kekuatan: kekuatan jiwa dan ekonomi. Islam merupakan pendukung kekuatan jiwa. Dengan demikian, sebagai orang muslim, Anda harus kokoh dari segi akhlak dan moral. Anda tidak boleh memfokuskan diri pada materi. Anda tidak boleh menjadi hamba sahaya serta tawanan materi. Betapa agung ucapan Amirul Mukminin: "Kezuhudan semuanya terletak di antara dua kata dalam al-Quran."[22]
Imam Ali as menafsirkan kezuhudan dari sisi kekuatan jiwa dengan mengatakan: " Allah menjelaskan dalam al-Quran: '(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu bergembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu."[23]
Saat Anda secara spiritual telah mencapai kedudukan ini, yakni Anda dianugerahi seluruh ihwal kehidupan duniawi, Anda tidak serta merta menjadi budak hawa nafsu. Dan apabila seluruh ihwal kehidupan duniawi direngut, Anda tidak merasa kalah dan frustasi. Dalam kondisi seperti ini, Anda disebut sebagai orang yang zuhud. Islam mendukung dua jenis kekuatan; kekuatan yang berhubungan dengan kezuhudan dan keduniawian. Jiwa kita harus tegar sehingga tidak diperbudak oleh harta dan kekayaan dunia. Dari perspektif ekonomi, kita harus bekerja keras untuk mencari harta dan kekayaan. Namun upaya tersebut harus didasari oleh tuntunan syariat sehingga kita bisa benar-benar memanfaatkan kekuatan materi dan ekonomi.
Ketika mengetahui bahwa Islam mendukung kekuatan tersebut (moral dan ekonomi), Anda bisa melihat bahwa sesungguhnya kita tergolong orang-orang zuhud yang mendukung sekaligus memiliki kelemahan (terhadap kedua faktor tersebut, —peny.).
Apabila kita menjadi orang zuhud yang senantiasa menjauh dari ekonomi dan kekayaan, itu artinya kita lebih memilih kelemahan. Masyarakat yang tidak memiliki kekayaan, tidak akan mampu melaksanakan tugas-tugas ekonomi dan harus mengulurkan tangan untuk mengemis kepada orang lain. Kita juga mempunyai kelemahan dari sisi moralitas. Sebab, pada saat mendidik diri untuk menjauh dari harta dan kehidupan dunia, kita menyangka bahwa diri kita sudah menjadi zuhud. Namun, tatkala kehidupan dunia menghampiri mereka, kita akan saksikan bagaimana mereka mengabaikan nilai-nilai kezuhudan. Kita menyadari bahwa kita tidak memiliki kemampuan dari segi ruhani maupun ekonomi. Jadi, kezuhudan dalam Islam merupakan kekuatan dan kemampuan jiwa. Dengan kekuatan dan kemampuan tersebut, harta, kekayaan, dan segala hal yang bersifat duniawi, tidak akan berbahaya jika berada dalam genggaman Anda. Bahkan semua itu akan menjadi kekuatan Anda.
Beberapa ulama pernah mengunjungi Imam Ja'far dan menentang pendapat beliau. Padahal, mereka sesungguhnya tidak memahami filsafat kezuhudan. Mereka mendengar bahwa Imam Ali bin Abi Thalib merupakan orang yang zuhud pada jamannya. Mereka menyangka Imam Ali mendukung orang yang hidup dengan berpakaian compang-camping dan memakan roti kering. Mereka tidak memahami filsafat memakan roti kering. Imam Ja'far kemudian memberi penjelasan sampai mereka memahami filsafatnya. Mengapa Imam Ali hidup zuhud? Sebabnya, beliau ingin menjadi manusia. Imam Ali bukan orang zuhud yang hanya duduk-duduk di sudut ruangan. Beliau bahkan menganggap pengucilan diri bukan sebuah kezuhudan.
Dalam kehidupannya, Imam Ali as senantiasa berbaur dengan masyarakat dan melakukan berbagai kegiatan sosial serta memproduksi kekayaan melebihi siapapun. Namun, beliau tidak menggenggam kekayaan tersebut di telapak tangannya. Beliau mengumpulkan harta, namun tidak menyimpannya. Pekerjaan produktif manakah yang tidak dikerjakan Imam Ali pada masa itu? Beliau melakukan perniagaan, bercocok tanam, berkebun, menanam pohon, dan menggali lubang. Beliau juga ahli dalam bidang kemiliteran. Namun pada waktu yang bersamaan, beliau merupakan orang yang zuhud. Imam Ali pernah bekerja di kebun-kebun kota Madinah milik ahli kitab dan non-muslim. Beliau bekerja, membantu, dan memperoleh gaji dari mereka. Kemudian beliau menukar upah yang didapatkan dengan roti. Terkadang beliau membawa gandum dan tepung ke rumahnya. Kemudian Sayyidah Fathimah sendiri yang menggiling gandum tersebut dan memasaknya. Mereka pernah didatangi orang-orang yang membutuhkan, yakni orang miskin, anak yatim, dan tawanan perang. Imam Ali as merupakan pribadi yang lebih mementingkan orang lain ketimbang dirinya. Tanpa pikir panjang lagi, beliau akan segera memberikan santapannya. Seperti inilah kezuhudan Imam Ali. Orang zuhud seperti inilah yang harus Anda jumpai.
Dalam kezuhudannya, Imam Ali senantiasa menyertakan dirinya dalam kedukaan (orang lain, —peny.). Menyertakan diri dalam kedukaan (orang lain) merupakan keadaan yang manusiawi. Kendati memperoleh gaji negara, namun beliau tidak memanfaatkan semuanya demi memenuhi kepentingan pribadi. Beliau hanya mengambil sedikit haknya dari baitul mal (kas negara). Meskipun demikian, beliau tetap merasa puas. Ketika makan, beliau tidak sudi perutnya berada dalam keadaan kenyang. Mengapa? Karena jiwa, hati, dan nuraninya tidak mengizinkan beliau untuk berbuat demikian. Beliau berkata: "Apakah saya akan berbaring dengan perut kenyang sementara di sekitar saya mungkin ada orang yang resah dan gelisah lantaran perut yang lapar dan dahaga? Atau apakah saya akan menjadi seperti yang dikatakan sang penyair,
Cukuplah bagi Anda untuk punya suatu penyakit,
bahwa Anda berbaring dengan perut penuh,
sementara di sekitar Anda,
mungkin ada orang yang sangat mermdukan kulit kering."
Beliau tidak hanya memperhatikan para tetangga, namun juga keseluruhan umat manusia. Dalam hal ini, beliau sering mengatakan: "Dan keserakahan membawa saya untuk memilih makanan yang bagus-bagus, sementara di Hijaz atau di Yamamah (dekat teluk Persia), mungkin ada orang yang tak mempunyai harapan untuk mendapatkan roti, atau tidak memiliki cukup makanan untuk dimakan sampai kenyang." Inilah pengertian zuhud yang sesungguhnya. Apabila Anda menjumpai orang seperti ini, maka kemanusiaan akan bangga terhadapnya. Bukan seperti kezuhudan yang kita jalani; kezuhudan yang mati dan tak bergerak serta menganggap diri sendiri sebagai zuhud. Kezuhudan bukanlah seperti ini. Kezuhudan (sejati) identik dengan kezuhudan Imam Ali as. "Apakah saya akan berbaring dengan perut kenyang sementara di sekitar saya mungkin ada orang yang resah dan gelisah karena perut yang lapar dan haus? Atau apakah saya akan menjadi seperti yang dikatakan sang penyair,
Cukuplah bagi Anda untuk punya suatu penyakit,
bahwa Anda berbaring dengan perut penuh,
sementara di sekitar Anda,
mungkin ada orang yang sangat merindukan kulit kering.
Kita harus menjalani kezuhudan sebagaimana yang dipraktikkan Rasulullah SAWW. Meskipun berada di senja usianya, Rasulullah tetap memiliki kekuatan dan hatinya tetap hidup. Beliau orang yang lebih mengutamakan orang lain dan memiliki sifat pemaaf. Dikarenakan itulah, diturunkan ayat yang khusus diperuntukkan bagi beliau. Ayat tersebut berbunyi: "Janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal."[24] (Maksud ayat tersebut, "janganlah kamu terlampau kikir, dan jangan pula terlampau pemurah, —pent.)
Pada suatu ketika, Rasulullah tidak datang (ke masjid) di waktu shalat. Setelah itu diketahui bahwa tatkala waktu shalat akan tiba, seseorang yang tidak mengenakan pakaian mendatangi rumah beliau SAWW. Saat itu, Nabi SAWW tidak memiliki apapun kecuali baju kasar yang melekat di tubuhnya. Namun, beliau tetap memberikannya kepada orang tersebut. Dikarenakan itulah, Nabi menjadi berhalangan untuk datang ke masjid. Inilah bentuk kezuhudan dan kemanusiaan.
Rasulullah menyuruh seseorang membeli baju untuk beliau. Orang itu kemudian membeli baju yang cukup bagus seharga dua belas dirham. Setelah itu, ia segera kembali. Rasulullah SAWW memandang ke arah orang tersebut seraya mengatakan: "Saya lebih puas mengenakan pakaian yang lebih murah dari ini." Kemudian Rasulullah sendiri yang pergi menukarkan kembali pakaian tersebut dengan yang lebih murah. Di tengah jalan, beliau menjumpai seorang budak perempuan kecil yang sedang menangis. Kemudian Rasul menghampirinya dan berkata: "Mengapa kamu menangis?" Gadis kecil itu menjawab: "Saya telah menghilangkan uang majikan saya." Rasulullah segera memberinya empat dirham, lalu pergi. Dengan uang sebanyak empat dirham, Rasulullah membeli dua buah baju yang salah satunya diberikan kepada orang yang membutuhkan. Dalam perjalanan pulang, Rasulullah melihat budak perempuan kecil tadi masih duduk dan menangis. Rasulullah kembali bertanya: "Mengapa kamu masih menangis?" Dia menjawab: "Karena terlambat, saya tidak berani pulang ke rumah, mereka pasti akan memukuli saya." Beliau berkata: "Saya akan mengantarmu pulang." Setelah gadis kecil tersebut menunjuk pintu sebuah rumah, Rasulullah mengucapkan: "Assalamu 'alaikum, wahai penghuni rumah." Kebiasaan Rasulullah ketika hendak masuk rumah orang lain adalah mengucapkan salam (ini juga merupakan perintah al-Quran yang melarang masuk ke rumah tanpa izin). Sebagimana sikap kita (orang-orang Iran, —pent.) yang senantiasa mengucapkan: "Ya Allah." Ucapan tersebut merupakan zikir. Alangkah baiknya jika ingin memberi tahu orang lain, kita mengucapakan kata "ya Ilahi".
Rasulullah kemudian mengeraskan ucapan salamnya. Mendengar suara Nabi, hati penghuni rumah tersebut berdebar-debar. Rasulullah kembali mengucapkan salam, namun penghuni rumah tidak juga menjawabnya. Sampai pada salam yang ketiga, akhirnya mereka menjawab: "Wa'alaikassalam ya Rasulullah. Silahkan masuk." Rasulullah bertanya: "Apakah kalian tidak mendengar salam pertama saya?" Mereka menjawab: "Ya, kami mendengar, namun kami ingin Anda mengulangi ucapan salam, karena hal itu memberi berkah kepada keluarga kami. Apabila kami menjawab salam pertama Anda, maka kami tidak akan mendapatkan (berkah) salam kedua dan ketiga. Karena kami tahu bahwa Anda akan mengucapkan salam sebanyak tiga kali, dengan sengaja kami tidak menjawab salam Anda." Rasulullah memasuki rumah tersebut seraya berkata: "Kedatangan saya ingin membantu gadis kecil yang datang terlambat ini. Semoga tidak merepotkan kalian." Mereka berkata: "Wahai Rasulullah, dikarenakan kedatanganmu, kami membebaskannya." Rasulullah kembali berkata: "Segala puji bagi Allah, dengan dua belas dirham saya memberi pakaian orang yang telanjang dan membebaskan seorang budak!"
Inilah kezuhudan (yang sebenarnya). Inilah filsafat kezuhudan yang Islami, yang membuat hati, kemanusiaan, dan menyertakan diri dalam kedukaan (orang lain) menjadi hidup.

[1] Al-Anfâl: 24.
[2] An-Najm: 39.
[3] Az-Zalzalah: 7-8.
[4] Jâmi' al-Akhbâr, bab XVIII, hal.42; Al-Khishâl, hal.l78-119; Bihâr al-Anwâr, Jilid ke 69, hal. 64-73.
[5] Mafâtih al-Jinân, Bab Ziarah Imam Husain pada Idul Fitri dan Idul Adha.
[6] Al-Baqarah: 80.
[7] An-Nisâ’: 123.
[8] Hûd: 45.
[9] Ushûl al-Kâfî, Jilid IV, hal. 207.
[10] Asy-Syu'arâ`: 214.
[11] Bihâr al-Anwâr, Jilid 43, hal. 38, 54, 76, dan 80.
[12] Nahj Al-Balâghah, Faidh al-Islam, Hikmah ke-142, hal. 1160.
[13] Al-Anfâl: 24.
[14] Yâsîn: 70.
[15] Al-An'âm: 122.
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Al-Anfâl: 24.
[19] Al-Baqarah: 255.
[20] Ibid.
[21] An-Najm: 39.
[22] Nahj al-Balâghah, "Faidhul Islam", Hikmah ke-34, hal. 1291.
[23] Al-Hadîd: 23.
[24] Al-Isrâ`: 29.















 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB IV : ZUHUD DAN KEHIDUPAN DUNIAWI

 

"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu."[1]

Sebagaimana yang telah saya sampaikan, ayat ini menegaskan bahwa ajaran Islam secara keseluruhan menganugerahkan kehidupan dalam semua aspeknya kepada manusia. Ajaran Islam yang telah bersemayam dalam jiwa seseorang akan memberikan semangat, kehidupan, penglihatan, dan gerakan. Atas dasar itu, ajaran yang tidak memberikan pengaruh hidup, bahkan menimbulkan kematian, menghilangkan penglihatan dan gerakan, serta membekukan pemikiran manusia, bukan ajaran yang dimaksud dalam kandungan ayat di atas, dan juga bukan berasal dari ajaran Islam.
Al-Quran menegaskan bahwa ajaran Islam adalah ajaran yang memberikan spirit kehidupan, dan sejarah Islam telah memberikan kesaksian tentangnya. Selama berabad-abad, sejarah Islam telah menunjukkan bagaimana ajaran ini memberikan spirit kehidupan seperti yang diungkapkan al-Quran.
Dewasa ini, seringkali kita saksikan bagaimana pengertian dan konsep Islam yang kita miliki tidak memberikan atau menciptakan kehidupan. Kita harus memperbaiki pandangan kita sehubungan dengan pengertian dan konsep ini. Barangkali kita keliru dalam menggambarkan dan memahami konsep serta ajaran Islam. Pola pikir kita harus segera diperbaiki. Inilah yang dimaksud dengan menghidupkan kembali pemikiran Islam. Pola pikir dan cara pandang kita terhadap Islam harus dibenahi. Perspektif yang kita gunakan selama ini untuk meneropong Islam bukanlah perspektif yang benar. Dengan begitu, perspektif dan pola pemikiran kita harus segera diperbaiki.
Dalam pertemuan sebelumnya , telah saya kemukakan beberapa konsep moralitas Islam, seperti kezuhudan dan ketakwaan. Sedikit banyak, saya telah mencoba menelaah ihwal kezuhudan. Memang, pembahasan tersebut tidaklah lengkap. Masih banyak aspek yang belum ditelaah. Karena itu, saya ingin menguraikan lebih rinci, konsep serta ajaran mendasar tentang Islam, pada malam ini.

Meninggalkan Kehidupan Duniawi

Potret kezuhudan serupa dengan potret keberadaan budak dunia dan pengabaian dunia. Meskipun tidak tertera dalam al-Quran, namun kata zuhud banyak dijumpai dalam ucapan Nabi, perkataan Imam Ali, serta imam suci. Tidak diragukan lagi bahwa kezuhudan merupakan pengertian dan konsep yang suci. Islam senantiasa mengajak manusia kepada kezuhudan.
Dalam sastra Persia dan Arab, masalah kezuhudan acapkali diekspresikan dalam bentuk puisi dan prosa. Persoalannya sekarang, bagaimana kita menggunakan metode pemikiran yang Islami tentang kezuhudan berdasarkan bukti-bukti, dalil-dalil, serta penjelasan al-Quran.
Dari segi bahasa (Arab), istilah zuhud memiliki arti 'tidak suka atau tidak menginginkan'. Jika orang Arab menggunakan kata zahada, itu berarti ia tidak menyukai sesuatu. Zahada fîhi berarti 'tidak menyukai'. Namun, yang pasti, kezuhudan dalam ajaran Islam, kristen, dan non-kristen digunakan sehubungan dengan kehidupan duniawi yang kemudian menjadi terminologi tersendiri.
Orang zuhud secara alamiah tidak menyukai sesuatu. Umpama, orang sakit yang enggan makan, atau orang yang membenci dan tidak menyukai makanan yang manis-manis. Atau juga orang yang dikarenakan memiliki kelainaN seks tidak menyukai wanita. Inikah yang dimaksud dengan orang zuhud? Tak seorang pun yang tidak mencintai kehidupan duniawi berdasarkan naluri alamiahnya. Kezuhudan merupakan salah satu konsep moral. Orang zuhud secara naluriah menyukai kenikmatan materi. Namun, dikarenakan tujuan dan maksud-maksud tertentu, pebuatan dan sikapnya menunjukan dirinya tidak menyukai sesuatu. Maksudnya, ia akan meninggalkan segenap hal yang disukainya demi suatu tujuan. Dalam hal ini, pengertian dari 'mengarahkan jiwa dan pemikiran kepada sesuatu berdasarkan tujuan dan aktivitas' tentu berbeda dengan pengertian 'tidak menyukai sesuatu secara alamiah'. Makna kezuhudan adalah ketidakpedulian terhadap hal-hal yang diinginkan secara alamiah. Inilah pengertian zuhud menurut masyarakat umum.
Kezuhudan menjadikan seseorang meninggalkan sesuatu yang disukai demi suatu tujuan. Sekarang, kita akan menelaah tentang tujuan tersebut serta menentukan pandangan Islam sekaitan dengan masalah ini. Pertama-tama, kita harus melihat apakah Islam menganggapnya sebagai suatu kewajiban atau sekadar mustahab (sunah)? Maksudnya, apakah Islam mewajibkan atau sekadar menganjurkan secara mustahab kepada seseorang untuk menutup mata dari kenikmatan duniawi yang disukainya? Apakah pada dasarnya Islam tidak pernah menganjurkan manusia untuk meninggalkan kenikmatan duniawi demi suatu tujuan?
Anggaplah hal seperti ini terdapat dalam Islam. Namun, timbul suatu pertanyaan, apakah tujuan Islam dalam menganjurkan kezuhudan? Tujuan-tujuan agung apakah yang akan dicapai manusia sehingga harus meninggalkan kenikmatan duniawi?
Tujuan-tujuan apakah yang mengharuskan manusia berpaling dari kelezatan duniawi? Berpaling dari kelezatan duniawi bukan saja dianggap sebagai perbuatan baik, bahkan Islam menerima dan menganjurkan manusia untuk melakukannya. Sebagian orang beranggapan, filsafat kezuhudan menghendaki keterpisahan antara ihwal keagamaan dengan ihwal keduniawian —seperti perdagangan, pertanian, dan industri. Urusan agama hanya berkenaan dengan masalah peribadatan, sedangkan di luar itu (pencarian materi, perdagangan, pertanian, manajemen, dan sebagainya) merupakan urusan duniawi. Apa yang disebut dengan kezuhudan adalah meninggalkan urusan dunia untuk mengurus akhirat. Ini merupakan anggapan yang keliru, lantaran Islam juga menganjurkan manusia untuk menggarap urusan duniawi. Zuhud mencakup semua urusan (baik duniawi maupun ukhrowi). Terdapat dua jenis kezuhudan yang bukan bersumber dari ajaran Islam, melainkan dari agama-agama lain.
Yang pertama adalah bentuk kezuhudan yang memisahkan ihwal keduniawian dengan keakhiratan. Dalam hal ini, praktik kezuhudan memisahkan secara kontras dua bentuk urusan. Sebagian berhubungan dengan keduniawian, seperti mencari nafkah, berdagang, bertani, industri, mencari rezeki, dan memperoleh harta. Semua yang berhubungan dengan kehidupan merupakan urusan duniawi. Harta berhubungan dengan alam kehidupan di dunia (dengan urusan duniawi) dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan alam kehidupan lainnya. Sebaliknya, terdapat pula persoalan yang tidak berhubungan dengan kehidupan dunia. Tepatnya, persoalan tersebut tidak menimbulkan pengaruh apapun terhadap kehidupan duniawi. Inilah yang disebut dengan Ibadah, seperti berdoa, berpuasa, dan membersihkan jiwa. Jadi, kezuhudan berarti meninggalkan kehidupan dunia lantaran ingin menyendiri demi menjalankan urusan keakhiratan (ibadah).
Al-Munjid merupakan buku kamus berbahasa Arab. Ada juga buku lain yang hampir mirip dengannya yakni Aqrobul Mawârid. Bahkan buku al-Munjid banyak menyadur darinya. Dalam al-Munjid, kata zuhud memiliki arti seperti yang telah saya sampaikan, yang pada dasarnya merupakan ajaran orang Nasrani, yakni 'meninggalkan dunia untuk menyepi guna beribadah'. Maksudnya, manusia harus meninggalkan segenap urusan duniawi untuk menyepi dan beribadah. Berdasarkan pendapat ini, urusan dunia terpisah dari urusan akhirat. Segenap hal yang berkenaan dengan kehidupan duniawi tidak berhubungan dengan kehidupan ukhrawi. Yang berhubungan dengan kehidupan ukhrawi disebut dengan ibadah. Dan ibadah sama sekali tidak berhubungan dengan kehidupan duniawi.
Dengan demikian, kezuhudan berarti meninggalkan urusan duniawi untuk mencapai urusan ukhrawi. Untuk menjadi orang zuhud, seseorang harus memutuskan hubungan sosialnya dengan masyarakat. Jalan kezuhudan adalah mengasingkan dan mengucilkan diri, serta rahbaniyyah (persemediaan) dan bertapa. Karenanya, zuhud dalam pengertian semacam ini identik dengan rahbaniyyah yang diajarkan dalam agama Nasrani.
Apakah Islam menerima bentuk kezuhudan seperti ini? Tidak! Alasan untuk ini sudah jelas sekali dan untuk membuktikannya tidak diperlukan dalil atau argumen. Saya pernah menulis buku tentang hijab. Sebagian orang beranggapan bahwa filsafat hijab cenderung pada persemedian (rahbaniyyah). Islam menolak persemedian. Saya telah jelaskan secara mendetail bahwa Islam sama sekali menentang persemedian atau pengucilan diri dari lingkungan masyarakat. Nabi dengan tegas mengatakan: "Tidak ada rahbaniyyah (persemedian) dalam Islam."
Nabi pernah bersabda: "Rahbaniyyah umatku adalah jihad." Islam justru menganjurkan untuk melakukan hal-hal yang dianggap aliran lain sebagai urusan duniawi, bahkan menganggapnya sebagai ibadah. Ada yang mengatakan bahwa kata zuhud tertera dalam al-Quran: "...dan mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada Yusuf."[2]
Saya telah memperhatikan teks suci ini. Kata zuhud memiliki pengertian etimologis maupun terminologis. Dalam ayat ini, kata zuhud merujuk pada makna etimologisnya. Sebagai buktinya, kata zahada fihi memiliki arti 'tidak menyukai' atau 'tidak menginginkan sesuatu'. Ayat ini berbicara tentang Nabi Yusuf. Dikarenakan ketidaktahuannya akan keutamaan Nabi Yusuf, mereka menjual beliau dengan beberapa dirham saja. Kata zuhud secara terminologis tidak terdapat dalam al-Quran. Segenap hal yang dalam pengertian Nasrani merupakan bagian duniawi, dianggap Islam sebagai bagian dari urusan ukhrawi yang dilakukan semata-mata untuk Allah. Islam tidak menyatakan adanya perbedaan antara keberadaan dunia dan akhirat.
Menurut pandangan Islam, perniagaan atau pertanian bisa menjadi urusan duniawi sekaligus ukhrawi, asalkan perbuatan serta tujuannya saling terkait satu sama lain. Jika Anda bekerja dan mencari nafkah, carilah dengan cara yang sesuai dengan syariat Islam. Jika Anda berdagang, janganlah memakan uang riba. Janganlah Anda melakukan tipu daya dalam bertransaksi. Anda harus bersikap adil. Tujuan Anda berdagang adalah untuk menghasilkan kekayaan dan menyelamatkan diri dari kehinaan mengemis. Selain pula bertujuan untuk berbakti kepada masyarakat serta turut meningkatkan kekuatan ekonomi masyarakat. Menurut Islam, sikap semacam ini merupakan ibadah. Bertani dan bekerja termasuk dalam kategori beribadah apabila dilakukan seperti ini. Atas dasar ini, perbuatan tersebut tidak akan keluar dari ihwal keakhiratan. Apabila orang yang memahami dan mencoba mewujudkan tujuan-tujuan Islami, melakukan seluruh perbuatan tersebut, maka ia bisa disebut sebagai orang yang sedang beribadah. Segenap hal yang dianggap ibadah oleh aliran-aliran lain, akan dipandang Islam sebagai bagian dari urusan duniawi. Ibadah shalat dan puasa tidak hanya bernuansa keakhiratan semata, namun juga bernuansa keduniawian. Ibadah doa berhubungan, baik dengan kehidupan ukhrawi maupun kehidupan duniawi. Sebagaimana berdagang dan bertani bisa berhubungan dengan kehidupan akhirat, demikian pula ibadah yang juga bermanfaat bagi kehidupan dunia.
Berdasarkan semua itu, Islam tidak pernah mengartikan kezuhudan sebagai pemisahan antara kehidupan dunia dan akhirat. Tujuan penghalalan dan pengharaman Islam terhadap sesuatu memiliki dua dimensi; untuk kehidupan dunia dan akhirat. Islam mengharamkan, misalnya, minuman keras dikarenakan hal itu berbahaya bagi kehidupan dunia maupun akhirat. Perjudian dan riba hukumnya haram lantaran keduanya membahayakan kehidupan dunia dan akhirat. Saya mempersilahkan jika Anda ingin menganggap hal tersebut semata-mata sebagai urusan duniawi. Semua itu merupakan makna kezuhudan dalam pandangan Nasrani yang tidak sesuai dengan pandangan Islam. Namun sangat disayangkan, kebanyakan dari kita memahami pengertian zuhud sama seperti yang diajarkan agama Nasrani.

Kesimpulan Keliru tentang Zuhud

Kali ini saya akan menjelaskan pengertian lain dari istilah zuhud. Namun, penjelasan saya tidak berkenaan dengan urusan dunia maupun urusan akhirat. Seluruh urusan duniawi merupakan tugas yang harus kita laksanakan. Akan tetapi, kenikmatan duniawi jelas berbeda dengan kenikmatan ukhrawi. Dilema yang timbul darinya adalah, apakah kita harus merasakan kenikmatan duniawi dan menjauhkan diri dari kenikmatan ukhrawi, ataukah kita harus mencari kenikmatan ukhrawi dan menghindarkan kenikmatan duniawi. Pola pikir semacam ini juga keliru. Mereka mengatakan, manusia tidak harus meninggalkan pekerjaan, pencarian nafkah, serta seluruh urusan duniawi. Seseorang harus bekerja dalam rangka menjalankan tugasnya sebagai manusia. Tetapi ia harus berusaha keras untuk tidak menikmati dunia. Apabila ia sampai menikmati dunia, otomatis kenikmatan ukhrawi akan berkurang.
Pada saat manusia merasa bahagia di dunia, pada saat itu pula kebahagiaan ukhrawinya berkurang. Jadi, kita harus meninggalkan kenikmatan duniawi supaya bisa memperoleh kenikmatan ukhrawi. Abu Ali Sina dalam kitab Isyârât, bagian kesembilan, mengatakan: "Orang yang berpaling dari kenikmatan dunia untuk mencapai kenikmatan akhirat, disebut orang yang zuhud." Bagaimana sebenarnya pendapat ini? Apakah benar-benar terdapat konsep ganti rugi kenikmatan? Apakah Islam mengatakan adanya dua macam kenikmatan? Apakah Islam meyakini bahwa bila menikmati kelezatan dunia, manusia akan kehilangan nikmat ukhrawinya? Apakah Islam meyakini, apabila menjauhkan diri dari kenikmatan dunia dan melepaskannya, manusia akan memperoleh ganti rugi (di akhirat)? Dengan kata lain, apakah setiap orang berhak mendapatkan ukuran tertentu dari kenikmatan yang harus dicapai, baik di dunia dan di akhirat? Apakah orang yang telah mendapatkan kenikmatan di dunia, tidak akan kebagian nikmat akhirat? Sebaliknya, apakah orang yang belum memperolehnya ketika di dunia akan mendapat bagiannya di akhirat? Mereka sebenarnya keliru dalam memahami ayat yang berbunyi:
"Kamu telah menghabiskan rezekimu yang baik dalam kehidupan duniamu (saja)..."[3]
Pemahaman semacam ini jelas keliru! Jika dalam kehidupan dunia seseorang menjauhkan diri dari kenikmatan yang terkandung di dalamnya, bahkan melepaskannya, ia tidak akan merasakan kenikmatan duniawi. Dan di akhirat nanti pun, ia tetap tidak akan memperoleh kenikmatan. Kenikmatan ukhrawi diperoleh melalui berbagai faktor lain, dan bukan disebabkan oleh pengabaian kenikmatan duniawi secara sengaja.
Aspek lain dari persoalan ini adalah; apakah dengan menikmati dunia, kita tidak lagi berhak memperoleh kenikmatan lain? Jika memang demikian, berarti Anda harus menanggung nasib buruk, yakni penderitaan di dunia dan juga di akhirat. Keduanya tidak mungkin diperoleh secara bersamaan. Menurut logika Islam, pendapat semacam ini tidaklah masuk akal.
Imam Ali as dalam kitab Nahjul Balaghah mengatakan: "Orang-orang yang takwa kepada Allah telah ikut serta dalam kegembiraan dunia yang fana ini maupun dunia akhirat, karena mereka ikut serta dengan manusia dunia dalam urusan duniawi mereka sementara manusia dunia tidak menyertai mereka dalam urusan akhirat. Mereka hidup di dunia ini dalam cara hidup yang terbaik dan memakan makanan yang paling terpilih dan karenanya mereka menikmati di sini segala yang dinikmati orang yang hidup enak."
Islam telah menjatuhkan vonis haram terhadap sejumlah kenikmatan duniawi. Kenikmatan duniawi yang diharamkan tersebut bisa menjadikan manusia tidak dapat menikmati kelezatan duniawi. Bahkan lebih dari itu, akan menimbulkan akibat buruk bagi kehidupan manusia di dunia. Kenikmatan berzina akan menjadikan manusia kehilangan kenikmatan ukhrawi, bahkan menyebabkan siksa di akhirat. Kenikmatan minuman keras akan menjauhkan manusia dari kenikmatan duniawi. Begitu pula dengan kenikmatan berjudi (jika memang nikmat), menggunjing, berbohong, dan seluruh perbuatan haram lainnya. Lain halnya dengan kenikmatan yang halal. Al-Quran menghalalkan kebahagiaan di dunia. Semua yang membahagiakan, membersihkan, menyucikan, serta tidak membahayakan manusia, akan dihalalkan al-Quran.
Kenikmatan yang diharamkan al-Quran pada hakikatnya bukanlah kenikmatan. Sebaliknya, semua itu merupakan penderitaan belaka. Apabila Anda menganggap minuman keras membawa kebahagiaan dan kenikmatan, maka Anda telah mengabaikan sama sekali seluruh akibat buruk yang akan ditimbulkannya terhadap jiwa manusia, kesehatan tubuh, dan kehidupan masyarakat. Anda hanya melihat kenikmatan berzina yang bersifat temporer, dan tidak memperhatikan akibat buruk yang ditimbulkannya. Al-Quran mengharamkan perzinaan dikarenakan itu merupakan perbuatan keji dan membahayakan. Semua perbuatan yang menimbulkan akibat baik akan dihalakan al-Quran. Dalam hal ini, al-Quran mengatakan: "...dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk...."[4]
Perhatikan dengan cermat, betapa ayat ini mengandung logika yang amat tinggi! Setiap kebahagiaan yang tidak bersifat sementara dan tidak menimbulkan dampak buruk, entah yang berkenaan dengan tubuh, jiwa, serta kehidupan masyarakat, hukumnya halal. Dan setiap hal yang membahayakan, hukumnya haram. Allah berfirman: "Katakanlah: 'Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari AUah yang telah dikeluarkan-Nya. untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?"[5]
"Makanlah di antara rezeki yang baik yang telah Kami berikan kepadamu...."[6]
Jadi, kezuhudan dalam Islam bukan bermakna menutup mata dari kenikmatan duniawi yang halal agar memperoleh ganti rugi kenikmatan di akhirat. Ganti rugi semacam ini tidak pernah ada.

Konsep dan Tujuan Zuhud

Konsep zuhud jelas terdapat dalam ajaran Islam. Dalam pandangan Islam, kezuhudan bukanlah sesuatu yang diwajibkan. la merupakan keutamaan dan kesempurnaan. Namun, keutamaan dan kemuliaan bukanlah tujuan kezuhudan. Dalam beberapa keadaan, Islam menganjurkan manusia menjalani kezuhudan demi tercapainya tujuan atau maksud tertentu. Islam menganjurkan agar manusia tidak menjadi penyembah berhala kenikmatan duniawi dan tenggelam di dalamnya. Kendatipun jika terbenam dalam berbagai kenikmatan yang halal, seseorang tidak akan dianggap telah melakukan perbuatan yang haram. Namun, apabila tidak melakukannya, berarti manusia telah melakukan pekerjaan moral yang agung. Islam tidak menyetujui praktik penyembahan kenikmatan duniawi meski dengan cara yang halal.
Untuk sejumlah tujuan, Islam bisa menerima konsep kezuhudan yang memiliki makna 'menutup mata dari kenikmatan halal duniawi'. Tatkala seseorang berhadapan dengan orang yang lebih memerlukan dan membutuhkan, apa yang mesti dilakukannya? la harus mendahulukan kepentingan orang lain ketimbang kepentingan dirinya sendiri, serta harus bersikap dermawan. Kenikmatan halal yang diperbolehkan baginya, harus diberikan kepada orang lain (yang membutuhkan, —peny.). la tidak akan makan sebelum memberi makan orang lain. Ini bukan berarti ia membuang makanannya dengan harapan di akhirat kelak ada orang yang memberinya makan. Jika tetap melakukan hal seperti itu, kelak ia akan mendapat teguran di akhirat: "Kamu telah melakukan perbuatan bodoh dengan membuang-buang makanan dan menganggap kami akan memberimu makan."
la tidak akan mengenakan pakaian sebelum memberinya kepada orang lain. la juga tidak mau makan sampai orang lain bisa beristirahat dan merasa tenang. la tidak mau merasakan kenikmatan duniawi dikarenakan ingin memberikannya kepada orang lain. Inilah bentuk îtsâr (sikap lebih mementingkan orang lain dari diri sendiri) yang merupakan sifat manusiawi yang sangat tinggi dan agung. Salah satu sikap yang manusiawi adalah îtsâr. Kezuhudan semacam ini merupakan kezuhudan yang benar, bersifat manusiawi, dan bernilai tinggi. Kezuhudan semacam inilah yang dimiliki Imam Ali bin Abi Thalib as. Beliau tidak makan, namun juga tidak membuangnya. Beliau bekerja keras, tetapi tidak memakan upahnya lantaran dibelikan makanan untuk diberikan kepada orang lain. Beliau tidak berpakaian (bagus-bagus, -peny.) agar bisa memberi pakaian kepada orang lain. (Dalam al-Quran disebutkan): "Dan mereka memberi makan yang mereka sukai kepada orang miskin, anak yatim, dan tawanan perang. Sesungguhnya kami memberi makan semata-mata mengharap ridha Allah, serta tidak mengharapkan balasan dan juga rasa terima kasih."[7] Apakah Islam menerima makna kezuhudan semacam ini, yakni berpaling dari kenikmatan duniawi demi mendahulukan kepentingan orang lain? Jelas sekali, Islam akan menerimanya. Akal dan hati siapa yang akan menolak kezuhudan seperti ini? Agama yang tidak menyarankan îtsâr, pada hakikatnya bukanlah agama. Mazhab akhlak yang tidak menganjurkan kezuhudan semacam ini adalah mazhab yang tidak memahami ajaran serta nilai-nilai kemanusian yang pal-ing tinggi.
Semua itu merupakan tujuan filosofis dari kezuhudan yang bisa terima akal dan hati sanubari. Islam menganjurkan kezuhudan seperti ini. Tentang sejumlah sahabat Nabi dari Anshor dan orang-orang mukmin yang tinggal di Madinah, al-Quran mengatakan: "... dan mereka mengutamakan or-ang'Orang muhajirin atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan...."
Imam Ali Zainal Abidin senantiasa berpuasa. Beliau menyuruh para sahabamya untuk menyiapkan santapan. Makanan yang dimasak waktu itu berupa daging kambing. Tak lama kemudian, mereka pun memasaknya. Ketika tiba waktu berbuka puasa, Imam kemudian duduk di hadapan hidangan dan menyuruh budaknya membawa makanan tersebut untuk dibagikan kepada para fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan. Sedangkan untuk keluarganya, beliau hanya menyisakan secukupnya. Dalam pandangan Islam, kebutuhan keluarga harus didahulukan dari diri sendiri dan orang lain. Sekonyong-konyong, datanglah seorang fakir meminta makan kepada beliau. Segera saja Imam Ali Zainal Abidin memberinya makanan yang beliau sisihkan tersebut. Inilah yang disebut dengan perbuatan zuhud yang luar biasa dan bersifat manusiawi. Perbuatan tersebut merupakan implementasi dari filsafat kezuhudan. Islam mendukung kezuhudan seperti ini.
Dalam kezuhudan yang Islami, seseorang harus lebih mengutamakan orang lain dan berempati terhadap segenap duka deritanya. Menyertakan diri dalam penderitaan (orang lain) merupakan salah satu tujuan kezuhudan yang Islami. Orang yang memiliki kemampuan harus mengutamakan kepentingan orang lain. Namun, terkadang, pengutamaan kepentingan orang lain tidak perlu dilakukan. Dalam kehidupan ini, jumlah orang miskin sangat banyak. Pada kondisi demikian, seseorang tak mungkin memberi pakaian yang melekat ditubuhnya kepada mereka semua. Atau tidak bisa memberi makan dan membuat mereka semua kenyang hanya dengan (sedikit makanan) yang dimilikinya. Juga tidak bisa memberi mereka semua uang yang ada dalam sakunya.
Masyarakat yang kebanyakan anggotanya terdiri dari orang-orang miskin, tentu akan menghadapi kondisi perekonomian yang sangat memprihatinkan. Saking miskinnya masyarakat tersebut, sampai-sampai para orang tua akan membiarkan anaknya memakan rumput-rumputan. Apa yang bisa dilakukan seseorang di tengah-tengah masyarakat yang seperti ini? Perbuatan mulia yang bisa dilakukan adalah ikut merasakan (empati) penderitaan orang lain. la harus mengatakan pada dirinya sendiri, banyak saudara-saudara saya yang tidak mendapatkan makanan untuk disantap, mengapa saya harus menyantap (makanan mewah)? Saudara-saudara saya tidak memiliki baju untuk dikenakan, mengapa saya mengenakan baju mewah? Dengan kata lain, sikap kebersamaan dalam kedukaan merupakan bantuan moral yang bisa diberikan seseorang ketika dirinya tidak mampu mengentaskan kemiskinan orang lain secara material. Saya hanya bisa melakukan sebatas ini. Saya berusaha membantu mereka secara moral, bukan secara material. Mendahulukan kepentingan orang lain merupakan bantuan material. Ini juga memiliki makna filosofis.
Dalam berbagai ucapan Imam Ali yang merupakan orang zuhud pertama di dunia, kita bisa menjumpai filsafat tersebut. Imam Ali adalah orang zuhud yang memiliki tujuan. Imam Ali amat mengetahui bahwa sebagai pemimpin umat, beliau memiliki tugas dan keharusan untuk turut merasakan penderitaan orang lain. Apabila tidak bisa membantu orang lain secara material, beliau akan melakukannya secara moral. Beliau tahu betul bahwasannya penderitaan orang-orang lemah berada dalam tanggung jawab para pemimpin. Imam Ali as sering mengatakan: "Saya tidak makan, dan dengan cara ini saya ingin membantu menguatkan jiwa umatku yang lemah. Saya akan katakan: 'Jika kamu tidak memiliki sesuatu untuk di makan, maka saya pun tidak akan memakan makanan yang saya miliki, supaya saya bisa seperti kamu."
Pada kesempatan lain, Imam Ali juga mengatakan: "Allah menjadikanku sebagai Imam atas makhluk-Nya. Saya memiliki tugas khusus yang mana dalam makan dan berpakaian saya harus seperti umatku yang paling lemah. Supaya orang miskin bisa merasa tenang ketika melihat keadaanku dan orang kaya tidak berbuat lalim karena kekayaannya."
Terdapat sebuah cerita dari seorang ulama Syi'ah yang bernama Wahid Bahbahani (Muhammad bin Baqir bin Muhammad Akmal). Beliau merupakan ulama besar dan guru dari Syeikh Mirza al-Qummi, Bahrul Ulum, dan Kâsyifiil Ghithâ'. Beliau kini tinggal di Karbala (Iraq) dan memiliki sekolah agama yang penuh berkah di sana. Beliau memiliki dua orang putra; yang satu bernama Muhammad Ali, penulis kitab Maqoom', dan yang lainnya Muhammad Ismail.
Pada suatu waktu, ulama ini melihat menantu perempuannya (istri Muhammad Ismail) mengenakan pakaian mahal dan mewah. Beliau menegur putranya, seraya mengatakan: "Mengapa kamu membelikan baju seperti itu untuk istrimu?" Dengan jawaban yang jelas, putranya mengatakan: "Katakanlah: 'Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya. dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?"[8]
Apakah ini merupakan perbuatan yang haram? Siapa yang mengharamkan pakaian mewah dan indah? Ulama tersebut mengatakan: "Anakku, ini memang halal, dan saya tidak mengatakan haram. Saya melihatnya dari sisi lain. Saya seorang marja' dan pemimpin umat.
Di tengah masyarakat, terdapat orang miskin dan orang kaya, orang mampu dan orang yang tidak mampu. Ada sejumlah orang yang mengenakan pakaian yang jauh lebih mewah dari ini. Namun, banyak juga anggota masyarakat yang tidak mampu memiliki pakaian mewah seperti ini. Mereka hanya mengenakan pakaian compang-camping. Kita tidak mampu memberikan pakaian yang kita kenakan kepada masyarakat seperti itu.
Kita tidak mampu mengentaskan mereka dari kemiskinan. Namun, satu hal yang bisa kita lakukan, yakni mencoba merasakan penderitaan mereka. Tentu mereka akan memandang kebidupan kita. Ketika diminta oleh istrinya untuk dibelikan baju mewah, seorang laki-laki miskin bisa menenangkan hati istrinya tersebut dengan mengatakan: 'Tak usah kita meniru orang kaya. Biarlah kita menjalani kehidupan seperti istri Syeikh Wahid. Coba kamu perhatikan, istri Syeikh Wahid mengenakan pakaian seperti yang kamu pakai.' Bagaimana jadinya jika keadaan kita seperti orang-orang kaya? Kita tidak akan bisa menghibur hati orang miskin. Dengan alasan inilah, saya mengingatkanmu. Kita harus hidup zuhud. Kita menjalankan kezuhudan dengan merasakan penderitaan orang lain. Kelak, jika orang-orang miskin mengenakan pakaian mewah, kita juga akan memakainya."
Turut merasakan penderitaan orang lain merupakan tugas semua orang. Namun, tugas tersebut harus lebih sungguh-sungguh dijalankan para pemimpin. Kisah yang akan saya sampaikan ini tertulis dalam kitab Nahj al-Balâghah, yang tentunya sudah acapkali kalian dengar:
Setelah perang Jamal berakhir dengan kemenangan, Imam Ali as mendatangi kota Basrah. Amirul mukminin pergi menjenguk keadaan sahabatnya al-'Ala' ibn Ziyad al-Haritsi. Tatkala melihat rumahnya yang besar, beliau berkata: "Apa yang Anda lakukan dengan rumah besar ini di dunia, padahal Anda lebih memerlukannya di akhirat? Apakah Anda hendak membawanya ke akhirat? Di dalamnya, Anda dapat menerima para tamu, bersikap hormat terhadapnya, senantiasa menjalin persaudaran, dan menjalankan semua kewajibanmu berdasarkan besarnya rumah ini. Dengan jalan tersebut, kamu akan membawanya ke akhirat."
Kemudian al-'Ala' berkata kepada beliau: "Ya Amirul Mukminin, saya hendak mengadukan kepadamu tentang saudara saya, 'Ashim ibn Ziyad." Amirul Mukminin bertanya: "Ada apa dengannya?" Al-'Ala' berkata: "la mengenakan baju yang terbuat dari bulu domba (kasar) dan menjauhkan dirinya dari dunia." Amirul Mukminin berkata: "Bawalah ia ke hadapan saya." Tatakala 'Ashim tiba, Amirul Mukminin langsung berkata: "Wahai musuh diri sendiri. Sungguh Iblis telah menyesatkan Anda. Apakah Anda tidak merasa kasihan terhadap istri dan anak-anak Anda? Apakah Anda percaya bahwa jika Anda memakai pakaian yang dihalalkan Allah bagimu, Dia tidak akan menyukai Anda? Karena itu, diri Anda menjadi sangat tidak penting bagi Allah." la berkata: "Ya Amirul Mukminin, Anda pun mengenakan pakaian kasar dan memakan makanan yang keras." Kemudian Imam Ali menjawab: "Celakalah Anda, saya tidak seperti Anda. Sesungguhnya Allah Yang Maha Tinggi mewajibkan kepada pemimpin yang sesungguhnya supaya memelihara diri pada tingkat rakyat yang paling rendah sehingga orang miskin tidak menangis lantaran kemiskinannya."
Hal ini juga merupakan filsafat zuhud lainnya. Apakah Islam menerima sikap mementingkan orang lain dan memberikan bantuan secara material? Apakah Islam juga menerima sikap empati, yakni ikut merasakan penderitaan orang lain dan memberikan bantual moral? Tentu! Islam tentu akan menerima semua sikap tersebut. Sebab, semua itu merapakan perbuatan orang-orang yang memiliki tujuan rasional dan sesuai dengan syariat.
Masih terdapat sejumlah tujuan lain yang terkandung kezuhudan yang Islami. Tujuan-tujuan tersebut, yang akan saya sampaikan dalam kesempatan lain, pada gilirannya akan membentuk kezuhudan sebagai sebuah upaya rasional dan manusiawi.

[1] Al-Anfâl: 24.
[2] Yusuf: 20.
[3] Al-Ahqâf: 20.
[4] Al-A'râf: 157.
[5] Al-A'râf: 32.
[6] Thâhâ: 81.
[7] Al-Insân: 8-9.
[8] Al-A'râf: 32.


 

 

 

 

 

 

 

 

BAB V : FILSAFAT ZUHUD DALAM PANDANGAN ISALAM

 

"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu."[1]

Salah satu ajaran Islam yang memberikan kehidupan adalah konsep kezuhudan. Namun, boleh dikatakan bahwa dewasa ini kezuhudan tampil dalam maknanya yang mati, atau menyimpang serta berubah dari makna aslinya.
Dalam pertemuan sebelumnya, telah saya sampaikan dua macam pengertian zuhud. Kedua pengertian tersebut ternyata tidak relevan dengan ajaran Islam. Arti zuhud adalah perasaan puas dengan kehidupan yang serba sederhana dalam hal makan, berpakaian, dan bertempat tinggal. Dalam semua aspek kehidupannya, orang zuhud akan merasa puas dengan kehidupan yang serba sederhana.
Namun, perbuatannya tersebut harus dilakukan berdasarkan hikmah dan filosofi tertentu, bukan berdasarkan keyakinan bahwa urusan dunia terpisah dari urusan akhirat. Juga bukan didasari pengertian bahwa kenikmatan duniawi dan ukhrawi bersifat kontradiktif dan saling bertolak belakang satu sama lain. Orang menjalani kezuhudan (hidup dalam kesederhanaan) dikarenakan kondisi dan keadaan tertentu yang di hadapinya —sebagaimana yang telah saya kemukakan, hal ini berhubungan dengan masalah mementingkan orang lain (îtsâr).
Tatkala seseorang menjumpai orang miskin yang membutuhkan, sementara dirinya mampu memberikan bantuan serta kebaikan, tentu ia akan segera membantunya. Tindakan ini muncul dikarenakan ia memiliki sikap lebih mementingkan orang lain (terlebih fakir miskin, —peny.) ketimbang dirinya sendiri. Tindakan berkorban demi orang lain semacam itu jelas memiliki kemuliaan serta makna filosofis yang amat dalam. Kenikmatan serta kenyamanan yang dimilikinya dikorbankan demi kenikmatan dan kenyamanan orang lain. Perbuatan semacam ini mendapat pujian dari al-Quran, yang salah satunya tercantum dalam surat al-Insan (hal atâ), yang diungkapkan dengan bahasa yang sangat menyentuh.
Dalam sejarah terdapat kisah yang sangat populer berkenaan dengan sikap mementingkan orang lain. Imam Ali dan keluarganya yang suci memberikan makanan (untuk mereka berbuka puasa, —peny.) kepada orang miskin (pada malam pertama), anak yatim (pada malam kedua), dan tawanan perang ,(pada malam ketiga). Disebabkan nilai keagungan dan pentingnya sifat îtsâr, diturunkanlah ayat yang memuji perbuatan tersebut:
"Dan mereka memberikan makanan yang mereka cintai kepada orang miskin, anak yatim, dan tawanan perang. Sesungguhnya kami memberi makan kalian semata mengharap keridhaan Allah dan kami tidak mengharapkan balasan dari kalian dan ucapan terima kasih."[2]
Mereka justru memberikan makanan yang dibutuhkan pada saat melihat orang lain lebih membutuhkan (seperti orang miskin, anak yatim, dan tawanan perang tersebut). Mereka melupakan diri mereka sendiri dan memberikan makanannya kepada orang lain. Untuk apa semua itu dilakukan? Semata-mata hanya mengharapkan ridho Allah!
Inilah kezuhudan yang memiliki makna filosofis yang agung dan sekaligus menjadi tanda kehidupan jiwa manusia. Sedangkan pengertian zuhud lainnya yang pernah saya sampaikan, tak lebih dari konsep kezuhudan yang mati dan kering kerontang. Kedua konsep zuhud tersebut bersumber dari pemikiran yang keliru serta tidak menunjukkan kehidupan manusia. Mereka menyangka perhitungan dunia dan akhirat terpisah satu sama lain. la tidak menyadari bahwa ibadah yang dilakukannya tidak hanya memberikan pengaruh pada kehidupan akhirat, tapi juga terhadap kehidupan dunia. Sebagaimana berpengaruh bagi kehidupan dunia, ihwal keduaniawian juga berpengaruh kepada kehidupan akhirat. Pemikiran yang keliru telah menjadikan manusia keliru pula dalam melangkah.
Pemikiran tersebut akan membentuk manusia menjadi makhluk yang tidak berperasaan dan memiliki hati yang mati. Orang yang salah kaprah dalam mengartikan zuhud akan meninggalkan urusan dunia dan kehidupan duniawi. la akan pergi ke gua atau puncak gunung untuk duduk menyendiri, bersemedi, dan mengasingkan diri. la menyangka, melalui cara ini dirinya akan memperoleh kebahagiaan di akhirat. Pada akhirnya, ia tidak merasakan kenikmatan duniawi, juga kenikmatan ukhrawi. Dirinya tidak lagi memiliki perasaan dan kepekaan terhadap lingkungannya serta tidak memiliki pengaruh bagi manusia lain. Semua itu merupakan pengertian zuhud yang salah kaprah. Pengertian keliru lainnya bersumber dari prasangka bahwa Tuhan bakhil. Tuhan akan memberikan kenikmatan duniawi kepada orang yang meninggalkan kenikmatan akhirat. Sebaliknya, Allah akan memberikan kenikmatan akhirat kepada orang yang meninggalkan kenikmatan duniawi. Kita menyangka bahwa mustahil manusia bisa hidup bahagia sekaligus di dunia dan di akhirat.
Pada akhirnya, kita lantas mengharamkan kenikmatan duniawi atas diri kita sendiri agar bisa mencicipi kenikmatan ukhrawi. Ini juga merupakan pengertian zuhud yang absurd. Keberadaan orang yang berkeyakinan seperti ini tak lebih dari seonggok makhluk yang sudah mati.
Keridhaan Allah Swt akan dijumpai seseorang dalam berbuat kasih sayang, saling mengasihi, serta mengabdi kepada makhluk-Nya. la akan menemukan keridhaan Allah dalam ayat yang berbunyi: "... dan mereka mengutamakan orang-orang muhajirin atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan..." bahwa dirinya mesti meninggalkan kenikmatan duniawi untuk diri sendiri, dan memberikannya kepada orang lain. Dengan sikap seperti ini, ia akan menjelma menjadi makhluk hidup yang memiliki kedudukan tinggi. Orang seperti inilah yang akan menjadi hidup; tepatnya lagi, menjadi manusia yang paling hidup.
Telah saya katakan bahwa salah satu doktrin filosofis kezuhudan adalah menjalani kebersamaan dalam merasakan penderitaan. Manusia harus hidup dengan merasakan penderitaan orang lain. Perbedaan kasta yang membedakan antara kelompok "perahu-perahu kenikmatan" (orang-orang kaya) dengan "lautan penderitaan" (orang-orang miskin), merupakan ajaran yang keliru. Saya tidak mengatakan bahwa manusia harus hidup dalam satu tingkatan. Tidak. Ini bukanlah pendapat yang benar. Taraf hidup manusia berbeda-beda berdasarkan potensi, kemampuan, dan upaya masing-masing. Kehidupan merupakan ajang perlombaan. Setiap orang yang lebih keras dalam bekerja akan meraih untung yang lebih banyak dan lebih baik. Untuk memperoleh kekayaan, seseorang tidak boleh menempuh jalan diskriminasi dan berbagai tindak kejahatan. la harus menempuhnya dengan cara yang layak serta kerja keras dan ketekunan. Demikian pula, jangan sampai seseorang menderita kemiskinan dikarenakan kemalasan dirinya — bukan disebabkan tidak adanya penolong.
Imam Ali berkata: "Apabila orang-orang tidak datang kepada saya, dan para pendukung tidak mengajukan hujjah, dan apabila tak ada perjanjian Allah dengan ulama bahwa mereka tak boleh berdiam diri dalam keserakahan si penindas dan laparnya orang tertindas, tentu saya sudah melemparkan kekhalifahan dari bahu saya, dan memperlakukan orang yang terakhir sama seperti terhadap orang yang pertama."
Imam Ali berbicara tentang kekhalifahan yang beliau terima pasca terbunuhnya Utsman bin Affan. Beliau menerima kekhalifahan dalam kondisi yang benar-benar tidak menguntungkan. Sebelumnya beliau enggan menerima tanggung jawab kekhalifahan. Waktu itu, ketika didesak agar berkenan menerima kekhalifahan, beliau berkata: "Tinggalkanlah saya dan carilah omng selain saya, kita akan menghadapi berbagai macam kejadian dan peristiwa di masa yang akan datang."
Atas dasar pengetahuannya tentang berbagai kejadian yang akan muncul di masa datang, beliau menolak menerima tanggung jawab terSebut. Namun, pada akhirnya, beliau menganggap hal itu sebagai suatu kewajiban bagi dirinya, dan kemudian berkenan menerimanya. Kewajiban apa? Pada dasarnya, Allah telah memegang janji para ulama, di mana Dia kemudian menetapkan tugas yang harus mereka emban. Apa tugas ulama? Salah satunya adalah memimpin kebangkitan tatkala di tengah-tengah masyarakat terdapat sejumlah orang yang perutnya kenyang lantaran terlampau banyak makan, namun tidak membuat kenyang perut orang lain. Dalam kondisi seperti ini, ulama wajib bangkit untuk membuat orang-orang yang kelaparan menjadi kenyang dan menghapuskan diskriminasi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Apakah cuma itu tugas ulama? Tidak. Selain itu, ulama harus merasakan penderitaan orang lain. Seseorang yang memiliki taraf hidup tertentu harus merasakan penderitaan orang yang taraf hidupnya lebih rendah. Kadangkala, apapun yang kita upayakan tidak juga mampu meningkatkan taraf hidup (orang lain). Karenanya, yang bisa kita lakukan hanyalah turut merasakan penderitaan orang yang hidup sengsara.
Di masa Imam Ja'far, terjadi musim kemarau yang cukup panjang. Kondisi saat itu sangatlah kritis. Saat itu masyarakat menjadi gelisah. Orang-orang mulai membeli makanan dan menyimpannya. Dan untuk berjaga-jaga, mereka kebanyakan menyimpan cadangan makanan dua kali lipat lebih banyak dari kebutuhan. Imam Ja'far Shodiq kemudian bertanya kepada pegawainya: "Apakah kita menyimpan makanan di rumah?" Pegawai tersebut menduga bahwa Imam akan menyuruhnya menyimpan makanan lebih banyak lagi mengingat masa sulit yang akan berlangsung selama bertahun-tahun. Di luar dugaannya, Imam mengeluarkan perintah: "Berapapun gandum yarig kita miliki, bawalah ke pasar dan jual kepada masyarakat." Pegawai tersebut berkata: "Apakah tuan tidak tahu, jika kita menjualnya, kita tidak akan mampu lagi membelinya." Imam berkata: "Apa yang dilakukan masyarakat umum?" Pegawai itu menjawab: "Setiap hari mereka membeli roti yang terbuat dari gandum yang dicampur dengan sya'ir (sejenis gandum) di pasar." Imam Ja'far berkata: "Juallah semua gandum yang ada, dan mulai besok, belilah roti untuk kita, sebab kita tidak bisa menjadikan masyarakat mampu memakan gandum seperti kita lantaran kondisi yang tidak memungkinkan, namun paling tidak kita bisa meniru kondisi hidup yang mereka hadapi dan merasakan penderitaan mereka sehingga tetangga kita akan mengatakan: 'Biarlah saya memakan roti yang terbuat dari sya'ir karena Imam Ja'far juga memakannya, padahal dia mampu membeli roti gandum.'" Mengapa kita memilih kehidupan seperti ini? Tak lain dikarenakan kita ingin turut serta merasakan penderitaan orang lain.

Faktor Kebebasan dan Kemerdekaan

Makna filosofis kezuhudan yang ketiga adalah kebebasan dan kemerdekaan. Al-Quran tidak pernah mengharamkan kenikmatan yang halal bagi manusia. "Katakanlah: 'Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkari-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?"[3] Al-Quran tidak pernah melarang manusia untuk memanfaatkan kenikmatan yang halal demi mencapai kebahagiaan ukhrawi. Terdapat topik lain yang perlu saya sampaikan di sini, yakni tentang orang-orang yang memiliki harapan untuk hidup bebas dan mendapatkan kebebasan, yang senantiasa berusaha keras untuk melepaskan belenggu yang mengikat tangan dan kakinya, tentunya sebatas kemampuan yang dimiliki.
Coba Anda perhatikan! Kita hidup di dunia ini dengan memiliki mata rantai kebutuhan dan keperluan. Berdasarkan hukum penciptaan, kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak bisa kita hilangkan. Kita membutuhkan makan dan sampai batas terjauh dari kemampuan kita pun, kita tidak hjsa membebaskan diri dari kebutuhan tersebut. Dengan demikian, kita tetap harus makan. Tubuh amat memerlukan pengganti dari segenap hal yang sudah dicerna. Kita tidak bisa membebaskan diri dari udara yang digunakan untuk bernafas. Juga tidak bisa terbebas dari air, atau sampai batas tertentu, dari pakaian. Semua itu merupakan ukuran keterikatan penciptaan dan alam yang berakar dalam diri kita.
Di samping itu, terdapat pula mata rantai pengekang yang ada dalam diri manusia. Mau tidak mau, manusia akan terikat olehnya, dan menjadikan kebebasan tercabut dari dirinya. Salah satunya, mata rantai kebiasaan. Dalam jaman modern ini, kita menjumpai berbagai bentuk kebiasaan. Barangkali teramat jarang orang yang tidak memiliki kebiasaan. Rata-rata dari kita, minimal, memiliki satu kebiasaan. Setidaknya kita memiliki kebiasaan meminum teh. Saat tidak meminum air teh, kita akan merasa gelisah. Banyak orang yang punya kebiasaan merokok. Jika tidak merokok, mereka tidak bisa berkonsentrasi. Tak sedikit pula orang yang memiliki kebiasaan yang berbahaya dan diharamkan, misalnya kecanduan opium, atau bahkan lebih buruk dari itu.
Semakin sering terbiasa terhadap sesuatu, seseorang akan lebih terikat dan tertawan kebiasaan tersebut. Pada saat tertawan, manusia tak lagi memiliki kebebasan. Persoalan ini bukan hanya berkenaan dengan kebiasaan minum teh, merokok, dan menggunakan opium. Tapi juga dengan kebiasaan tidur di atas kasur dan bantal yang empuk. Apabila dalam kondisi tertentu, orang yang memiliki kebiasaan seperti ini harus tidur di atas karpet atau tanah, ia tentu sama sekali tidak akan bisa terlelap. la sudah terikat dengan kebiasaannya.
Sebaliknya, Anda bisa melihat bagaimana orang yang hidup sederhana di dunia tanpa mengharamkan kenikmatan Tuhan atas dirinya dan tidak menganggapnya haram, serta tidak meninggalkan urusan kehidupan (duniawi). Mereka senantiasa berada dalam kehidupan, namun hati mereka menghendaki kehidupan yang serba sederhana. Mereka ingin mengenakan baju yang paling sederhana, menyantap makanan yang paling sederhana, rumah dan kendaraan yang juga paling sederhana. Mengapa? Alasannya, mereka tidak ingin menukar kebebasannya dengan sesuatu yang lain. Sedikit saja mengikatkan diri kepada sesuatu, mereka dengan serta merta akan menjadi tawanannya. Pada saat menjadi tawanan sesuatu, mereka layaknya orang yang terkekang oleh ribuan rantai pengikat. Orang semacam ini tak bisa hidup bebas.
Karena itu, kehidupan para nabi yang agung dan tokoh-tokoh masyarakat akan senantiasa diliputi kesederhanaan. Apabila sebaliknya, di mana kehidupan mereka dilumuri dengan perhiasan (yaitu kehidupan yang halal dan diperbolehkan), mereka mau tak mau harus meninggalkan kursi kepemimpinan. Kehidupan yang dipenuhi perhiasan tidak sesuai dengan prinsip kepemimpinan yang mengharuskan hidup sederhana. Kehidupan sederhana akan menjadikan seseorang leluasa dan bebas bergerak.
Kita membaca keterangan tentang kondisi Rasulullah SAWW yang menyatakan bahwa 'Rasulullah hidup sederhana'. Pertama kali yang kita akan saksikan dalam sejarah Nabi SAWW adalah sesosok pribadi yang gemar memberikan bantuan. Mulai dari pakaian dan makanannya, cara duduk dan berdirinya, serta bekal perjalanan yang beliau miliki sangatlah sederhana.

Batasan dan Ikatan

Lihatlah bagaimana seluruh pengikat yang diciptakan manusia untuk dirinya sendiri telah menghambat kemajuan dirinya. Keterikatan dalam diri seseorang akan menginjak-injak dirinya sendiri. Saya akan memberikan contoh seperti ini; misalnya saya seorang tokoh agama yang terkenal. Saya seorang Hujjatul Islam atau Ayatullah. Apakah saya harus pergi berziarah ke Masyhad? Saya berpikir, tidak mudah untuk pergi ke Masyhad. Bagaimana caranya agar saya bisa memasuki (makam Imam Ali Ridha as)? Dari pintu manakah saya harus masuk (ke makam)? Bagaimana jika orang-orang melihat saya? Saya berpikir ini dan itu. Anda akan melihat bahwa waktu terus berjalan sedangkan saya tetap tidak melakukan hajat yang paling sederhana sekalipun (pergi berziarah ke makam Imam Ridha, —peny.), apalagi untuk suatu kepergian yang sifamya wajib seperti menunaikan haji ke Makkah. Saya telah terbelenggu pelbagai persyaratan dan ikatan. Karenanya, saya tidak bisa pergi dengan leluasa.
Rasulullah justru memiliki kehidupan yang sederhana sekali. Jika kehidupan beliau tidak mudah dan ringan, tentu beliau tidak akan mampu memimpin umatnya. Pada saat berpuasa, apakah beliau harus memanaskan poci untuk minum teh yang mana jika tidak maka beliau akan dipersalahkan? Tak ada perbedaan antara hari puasa atau hari biasa. Kadangkala Nabi baru pulang ke rumahnya setengah jam setelah usai menunaikan shalat Isya. Anas bin Malik, budak Nabi, mengatakan; "Makanan Rasulullah biasanya segelas susu dan sekerat roti. Sewaktu pulang ke rumah, Nabi memakan makanan yang sederhana ini, dan setelah itu Nabi melakukan pekerjaannya.
Nabi makan sedikit dan beristirahat selama dua jam sudah cukup baginya. Setelah bangun tidur, beliau beribadah kepada Allah. Menurut nash al-Quran, Rasulullah tidak tidur selama dua pertiga malam."
Al-Quran diturunkan di suatu tempat yang bisa disaksikan banyak orang. Jika tidak, maka lawan akan mengingkarinya dan kawan pun tidak akan mempercayainya, dan mengatakan: "Yang kita lihat, Nabi tidak terjaga, mengapa al-Quran mengatakan beliau tidak tidur pada dua pertiga malam? Menurut al-Quran, Nabi minimal terjaga dan melakukan ibadah pada sepertiga malam, dan terkadang pada pertengahan malam atau dua pertiga malam. Pribadi mulia ini tidak beristirahat barang sebentar pun mulai dari waktu subuh hingga akhir malam. 'Rasulullah hidup sederhana'. Saya pernah membaca syair Parsi yang ditulis Atsiruddin Akhsitegi sehubungan dengan masalah ini. Isi syair tersebut sungguh luar biasa:
Di tengah-tengah lautan peristiwa,
tanggalkanlah pakaian Anda,
dengan telanjang Anda dapat mengarunginya.
Jika Anda ingin menyelam ke dalam lautan peristiwa, pertama-tama Anda harus menelanjangi diri dulu agar dapat berenang. Orang yang mengenakan baju yang memiliki bobot yang berat (seperti jubah, sorban, dan sejenisnya), akan tenggelam ketika ia berupaya menyelam di dalam sungai besar. Itu dikarenakan beratnya beban baju yang dikenakan. Orang seperti ini tidak bisa mengarungi lautan peristiwa. Syarat pertama untuk bisa mengarungi lautan peristiwa adalah bertubuh telanjang. Orang yang tidak ingin terjatuh atau menyengaja terjun ke dalam sungai "peristiwa", dan hanya ingin hidup di "pinggiran" kehidupan masyarakat, pada dasarnya adalah orang yang tidak memiliki keinginan untuk memperbaiki masyarakatnya. Dengan demikian, orang semacam ini bebas mengenakan baju yang dikehendakinya. Sementara, orang yang ingin terjun ke dalam lautan masyarakat, harus terlebih dahulu menelanjangi dirinya, baru setelah itu ia bisa mengarungi lautan peristiwa kemasyarakatan. Orang yang terbelenggu oleh banyak hal, tidak akan bisa memasuki lautan masyarakat, apalagi memimpinnya.
Bagaimana dengan kehidupan pribadi Imam Ali as? Dalam khotbahnya yang termasyhur, beliau menyifati Nabi:
"Rasulullah memiliki kehidupan yang sangat sederhana. Demikian pula dengan para Nabi yang berkuasa, seperti Nabi Daud as dan Nabi Sulaiman as. Meskipun memiliki kekuasaan dan fasilitas, kehidupan pribadi Nabi Daud as sangatlah sederhana. Beliau membuat baju besi, yang kemudian dijual sendiri ke pasar. Dengan cara inilah beliau hidup." Tentang Nabi Isa as, Imam Ali mengatakan: "Begitu sederhana dan bebasnya hidup Nabi Isa, sampai-sampai kendaraan beliau adalah kedua kakinya. Pelita beliau di malam hari adalah sinar rembulan."
Nabi Isa bukanlah tawanan pelita atau kendaraan tunggangan. Seperti inilah kehidupan seluruh para Nabi. Mereka menjalani kehidupan seperti itu agar bisa memimpin masyarakat. Dengan demikian, kezuhudan yang memiliki makna filosofis yang mendalam adalah kezuhudan seperti ini, dan bukan kezuhudan yang didasari atas keyakinan bahwa kenikmatan dunia bertentangan dengan kenikmatan akhirat, atau anggapan bahwa kehidupan duniawi terpisah dari ibadah. Kezuhudan demikian jelas keliru dan mematikan. Adapun zuhud para Nabi adalah zuhud yang menghidupkan.
(Mahatma) Gandhi merupakan seorang tokoh yang berasal dari India. Sewaktu ingin memimpin dan membebaskan empat ratus juta (400.000.000) rakyat India dari cengkeraman penjajah, ia tidak mempunyai jalan lain kecuali meneladani model kehidupan para Nabi. la memilih hidup sederhana untuk dirinya sendiri. la mengenakan kain sederhana yang melekat ditubuhnya seraya mengatakan: "Dengan ini saya bisa hidup."
Apa filosofi kezuhudan Gandhi? Dari satu sisi, Gandhi terjun ke dalam kehidupan masyarakat, serta berkeinginan untuk membebaskan masyarakat dari cengkeraman cakar penjajah. Dari sisi yang lain, ia hidup zuhud sedemikian rupa dan hanya memiliki kain sederhana yang melekat di tubuhnya. Dalam pada itu, ia menyeru kepada rakyat India: "Jika kalian ingin terbebas dari cengkeraman penjajah, hiduplah secara zuhud." Maksudnya, hiduplah dalam kesederhanaan supaya Anda bisa terbebas. Setelah Anda bebas, dan ingin memperindah hidup Anda, silahkan lakukan, tapi jangan sampai diri Anda terbelenggu dan kembali tidak bebas. Jenis kezuhudan semacam ini mengandung filosofi kebebasan dan kemerdekaan.

Zuhud dan Tuntutan Jaman

Terdapat topik lain yang akan saya kemukakan kepada Anda, yang berkenaan dengan kezuhudan dan tuntutan jaman. Keadaan jaman senantiasa berbeda-beda. Pada suatu jaman, kehidupan zuhud menjadi tugas bagi manusia, dan tidak pada masa yang lain. Jika kita menelaah kehidupan mulia Rasulullah SAWW dan Imam Ali as, kita akan menjumpai bahwa bentuk kehidupan mereka berdua sedikit berbeda dengan bentuk kehidupan Imam Muhammad Baqir as dan Imam Ja'far as. Kehidupan Rasulullah SAWW dan Imam Ali as lebih sederhana dan lebih zuhud dibandingkan dengan kehidupan Imam Muhammad Baqir as, Imam Ja'far Shadiq as, Imam Musa bin Ja'far as, dan Imam Ali Ridha as. Bahkan kehidupan para imam tersebut juga berbeda dengan kehidupan Imam Hasan Mujtaba as.
Dari mana datangnya perbedaan tersebut? Sesuai dengan keterangan sebelumnya, jawaban atas pertanyaan tersebut menjadi sangat jelas. Imam Ja'far telah menjawabnya dengan gamblang. Pada paruh tengah abad kedua, seorang sufi mendatangi Imam Ja'far Shadiq. la melihat Imam mengenakan pakaian indah dan halus. Kemudian ia mengatakan: "Wahai putra Rasulullah, mengapa Anda mengenakan pakaian mahal dan mewah?" Imam menjawab: "Silahkan duduk dan dengarkan jawaban saya. Kadangkala Anda berbuat suatu kekeliruan dalam bertindak (bukan dengan sengaja) dan kadangkala Anda mengerti (makna sebenarnya dari zuhud) akan tetapi Anda hendak menipu orang-orang awam. Jika Anda memang tidak ada keinginan untuk menipu masyarakat dengan menggunakan bentuk penampilan sederhana, duduklah dan saya akan berbicara denganmu."
Imam Ja'far berbicara panjang lebar dengannya dan sedikitpun ia tidak mampu membantah ucapan Imam. Setelah itu dia pergi dan taklama kemudian kembali lagi bersama serombongan sahabatnya.
Kisahnya sangat panjang. Saya ingin memfokuskannya hanya pada satu noktah penting. Rombongan yang datang melontarkan protes atas penampilan Imam dengan mengatakan: "Mengapa Anda mengenakan pakaian mewah?" Imam Ja'far menjawab: "Mungkin Anda berpikir, jika mengenakan pakaian mewah merupakan perbuatan baik, mengapa Rasulullah SAWW dan Imam Ali as tidak mengenakannya? Dan apabila itu merupakan perbuatan buruk, mengapa Anda mengenakannya?" Mereka menjawab: "Benar, itu yang akan kami katakan." Kembali Imam menjelaskan: "Kalian tidak mengikuti perkembangan jaman. Menurut pandangan Islam, mengenakan pakaian mewah bukanlah sebuah dosa. Allah menciptakan semua kenikmatan duniawi untuk dimanfaatkan manusia. Dan Allah tidak menciptakan segala kenikmatan ini untuk dijauhi manusia. Allah menciptakannya supaya kita bisa memanfaatkannya. Namun, terkadang, dikarenakan kondisi dan tujuan (filsafat) tertentu kita diharuskan berpaling dari kenikmatan-kenikmatan tersebut. Salah satunya jika kita berada dalam suatu kondisi kehidupan masyarakat yang sedang sangat kesulitan dan kritis. Dengan kata lain, kita hidup di tengah masyarakat yang tengah mengalami krisis ekonomi. Jika hidup dalam masyarakat seperti ini, sementara kita memiliki fasilitas hidup mewah, kita tidak boleh hidup secara mewah. Sebab, jika kita hidup mewah, berarti kita tidak merasakan penderitaan saudara-saudara kita yang lain. Namun, kadangkala kita hidup dalam masyarakat yang memiliki kondisi ekonomi yang sangat baik. Dalam kondisi demikian, kita tidak memiliki alasan untuk menutup mata dari pakaian yang indah."
Kemudian Imam Ja'far menambahkan: "Rasulullah dan Imam Ali hidup dalam kondisi dan masa di mana keadaan ekonomi masyarakat sangatlah buruk. Rasulullah tinggal di Madinah, di mana di dalamnya terdapat sekelompok orang yang terlantar (ashhâb ash-shuffah). Mereka adalah orang-orang yang sangat fakir dan miskin. Tambahan lagi, Madinah saat itu tengah berada dalam situasi peperangan. Negara atau kota yang sedang berperang dengan negara atau kota lain, mau tak mau akan mengalami kesulitan ekonomi, terlebih jika pada saat bersamaan mereka dilanda musim kemarau dan paceklik. Madinah acapkali mengalami kondisi seperti itu. Dikarenakan keadaan semacam itu, para sahabat yang datang dari luar Madinah (ashhâb ash-shuffah) terpaksa tinggal di samping masjid Nabawi. Kehidupan mereka sangat sulit dan menderita, sampai-sampai tidak memiliki pakaian untuk datang ke masjid dan bergabung dengan jamaah lainnya. Saking jarangnya pakaian yang dimiliki, mereka terkadang harus bergantian dalam mengenakan pakaian. Apabila salah seorang usai menunaikan shalat, baju yang tadi dikenakannya kemudian digunakan orang lain, juga untuk shalat. Dalam kondisi seperti ini, tidak dibenarkan bagi seorang mukmin mengenakan baju mewah, meskipun itu dibeli dari hartanya sendiri.
Pernah pada suatu ketika Rasulullah berkunjung ke rumah putrinya, Sayyidah Fathimah Zahra as. Ketika sampai, beliau melihat lengan putrinya dibalut gelang perak dan pintu rumahnya dilapisi tirai berwarna warni. Melihat keadaan putrinya seperti itu, Rasulullah langsung pulang sebagai isyarat kekurangsenangannya terhadap penampilan putrinya. Sayyidab Fathimah langsung memahami sikap ayahnya. Dengan serta merta; beliau melepaskan gelang perak dari tangannya dan menanggalkan tirai dari pintu rumahnya. Kemudian beliau menyuruh seseorang untuk menyerahkan semua itu kepada ayahandanya. "Sampaikan salamku pada ayahku dan katakan bahwa putrinya yang mengirimkan semua ini untuk digunakan menurut yang terbaik bagi Rasulullah." Kemudian Rasulullah memerintahkan seseorang untuk membagi-bagikannya kepada ashhâb ash-shuffah. Dalam kondisi seperti ini, seorang mukmin memiliki tugas yang lain (yakni turut merasakan penderitaan orang lain).
Kepada orang-orang yang mengkritiknya, Imam Ja'far mengatakan: "Saya sekarang hidup dalam kondisi yang berbeda dengan kondisi Rasulullah. Jika saya hidup dalam kondisi seperti kakekku, Rasulullah SAWW, niscaya saya akan bersikap seperti beliau. Dan jika Rasulullah hidup di masa saya sekarang ini, di mana kondisi ekonomi masyarakat sudah membaik dan lebih mapan, tentu Rasulullah akan hidup dan (berpenampilan) seperti saya." Inilah salah satu filosofi yang lain dari kezuhudan.

Zuhud dan Kenikmatan Spiritual

Filosofi kezuhudan lainnya adalah suatu keadaan di mana manusia yang tenggelam dalam kenikmatan material (sekalipun itu halal) tidak akan pernah merasakan kenikmatan spiritual.
Manusia memiliki kenikmatan spiritual yang akan mengangkat kekuatan maknawiah dirinya. Orang yang terbiasa bertahajud dan shalat malam adalah orang yang tergolong shâdiqîn (orang-orang yang benar), yang bersabar, dan orang yang memohon ampunan di waktu pagi (al-mustaghfirîna bil ashâr). Mereka adalah orang-orang yang memperoleh kenikmatan dan kebahagiaan dari shalat malam. Kenikmatan yang diperoleh seseorang yang melakukan shalat malam adalah kenikmatan yang hakiki dan riil. la mendapatkan kenikmatan dari ucapan "astaghfirullâh wa atûbu ilaihi" (Aku memohon ampunan Allah dan kembali kepada-Nya). la merasakan nikmat ketika berzikir "al-afwa" (ya Allah, aku mohon maaf-Mu). la sangat menikmati detik-detik ketika sedang mendoakan sedikimya empat puluh orang mukmin. la amat menikmati ucapan "ya rabbi. ...ya rabbi" (wahai Tuhan Pemeliharaku... wahai Tuhan Pemeliharaku....). la tidak pernah merasakan kenikmatan seperti ini dari hal-hal yang bersifat material. Kenikmatan orang yang mengerjakan shalat malam sangatlah lezat dan memberikan kekuatan serta semangat hidup.
Akan tetapi, jika kita tenggelam dalam kenikmatan duniawi, kita tidak akan pernah merasakan kehangatan spiritualitas yang terkandung dalam shalat malam. Pada permulaan malam, umpamanya, kita hanya mengobrol, tertawa terbahak-bahak, menggunjing orang lain yang merupakan perbuatan haram, bersenda gurau, dan setelah itu membentangkan hidangan untuk makan sampai kita kesulitan bernafas lantaran kekenyangan. Berpikir dan bergurau membuat kita lelah dan akhirnya tertidur pulas di atas ranjang. Apakah dalam keadaan seperti ini kita memiliki kesempatan untuk bangun dari tidur dan kemudian menunaikan shalat subuh, sementara waktu fajar tinggal dua jam lagi? Dan apakah setelah itu kita mampu mengucapkan dari lubuk jiwa yang paling dalam, ya rabbi. . . ya rabbi. . .? Kita sama sekali tidak bisa bangun untuk melaksanakan shalat. Kalaupun bangun, kita akan berada dalam keadaan yang mirip dengan orang yang sedang mabuk, yang baru meminum segelas minuman keras.
Jadi, apabila manusia ingin merasakan kenikmatan spiritual dalam kehidupan di dunia ini, tak ada jalan lain kecuali harus meninggalkan kenikmatan material dan duniawi. Pada saat bangun di waktu pagi, Imam Ali as merasakan suasana yang sangat menakjubkan. Seketika itu juga beliau memandang ke arah-langit yang ditaburi bintang-bintang ciptaan Allah, seraya mengatakan:
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang berpikir, yaitu orang-orang yang mengingat Allah di saat berdiri, duduk dan berbaring, dan memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya mengatakan: 'Wahai Tuhan kami, tidak Engkau ciptakan semua ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau dan selamatkanlah kami dari siksa neraka."[4]
Pada malam hari, insan beriman ini bangun dari tidurnya dan menghayati kenikmatan bersama Tuhannya tatkala pandangannya menumbuk bintang di langit, seraya membacakan ayat yang merupakan suara kebenaran dan kemudian menyatu dengan alam wujud. Kenikmatan seperti ini tak akan tertandingi oleh seluruh kenikmatan material di jagat alam. Insan semacam ini tidak bisa hidup seperti kita. Beliau tidak bisa duduk di hadapan hidangan yang menyajikan berbagai macam makanan, beragam masakan daging, minyak hewani dan minyak nabati, aneka rupa roti-rotian, serta seluruh makanan yang mengundang selera. Semua itu, lambat laun akan menjadikan jiwa manusia mati. Orang yang duduk dan menyantap banyak makanan sampai kekenyangan tidak akan mampu bangun tengah malam. Kalaupun mampu, kemudian menunaikan shalat tahajud, ia tidak bisa menikmati spirit dari ibadah tersebut.
Karena itu, orang-orang yang mendapat bimbingan (hidayah) untuk menikmati ibadah tidak akan pernah memperdulikan seluruh kenikmatan materi. Tak ada salahnya saya mencoba mengenang masa hidup kakek saya. Seingat saya, kira-kira empat puluh tahun yang silam, saya melihat orang besar dan mulia ini setiap malam membutuhkan waktu untuk tidur selama tiga jam. Beliau makan pada permulaan malam dan tidur selama tiga jam. Minimal, selama dua jam menjelang terbimya fajar subuh, beliau bergegas bangun untuk melaksanakan ibadah. Setiap tengah malam Jumat, beliau senantiasa terjaga dan beribadah selama tiga jam sebelum terbitnya fajar subuh. Sekarang, kakek saya telah berusia seratus tahun, namun saya belum pernah melihat beliau tidak nyenyak dalam tidurnya. Kenikmatan maknawi yang beliau rasakan menjadikan jiwanya tenang dan bahagia. Bukan hanya satu-dua malam saja kakek mendoakan ayah dan ibu saya. Nenek mengatakan bahwa kakek sangat menyayangi diri saya. Tiap malam beliau senantiasa berdoa. Dalam berdoa, beliau senantiasa mengingat keluarga, serta kerabat dekat maupun jauh. Semua hal inilah yang menghidupkan hati orang tersebut. Siapapun yang ingin memperoleh kenikmatan seperti ini, harus menjaga jarak dari berbagai kenikmatan material. Apabila itu sungguh-sungguh diupayakan, niscaya ia akan bisa merasakan kenikmatan spiritual yang sangat lezat.

Pandangan Ibnu Sina

Ibnu Sina pernah mengatakan: "Kezuhudan orang arif berbeda dengan kezuhudan orang yang tidak arif. Kegiatan ritual dan kezuhudan orang arif merupakan olah batin dan persiapan kekuatan rasional, imajinasi, dan empiris. Karena pada saat dia hendak menghadapkan cermin jiwanya ke hadapan alam malakut, kekuatan-kekuatan tersebut tidak menjadi beban dan penghalang hingga seseorang mampu berdiri di hadapan Allah."
Sayang, saya tidak ingat lagi kalimat selanjutnya. Namun, inti pemyataannya termaktub dalam ungkapan di atas. Inilah filosofi dari kezuhudan.
Sekarang, berdasarkan berbagai filosofi yang telah saya sebutkan, apakah kezuhudan sanggup menghidupkan jiwa, atau sebaliknya menjadikannya mati? Seseorang menjadi zuhud dikarenakan ingin mengutamakan kepentingan orang lain serta ingin merasakan penderitaan orang lain. Selain pula disebabkan dirinya melihat kondisi perekonomian masyarakat yang sedemikian morat-marit, atau juga dikarenakan ingin menjadi orang bebas di tengah-tengah masyarakat. Seseorang menjadi orang zuhud lantaran dirinya menginginkan jiwa kemanusiaannya terbebas sehingga bisa bermunajat kepada Tuhannya. Apakah dengan kezuhudan semacam ini, jiwa manusia akan hidup ataukah mati? Jawabannya, justru itu akan membuat jiwa manusia lebih hidup. Kezuhudan Imam Ali as dilandasi oleh alasan di atas sehingga menjadikan beliau manusia paling hidup dan pal-ing aktif sepanjang sejarah kemanusiaan. Imam Ali as merupakan orang yang benar-benar zuhud, pemberani, dan memiliki kebesaran jiwa.
Sebagai orang zuhud, Imam Ali as adalah orang yang adil. Sebagai orang zuhud, Imam Ali as adalah orang yang arif. Sebagai orang zuhud, Imam Ali as adalah pemimpin masyarakat pada masanya.
Dengan demikian, seluruh kezuhudan yang dipraktikan orang-orang yang tidak memahami makna sejati kezuhudan, hanya identik dengan tidak berbicara dengan orang lain, tidak mencampuri urusan orang lain, harus berdiam diri, datang ke suatu tempat dari arah sini dan keluar dari arah yang lain (berusaha menutupi diri dari pandangan orang lain, —pent.), menutupi kepala dengan jubah supaya tidak dikenali, dan tidak bergaul dengan siapapun. Kezuhudan seperti ini tidak sesuai dengan ajaran Islam dan akan membunuh jiwa. Islam sama sekali tidak mendukung bentuk-bentuk kezuhudan semacam ini.

[1] Al-Anfâl: 24.
[2] Al-Insân: 8-9.
[3] Al-Arâf: 32.
[4] Âli ‘Imrân: 48.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar