CINTA ITU "WALAUPUN" BUKAN "KARENA"

Sabtu, 12 Maret 2011

KEADILAN ILAHI



KEADILAN ADALAH SIFAT ALLAH SWT
Kaum muslimin bersepakat bahwa Allah adalah Zat Yang Mahaadil dan Mahabijaksana. Karena Quran dalam beberapa ayatnya mengata-kan tentang hal itu dan menafikan sifat zhalim dari Allah. Meski mereka bersepakat tentang masalah ini, namun pada kajian teologi Islam terdahulu sempat terjadi perdebatan yang sangat seru antara golongan yang mengatakan dirinya sebagai "Adliyyah" dan golongan yang disebut dengan "Non Adliyyah".
Perbedaan tersebut muncul karena perbedaan frame untuk melihat apa atau siapa yang menentukan baik dan buruknya perbuatan dasar manusia. Sehubungan dengan keadilan, golongan pertama berpendapat bahwa Allah tidak berbuat sesuatu kecuali dengan adil dan bijak, sementara yang kedua mengatakan bahwa segala perbuatan Allah pasti berdasarkan keadilan. Sekilas dua pernyataan tadi sama, tetapi sebenarnya berbeda. Dan perbedaan itu terletak pada yang telah disebutkan tadi (Untuk lebih jelasnya pembaca bisa membaca literatur yang secara khusus membahas tentang keadilan seperti "Keadilan Ilahi karya Muthahari dan lainnya).
Dalam pandangan Imamiyyah-Ahlil Bait, masalah keadilan menduduki posisi yang amat sangat penting sekali dan mereka menjadikannya sebagai dasar agama setelah "Tauhid". Perlu diinformasikan bahwa dalam kajian awal tentang ilmu akidah Imamiyyah diterangkan lima dasar agama (Ushuluddin al khamsah): Tauhid, Keadilan, Kenabian, Kepemimpinan, dan Ma’ad. Menurut mereka, sifat adil dijadikan sebagai salah satu dari dasar-dasar agama sementara sifat-sifat lainnya tidak, karena beberapa alasan berikut ini;
Diantara sifat-sifat dan asma Allah, keadilan mempunyai keistimewaan tersendiri karena menurut Syaikh Makarim Syirazi, beberapa sifat-sifat Allah kembali kepada sifat adil seperti sifat kasih sayang, pemberi rezeki, bijaksana dan lainnya. 
1. Oleh karena cabang-cabang agama (baca; syariat) merupakan pancaran dari dasar-dasar agama dan syariat diturunkan sebagai upaya Tuhan untuk  menegakkan keadilan di tengah masyarakat umat manusia. maka sifat adil Tuhan menjadi lebih menonjol dibandingkan sifat-sifat lainnya.
2. Menjadikan sifat adil sebagai salah satu dasar dari agama memberikan indikasi secara eksplisit bahwa keadilan harus ditegakkan dan itu termasuk dari anjuran hadits Qudsi, "Berakhlaklah dengan akhlak Allah".
Lebih jelasnya keadilan merupakan poros dari seluruh ajaran agama, dan juga sebagai penyebab diutusnya para Nabi, diturunkannya kitab-kitab dan dibangkitkannya manusia di alam mahsyar dan alam akhirat, atau dengan kata lain, elemen-elemen agama seperti syariat, kenabian, kepemimpinan dan kebangkitan hari akhirat merupakan konsekuensi logis dari keadilan Ilahi. Karena jika Allah tidak mengutus para Nabi dan tidak menurunkan kitab, maka tujuan dari penciptaan manusia (yaitu kesempurnaan manusia dengan kembali kepada-Nya) tidak akan tercapai, atau paling tidak, sangat sulit, sehingga dengan sendirinya, penciptaan manusia dan alam sekitarnya akan menjadi sia-sia. Demikian pula jika tidak ada hari pembalasan, maka Allah sangatlah tidak adil karena karena Ia membiarkan orang-orang yang berbuat kejahatan dan penindasan tanpa balasan dan membiarkan orang-orang yang tertindas tidak mendapat menyaksikan balasan atas-orang-orang yang pernah menindas mereka. Nah untuk itu semua, Allah Yang Mahaadil mengutus para Nabi, menurunkan kitab dan membangkitkan manusia di alam akhirat.
Keadilan Ilahi tidak hanya berkaitan dengan moral dan peraturan sosial-kemanusiaan (baca: masalah-masalah keagamaan) saja, tetapi keadilan Ilahi berlaku juga dalam menciptakan alam raya lahiriah ini. Nabi Muhammad saaw. bersabda, "Dengan keadilan langit dan bumi ditegakkan". Artinya tanpa keadilan, ekosistem alam semesta ini tidak akan tegak atau malah alam ini tidak akan ada sama sekali. Jadi alam raya ini ada karena keadilan, dan sistem yang berlaku di dalamnya juga dengan adil (baca; seimbang).
Oleh karena itu, sifat adil menjadi sifat yang paling nyata dan paling berperan dalam perbuatan-perbuatan Allah, baik yang berkaitan dengan karya alami yang lahiriah atau filosofi penciptaan.

Mengapa Allah Mahaadil?
Biasanya para Ulama menyebutkan anonim dari keadilan yaitu kezhaliman. Kata kezhaliman mempunyai arti yang banyak sebanyak arti kata keadilan itu sendiri. Allah SWT sebagai Zat Yang Mahaadil sangat jauh dari sifat zhalim (lihat surat Yunus: 144, Al Nisa: 40, Al Anbiya: 47 dan Qaf: 29). Jadi dua kata ini tidak mungkin kumpul dalam diri satu zat. Ketika Allah disifati adil berarti Dia tidak zhalim. Yang menarik, para ulama ketika hendak membuktikan keadilan Allah biasanya mereka terlebih dahulu menafikan dari-Nya faktor-faktor perbuatan zhalim. Diantara faktor-faktor tersebut adalah:
a. Kebodohan
Terkadang seseorang berbuat kezhaliman atau kesalahan karena dia tidak mengetahui bahwa yang dia lakukan itu adalah salah atau zhalim. Oleh karena Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu, maka tidak mungkin Dia tidak mengetahui perbuatan yang zhalim dan salah itu.
b. Kebutuhan
Faktor lain seseorang berbuat kezhaliman atau kesalahan adalah dia membutuhkan sesuatu yang tidak dia miliki, lalu dia mencoba mengambilnya secara zhalim. Allah Mahakaya sehingga Dia tidak membutuhkan kepada selain diri-Nya sendiri.
c. Kelemahan
Seseorang karena tidak berdaya untuk menghindari kezhaliman atau kesalahan, maka dia terpaksa melakukannya. Allah Zat Yang Mahakuasa untuk berbuat sesuatu sehingga tidak ada sesuatupun yang memaksa-Nya.
d. Main-main
Seringkali seseorang berbuat kezhaliman atau kesalahan hanya karena main-main atau iseng. Allah jauh dari mempunyai motivasi seperti itu, karena motivasi ini timbul dari seseorang yang tidak mempunyai tujuan dalam perbuatannya.
Tentu empat faktor tadi tidak ada pada Zat Allah, maka Dia tidak akan pernah berbuat kezhaliman atau dengan kata lain, Dia selalu berbuat sesuatu dengan adil.
Atas dasar asumsi ini, maka segala fenomena alam eksternal seperti gempa bumi, gunung berapi dan lainnya ataupun internal seperti cacat fisik, kelaparan dan lainnya bukanlah fenomena-fenomena yang dikecualikan dari keadilan Ilahi.
Secara general dan global fenomena-fenomena itu mengandung sebuah nilai sains-filosofis yang sebagian darinya telah terungkap. Allah berfirman: "Yang telah baik menciptakan segala sesuatu" (Qs. Sajdah: 7). Karena tidak ada alasan dan faktor bagi Allah untuk melakukan kesalahan dan kezhaliman, seperti tersebut tadi.
Jadi jika ada fenomena khususnya yang internal bukanlah kesalahan atau kezhaliman dari Allah, tapi itu merupakan kesalahan manusia kalau tidak, ia mengandung sebuah kemashlahatan.

Apakah yang dimaksud dengan adil?
Adil sering diartikan sebagai meletakkan sesuatu pada tempatnya, atau memberikan sesuatu sesuai dengan kadar porsinya. Memasukkan nasi ke dalam mulut bayi berusia dua hari tentu itu sebuah tindakan tidak adil, atau mengajarkan fisika kelas 3 SMA ke anak tingkat kelas 3 SD adalah sebuah kedzaliman, karena memberikan sesuatu bukan pada tempat dan porsinya.
Terkadang adil diartikan sebagai persamaan. Pengertian ini tidaklah bertentangan dengan yang pertama, dan bahkan perluasan darinya. Seandainya tiga orang siwa memiliki kemampuan dan prestasi akademik yang sama, dan lau sang guru memberikan penilaian yang berbeda, maka ia telah berbuat dzalim kepada dua atau salah satu dari ketiga anak tersebut.  Guru tersebut seharusnya memberikan penilaian yang sama kepada ketiganya, dan inilah yang disebut adil. 
Dari kedua definisi tadi, saya menyimpulkan bahwa keadilan atau kedzaliman berkaitan erat dengan perbedaan dan pembedaan. Sebuah perlakuan akan disebut sebagai dzalim ketika mengindikasikan adanya pembedaan di dalamnya, padahal kadar kemampuan menerimanya sama. Namun jika perlakuan berbeda diberikan karena ada perbedaan kadar kemampuan dan kesanggupan di antara penerimanya, maka itu tidaklah disebut kedzaliman. Dan perlakuan sama kepada mereka yang memiliki perbedaan  adalah sebuah kedzaliman.

Bagaimana dengan perlakuan berbeda Allah kepada makhluk-Nya?
Terlebih dahulu �dengan melihat dua definisi di atas- kita harus melihat apakah yang diperlakukan beda itu memiliki kadar yang sama atau memang kadarnya berbeda-beda? Jika sama, maka pembedaan itu tentu sebuah kedzaliman. Artinya Allah telah dzalim jika memperlakukan berbeda antara dua atau lebih sesuatu yang kadar kemampuan dan potensi menerima atas sebuah anugrah adalah sama. Dan jika pembedaan itu karena memang kadar mereka yang berbeda, maka perlakuan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai dzalim, bahkan ia adalah keadilan itu sendiri, dan ini lebih tepat disebut sebagai perbedaan, bukan pembedaan, karena sebab perbedaan berasal dari obyek (makhluk)nya, dan bukan dari subjek (Khalik)nya.

kibroto <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
# Pertanyaan pertama, adil menurut siapa? Pertanyaan kedua, apakah
ia HARUS adil? Haruskah Tuhan TUNDUK pada definis adil kita?
Haruskah Dia adil, apapun definisinya? Pertanyaan ini melebar, Tuhan
pengasih & penyayang bagi siapa? Haruskah Tuhan tunduk kepada
manusia bahwa Ia harus adil, pengasih, penyayang, anu, anu, anu.

Bukankah Ia makluk yang bebas? Bukankah Ia punya hak prerogatipnya
untuk ndak adil, ndak penyayang, kejam, bengis, keji, dst? Suka2
dia, to? Gelar2 Tuhan maha ini maha itu seolah menjadi Tuhan HARUS
ini HARUS itu. Jika begini caranya, maka Tuhan menjadi hamba
manusia, bukan?

Tanpa disadari hal2 itu mereduksi dan memarjinalken Tuhan menjadi
apa yang ideal menurut manusia. Ia tidak menjadi diriNya tetapi
menjadi proyeksi manusia.




--- In filsafat@yahoogroups.com, hasan mawardi
<[EMAIL PROTECTED]> wrote:
Adilkah Tuhan?Kenapa di dunia ini ada yang bekulit putih dan yang lain hitam? Kenapa ada orang yang cantik dan ganteng, sementara yang lain jelek? Kenapa saya terlahir dari keluarga miskin sehingga kesulitan demi kesulitan selalu menghantui? Kenapa ada orang yang terlahir sempurna, semntara yang lainnya dalam keadaan cacat? Mereka yang berparas cantik dan ganteng akan lebih bisa diterima bila dibandingkan dengan si buruk rupa. Di akui atau tidak,  cantik dan ganteng adalah syarat tidak tertulis, tapi justru sangat menentukan
kesuksesan karir seseorang. Atau pertanyaan lainnya; kenaap harus ada ada gempa, banjir, kebakaran hutan, sunami, gunung meletus, penyakit, dlsb?  
    Konon semua yang ada ini, berupa kebaikan atau keburukan, adalah ujian dari-Nya. Sejauh yang saya ketahui, ujian
berfungsi untuk mengetahui apa yang tidak kita ketahui sehingga menjadi tahu bagaimana yang sebenarnya. Seandainya sudah tahu, maka ujian menjadi tidak perlu lagi. Dan kalau pun dipaksakan tetap ada ujian, maka ia tidak akan bernilai dan hanya sekedar formalitas saja.
>   Bagaimana dengan Tuhan sebagai Dzat Yang Maha Tahu,
apakah fungsi ujian bagi-Nya, padahal Ia Maha Tahu segala hal yang nampak dan tersembunyi? Untuk sekedar formalitas, atau iseng-iseng saja?  

Dalam Islam, kesetimbangan ini juga muncul dengan dua entitas; Tuhan dan Iblis. Yang satu mengeluarkan serangkaian Panduan dan Q&A dalam bentuk "Agama", sedangkan yang satunya secara konsisten mengalihkan manusia dari "Agama".

Alloh SWT sendiri disamping sifatnya yang Maha Pengasih, memiliki juga kapasitas sebagai "Maha Kuasa" termasuk mencabut nyawa dan menghancurkan. Iblis, dibalik segala usaha penyesatannya.... eh kalau Iblis sih tetep jadi tokoh full-antagonis aja deh =P.

Apa jadinya kehidupan tanpa kematian? Kalau sebagian dari kita merasa Tuhan tidak adil dengan mengambil nyawa anak-anak tak berdosa, nyawa orang-orang yang kita sayangi, nyawa pemimpin-pemimpin penting, bukankah itu bagian dari keseimbangan? Apa jadinya jika dunia ini memilki para "Highlanders" yang tidak mati-mati selama ratusan tahun? Tidak takutkah anda dunia ini akan semakin sesak?

Apa jadinya kalau mahluk buas bernama "umur" tidak pernah ada? Dalam kaitannya manusia tidak akan mati karena usia? Disitukah letak keadilan? Dimana setiap bayi yang baru lahir adalah ancaman atas jatah makan mereka yang telah lebih dulu lahir? Dimana semua pekerja fresh-graduate harus berhadapan dengan mereka yang telah memiliki portfolio kerja selama 150 tahun? Dimana calon isteri / suami anda mungkin sama-sama anda perebutkan dengan adik nenek anda? Adilkah dunia bila tidak ada kematian? Adilkah Tuhan?


Berbeda dengan penafsiran oleh Maulana Muhammad Ali/MMA  saya punya konsep sendiri tentang Iblis yang lebih masuk akal, mudah untuk dipahami, ya paling tidak buat saya sendiri. Saya tidak tahu mengapa MMA tidak berusaha mencari arti dibalik  kisah (arti kiasan) dalam Alquran surat 7 dan 2 yang melibatkan antara lain Tuhan, Malaikat, dan Iblis yang dihadiri juga oleh Adam. Kisah dialog yang bagi saya terasa aneh sekiranya ini benar-benar terjadi. MMA nampaknya terjebak dalam permasalahan apakah Iblis merupakan Malaikat ataukah bukan.
Dalam Surat 2 dan 7 diceritakan tentang dialog yang melibatkan Tuhan, Malaikat, Iblis dan Adam.
Dan (ingatlah) ketika kami berfirman kepada para malaikat: “sujudlah kamu kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali Iblis; Ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang kafir.” (QS 2:34) 
Allah berfirman “apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) waktu Aku menyuruhmu? Menjawab Iblis:”Saya lebih baik dari Adam, Engkau ciptakan saya dari api sedang dia engkau ciptakan dari tanah.” (QS 7:12) 
Saya tidak tahu pasti apa sih arti Adam ini dalam bahasa Arab atau bahasa Ibrani, tapi saya pernah menjumpai seseorang dalam suatu forum diskusi di situs killthedevilhill.com (Saya lupa url pastinya, karena sudah lama sekali, mungkin sekitar tahun 1998) pernah berpendapat bahwa kata Adam dalam Alkitab maksudnya adalah manusia (man). Menurut saya adalah lebih masuk akal menyebut Adam sebagai mahluk manusia ketimbang Adam sebagai seseorang / nama orang.
Manusia (Adam) diceritakan dalam Alquran diciptakan Tuhan berasal dari dua unsur yaitu:
  1.  Unsur Tanah. Tentunya tanah disini dimaksudkan sebagai materi / benda, sesuatu yang dapat diukur, dilihat dan dipegang. Kita sebut saja unsur jasmani / unsur materi.
  2. Unsur Roh. Suatu unsur yang kebalikan dari unsur jasmani. Roh  tidak dapat terlihat, diukur dan dipegang. Unsur ini kita sebut saja sebagai unsur rohani / unsur non materi.
Nah perpaduan jasmani dan rohani yang berbeda dimensi / zat ini dugaan saya menimbulkan adanya suatu ketidakharmonisan. Ya  ibarat mencampurkan antara air dan api. Jika airnya terlalu banyak api bisa mati, jika api terlalu banyak air bisa menguap. Dapat dikatakan juga percampuran roh dengan jasmani ini mengakibatkan hasrat (passion) dan / atau unsur akal budi manusia menjadi 2 (dua) sisi / sifat yang saling bertolak belakang, Sisi baik dan sisi jahat. Sisi baik kita sebut saja sifat malaikat (MMA menyatakannya sebagai yang mendorong ke arah hidup yang suci, higher life). Sementara sisi buruk, kita sebut sifat iblis, mendorong ke arah kesenangan dunia, kesenangan badani (MMA menyebutnya sebagai lower passion).
Keinginan / hasrat sisi buruk yang berlebihan  dapat mendorong manusia untuk makan berlebihan, menghambur-hamburkan uang, menyimpan harta sebanyak-banyaknya dengan cara apapun hingga cukup untuk tujuh keturunan, berhubungan sex secara bebas dengan siapa saja di mana bisa ditemui selama suka sama suka, mengoleksi mobil antik dan / atau barang antik sebanyak-banyaknya untuk dipajang demi kesenangan diri, atau hobi para para sultan di Baghdad tahun 1300-1500 an yang mempunyai harem (selir) hingga ratusan orang. Terlepas dari benar tidaknya, dalam Alkitab Nabi Sulaiman (Raja salomo) digambarkan beristri banyak.
Ia (Raja Salomo) mempunyai tujuh ratus istri dari kaum bangsawan dan tiga ratus gundik; istri-istrinya itu lebih menarik hatinya daripada Tuhan. (Kitab Raja-Raja Pertama 11:1-4).
Sementara adanya dominasi sifat malaikat yang berlebihan mendorong manusia menjauhi dunia karena menganggap harta / dunia laksana bangkai anjing sehingga munculah kisah para sufi yang tenggelam dalam ibadah relijus yang berlebihan melupakan kehidupan dunia, melupakan tugas manusia sebagai khalifah di bumi, sebagaimana tersirat dalam buku Ihya Ulumuddin karya Imam Al Ghazali. Lainnya menganggap hubungan seks sebagai perwujudan kodrat hewani sehingga (dugaan saya) munculah kaum hawariyyun (murid-murid Nabi Isa) yang memilih membujang seumur hidup, bahkan di masa Nabi Muhammad ada sekelompok sahabat yang masing-masing bersumpah satu sama lain, antara lain ada yang bersumpah tidak akan menikah dan ada yang bersumpah akan puasa terus menerus .
Catatan  Kabarnya beberapa ulama besar juga hidup membujang sampai akhir hayat, seperti Imam Nawawi, Ibnu Taimiyah dan Sayyid Quthub. Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah (dalam M. Anis Matta, Gairah yang Membuat Tenang, Tarbawi, Edisi 52 Th. 2003 hal. 64) menyatakan “mereka mempunyai ambisi besar kepada ilmu pengetahuan tapi juga memiliki syahwat yang kecil. Sebab kalau syahwat mereka besar, tentulah kesibukan tidak akan menghalangi mereka menikah”. Sebenarnya menurut saya bukan masalah syahwat. Sebagaimana yang pernah terjadi ke diri saya yaitu gara-gara membaca Ihya Ulummudin karya Imam Ghazali dan kumpulan Nasihat Nabi Muhammad ke Abu Dzar tanpa bimbingan, ketika itu saya menenggelamkan diri dalam ibadah sholat dan puasa (termasuk yang sunah) yang berlebihan. Saya merasa asing dengan dunia sekitar, merasa takut berbuat dosa dan ingin meninggalkan dunia ini dan bersatu dengan sang pencipta. Saya juga menganggap hubungan sex sebagai suatu “perbuatan yang rendah”, perbuatan hewani. Ketika itu saya berumur 21 tahun. Ya barangkali saja itu yang terjadi juga kepada ulama diatas. Ini hanya dugaan saya saja, bukan maksud saya menyejajarkan diri saya yang labil (soalnya masih bujangan nih) ini dengan para ulama zuhud diatas.
Sebagai mahluk yang berjazad, kita manusia suka tidak suka ditakdirkan punya kemampuan untuk makan minum, melakukan hubugan seks seperti juga kemampuan yang dimiliki hewan. Nah sisi baik dalam diri kita kadang melupakan kodrat ini sehingga menganggap keinginan diatas sebagai keinginan yang rendah sebagaimana binatang yang kita anggap tidak berakal. Jika kita bisa menerima takdir kita, sebagai mahluk berjasad maka sekiranya kita melakukan makan, minum dan hubungan seks secara sah  akan lah terasa menyenangkan, membahagiakan.
Dan aku tidak membebaskan diriku, karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun dan Maha Penyayang (Alquran 12:53).
Sejalan dengan hal ini ada hadits yang menceritakan pernyataan Nabi bahwa melakukan hubungan suami istri pun dapat pahala. Ketika para sahabat bingung dan bertanya “kok bisa-bisanya hubungan suami istri dapat pahala?” Nabi balik bertanya bukankah kalau kalian berzina, maka  kalian mendapat hukuman dan dosa? Jadi sebaliknya, kalau kalian melakukanya secara sah berarti dapat pahala bukan?
Kembali ke pokok masalah, Ketika manusia mendapatkan perintah Tuhan maka sisi baik akan menjawab samina wa athona (kami mendengar dan kami taat) sedangkan sisi buruk akan menjawab samina wa ashoina (kami mendengar dan kami menolak untuk taat). Seseorang sedang yang melakukan kebaikan artinya sifat malaikat mendominasi sifat iblis. Orang itu akan melakukan perbuatan baik seperti sholat, bersedekah  dll. Yang termasuk sisi baik / sifat malaikat antara lain: ketaatan, sabar, tidak putus asa, adil, hemat, penyayang, dapat dipercaya dan sejenisnya. Sementara seseorang yang melakukan kejahatan artinya sifat iblis mendominasi sifat malaikat. Sisi buruk / sifat iblis mewakili juga perasaan negatif seperti: takut, putus asa, marah, ketidakpatuhan, boros, tidak adil dan sejenisnya.
Perlu anda pahami hal ini pun terjadi juga pada para Nabi. Dalam Alquran diceritakan antara lain:
· Suatu ketika para rasul menjadi putus asa dengan pertolongan Allah karena tekanan musuh / cobaan yang begitu dahsyat (QS 2:214) .
· Suatu ketika Nabi Yunus meninggalkan orang-orang yang harus didakwahi, lalai dari tugas karena ketidaksabaran (QS 21:87).
· Suatu ketika Nabi Daud tergoda hatinya dengan istri orang lain (QS 38:17-24).
· Nabi Musa menjadi kecewa dan marah akibat kaumnya yang durhaka (QS 7:150).
· Nabi Muhammad bermuka masam dan mengabaikan seorang buta yang minta diajarkan tentang Islam ketika Nabi Muhammad sedang mencoba membujuk para pembesar Quraisy (QS 80:1-11).
Dalam Injil pun diceritakan hal yang serupa:
· Nabi Daud berzina dengan istri salah satu rakyatnya (Samuel Kedua  11:2-5)
· Ketika Yesus (Nabi Isa) lapar dan mencoba mencari buah Ara tapi ia menjumpai bahwa pohon Ara tersebut tidak berbuah, karena  memang bukan musimnya, namun ia menjadi marah dan mengutuk pohon itu hingga pohon itu mati (Markus 11:12-20 dan Matius 21:18-19).
Komentar : Saya paling jengkel kalau membaca buku yang isinya membahas apakah seorang Nabi itu punya dosa ataukah tidak (sinless)? Menurut saya hal semacam itu tidak perlu dibahas. Nabi haruslah diukur dari hasil kerjanya. Apakah misinya berhasil ataukah tidak?
Nah ilustrasi atas hal-hal diatas dalam Alquran diceritakan dalam suatu kisah perumpamaan seperti kepatuhan malaikat yang melambangkan sisi baik dari hati manusia  dan penolakan iblis ketika diperintah Tuhan untuk sujud ke Adam yang melambangkan sisi buruk dari hati manusia. Ya memang, selama ini kita selalu menganggap kisah dialog yang melibatkan “4 subyek”, Tuhan, Malaikat, Adam dan Iblis sebagai suatu kisah yang pernah benar-benar terjadi. Kisah-kisah diatas hanyalah salah satu ayat perumpamanan sebagaimana diterangkan Alquran:
Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia, dan tidak ada yang mengetahuinya kecuali orang yang berpengetahuan (QS 29:43).
Memang uraian diatas akan membawa kita kepada sebuah pertanyaan “kenapa tidak dari awal Tuhan memberitahukan semua itu lewat kitab suci dalam uraian yang langsung kepada sasaran bahwa setan itu sebenarnya ada didalam diri kita bukan di luar kita?” Saya punya dugaan begini, adalah lebih mudah mempersatukan umat jika umat mempunyai musuh bersama yang ada diluar tubuh kita yaitu iblis yang pembangkang itu.
Oleh karenanya dalam Alquran yang diceritakan adalah kisah dialog yang melibatkan Tuhan, Adam, Iblis dan Malaikat. Ini adalah skenario yang sangat jenius, jika anda paham apa yang saya maksudkan.
Update 27/11/2007: Kenapa jenius? Karena buat sebagian orang adalah lebih mudah untuk “diberitahu”/lebih mudah mengerti bahwa “setan/iblis” ada di dalam luar tubuh. Sekiranya diberitahu bahwa “iblis” justru ada di dalam tubuh mereka, belum tentu mereka dapat paham, malah menjadi bingung. Jadi tidak apa-apa bila anda “lebih sreg” meyakini setan/iblis ada di luar tubuh anda. Setan/iblis sebagai sifat atau sebagai mahluk bukanlah masalah yang perlu diperdebatkan, karena kedua hal tsb sama-sama ciptaan Tuhan.
Dengan kalimat lain (yang lebih luas) mungkin sebagaimana yang dikemukakan Polybius berikut ini (dikutip dalam terjemahan buku Kontroversi Kenabian Dalam Islam: Antara Filsafat dan Ortodoksi  karya Fazlur Rahman):
Namun karena orang-orang awam adalah orang yang tidak punya pikiran dan penuh dengan dorongan-dorongan yang bertentangan dengan hukum, seperti rasa marah yang tak rasional dan kecenderungan-kecenderungan yang agresif, tidak  ada satu yang dapat mengendalikan mereka kecuali rasa takut terhadap yang gaib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar